Kearifan yang Menyelamatkan Hutan dan Masyarakat Adat (Bagian 2)
Penulis : Wahyudin Opu
  • Hasil kerang-kerangan sebagai salah satu sumber pangan yang dikumpulkan dari hutan adat masyarakat adat Asmat
    Hasil kerang-kerangan sebagai salah satu sumber pangan yang dikumpulkan dari hutan adat masyarakat adat Asmat

Penyebutan frasa “untuk anak cucu” ini sangat sering saya dengar dalam pergaulan sehari-hari masyarakat adat Asmat. Ia selalu seiring dengan sikap menghormati leluhur yang kental mereka tunjukkan. Bekerja mengelola sumber daya alam, bagi Orang Asmat, adalah juga penghormatan pada masa lalu dan pengharapan pada masa depan.

Pengelolaan alam secara arif juga ditunjukkan dalam pemanfaatan kayu bakar, bahan bakar utama dalam rumah tangga masyarakat adat Asmat. Hukum adat Asmat mengatur pemanfaatan kayu bakar hanya boleh dari pohon yang sudah mati. Pohon mati ditandai dengan dedaunan yang telah rontok dan batang yang mengering. Terkadang pohon tersebut juga telah tumbang dengan sendirinya karena dimakan usia. Pohon-pohon tersebutlah yang boleh dibelah untuk menjadi kayu bakar. Bukan tanpa alasan logis, pohon yang sudah mati cocok menjadi bahan kayu bakar karena sudah mengering. Saat dikerjakan ia lebih mudah dibelah dan lebih ringan saat diangkut ke rumah. Saat dibakar pun akan menghasilkan bara api yang lebih maksimal.

Dengan pemikiran dan tindakan seperti itu, masyarakat adat Asmat sesungguhnya ingin menyampaikan pesan bahwa kita yang hidup hari ini bukanlah pemilik akhir bumi. Kita berhak memanfaatkan alam tapi tentu tidak boleh sampai merusaknya. Generasi selanjutnya akan segera datang dan tentu saja mereka juga membutuhkan alam sebagai penopang kehidupan. “Kita harus mewariskan mata air kepada anak cucu, bukan air mata,” kata Walter Ewenmanam suatu hari kepada saya.

Segala praktik kearifan lokal masyarakat adat Asmat tersebut mungkin tidak masuk akal bagi sebagian dari kita. Namun begitulah hukum adat bekerja. Ia bersifat religio magis, mengedepankan aspek tradisi dan kebudayaan, serta kontekstual dan tidak tertulis. Hukum adat berlawanan dengan hukum modern yang bersifat rasional, menekankan pada hukum tertulis yang dibuat oleh penguasa, berfokus pada sanksi, dan bersifat universal (Afif Mahfud, 2020).

Secara garis besar, hukum adat Asmat terbagi dalam dua tingkatan, yaitu karu dan teser. Sistem hukum adat ini berlaku di seluruh komunitas masyarakat adat Asmat dengan penyebutan berbeda di setiap rumpun atau sub-suku. Karu atau pamali merupakan bentuk pelanggaran atas larangan adat yang masih bisa diampuni. Larangan adat yang termasuk dalam kategori karu diantaranya, memasuki dusun atau hutan milik orang lain tanpa permisi dan melanggar wilayah yang telah di-cayin. Para pelanggar karu dipercaya akan mendapat kesialan atau sakit yang diturunkan langsung oleh leluhur. Guna mendapatkan pengampunan, harus dilaksanakan ritual beso atau upacara pengampunan.

Sementara itu teser merupakan pelanggaran berat yang tidak bisa mendapat pengampunan dari leluhur. Contoh larangan adat yang termasuk dalam teser adalah memasuki dan merusak tempat keramat. Jika melanggar jenis hukum ini taruhannya adalah nyawa alias kematian. “Sudah banyak kejadian orang mati setelah mereka melanggar teser. Jadi jangan coba-coba,” kata Walter Ewenmanam.

Upaya untuk mempertahankan eksistensi kearifan lokal masyarakat adat Asmat – juga masyarakat adat di seluruh nusantara, kini mendapat berbagai macam tantangan. Dua diantara tantangan tersebut adalah sulitnya mengakomodir hukum adat ke dalam sistem hukum nasional dan tekanan dari aktivitas pemanfaatan ekstraktif sumber daya alam.

Sistem hukum nasional kita yang terlanjur sangat skripturalis dan formalistik membuat ruang gerak hukum adat menjadi sangat terbatas. Negara hanya berfokus pada hukum yang legal formal, yaitu yang tertulis dan terkodifikasi. Sedangkan hukum adat yang berkembang dari nilai-nilai yang hidup di masyarakat terus terpinggirkan. Hal ini menyebabkan penegakan hukum di Indonesia menjadi kaku dan sangat terbatas. Dari sini keadilan substansial sangat sulit untuk diwujudkan.

Belum lagi rumitnya prosedur pengakuan terhadap masyarakat hukum adat yang menjadi prasyarat diakuinya hukum adat. Padahal amanat konstitusi kita telah sangat jelas mengakui keberadaan masyarakat hukum adat (lihat pasal 18B ayat (2) UUD 1945). Namun pelaksanaan pengakuan masyarakat hukum adat sungguh masih jauh dari harapan. Mengutip Prof. Maria Sumardjono, ia seperti hutang yang tak kunjung (atau tak ingin) dilunasi oleh pemerintah.

 

Seorang perempuan Asmat menebang sagu di hutan adat keluarganya.

 

Pada tingkat tapak, ekspansi perkebunan monokultur dan pertambangan semakin mendesak ruang hidup masyarakat hukum adat. Hal ini tentu saja turut mengancam eksistensi hukum-hukum adat yang turut melestarikan hutan. Di Asmat sendiri ancaman tersebut sudah semakin dekat. Ia sudah sampai di kabupaten-kabupaten tetangga. Setelah wilayah masyarakat adat Amungme dan Kamoro di Kabupaten Mimika digarap oleh perusahaan tambang, kini aktivitas pemanfaatan ekstraktif tersebut juga mulai muncul di Kabupaten Mappi dan Boven Digul. Penambangan emas ilegal di beberapa lokasi mulai berdampak pada kerusakan hutan dan pencemaran sungai. Belum lagi ekspansi perkebunan kelapa sawit yang kini semakin masif di Kabupaten Merauke dan sekitarnya.

Dengan segala kemungkinan yang semakin terbatas, kini masyarakat adat Asmat mencoba bertahan dari ancaman yang sudah semakin dekat tersebut. Upaya kecil yang sempat coba kami lakukan bersama adalah pendokumentasian masyarakat adat di beberapa kampung. Hal ini tentu saja lengkap melengkapi dengan upaya yang selama ini telah dijalankan, yaitu transfer pengetahuan antar generasi melalui budaya tutur dan aksi kebudayaan yang dilakukan sehari-hari.

Dokumentasi tertulis tentang masyarakat adat Asmat diharapkan dapat menjadi semacam jembatan yang menghubungkan pengetahuan lokal kepada pihak luar. Materi penyadartahuan ini nantinya juga dapat dijadikan bahan advokasi untuk mendapat pengakuan status masyarakat hukum adat dari negara.

Dalam berbagai kesempatan pengumpulan data, Walter Ewenmanam, pemuka adat Asmat yang menjadi salah satu narasumber pada kegiatan pendokumentasian ini, selalu tampak bersemangat. Selain menjadi narasumber, ia banyak membantu penyebaran informasi tentang pentingnya pendokumentasian ini. Menurutnya proses ini penting dilakukan untuk menyadarkan pihak luar pentingnya menjaga kelestarian sumber daya alam lewat mekanisme adat.

“Semua kearifan lokal yang baik dan masih dijalankan oleh masyarakat harus diakui. Ini penting kita lakukan agar hutan, kali, dan dusun tempat kita hidup dapat terus lestari. Cuma itu yang nantinya bisa kita wariskan kepada anak cucu.”

Walter Ewenmanam, Philipus Yiwit, Mama Katarina Akbotcemen, dan semua masyarakat adat Asmat yang masih percaya pada tradisinya adalah mereka yang bertahan walaupun dalam senyap. Tanpa bersuara langsung, mereka menyampaikan pesan kepada kita semua #UntukmuBumiku adalah warisan yang mesti kita rawat. Mereka percaya kearifan turun-temurunlah yang akan menyelamatkan, bukan keserakahan.

Submission Agreement

Terimakasih atas  ketertarikan Anda untuk mengirimkan artikel ke BaKTINews. Dengan menyetujui pernyataan ini, Anda memberikan izin kepada BaKTINews untuk mengedit dan mempublikasikan artikel Anda di situs web dan situs afiliasinya, dan dalam bentuk publikasi lainnya.
Redaksi BaKTINews tidak memberikan imbalan kepada penulis untuk setiap artikel yang dimuat.  Redaksi akan mempromosikan artikel Anda melalui situs kami dan saluran media sosial kami.
Dengan mengirimkan artikel Anda ke BaKTINews dan menandatangani kesepakatan ini, Anda menegaskan bahwa artikel Anda adalah asli hasil karya Anda, bahwa Anda memiliki hak cipta atas artikel ini, bahwa tidak ada orang lain yang memiliki hak untuk ini, dan bahwa konten Artikel Anda tidak mencemarkan nama baik atau melanggar hak, hak cipta, merek dagang, privasi, atau reputasi pihak ketiga mana pun.

Anda menegaskan bahwa Anda setidaknya berusia 18 tahun dan kemampuan untuk masuk ke dalam kesepakatan ini, atau bahwa Anda adalah orang tua atau wali sah dari anak di bawah umur yang menyerahkan artikel.
 
Satu file saja.
batasnya 24 MB.
Jenis yang diizinkan: txt, rtf, pdf, doc, docx, odt, ppt, pptx, odp, xls, xlsx, ods.