Penambangan dan operasi pabrik pengolahan bijih nikel di Maluku Utara diduga kuat menyebabkan perairan pesisir dan laut tercemar hingga mengancam biodiversitas laut. Setidaknya, tiga wilayah perairan di Maluku Utara, yakni, Teluk Buli, Teluk Weda, dan Pulau Obi, terindikasi terjadi pencemaran dari industri ekstraktif itu.
Berdasarkan pengujian air laut di Teluk Weda, Halmahera Tengah dan Pulau Obi, Halmahera Selatan, dan Teluk Buli, Halmahera Timur memperlihatkan kondisi perairan hingga biota lautnya, terutama ikan tercemar logam berat.
Di perairan Teluk Weda dan Pulau Obi, ditemukan ada kandungan logam berat seperti besi (Fe), nikel (Ni), dan merkuri (Hg). Hasil analisis dan pengukuran menunjukkan kandungan logam berat melebihi ambang batas kisaran baku mutu.
Di Teluk Buli, terindikasi mengalami pencemaran terutama logam berat merkuri (Hg) juga melampaui ambang baku mutu yang diatur Peraturan Pemerintah No.22/2021 tentang penyelenggaraan perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup.
Sampel air laut itu diambil Muhammad Aris, peneliti dari Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Universitas Khairun, Maluku Utara bersama Walhi Maluku Utara di Teluk Weda dan Pulau Obi pada Maret 2023. Di Teluk Buli, sampel diambil bersama tim Yayasan Auriga Nusantara November 2023.
Menurut Aris, penambangan di sekitar perairan akan menyumbang limbah yang mengandung logam berat. Industri nikel di Teluk Buli, Teluk Weda dan Pulau Obi, katanya, merupakan pertambangan untuk memperoleh bijih nikel dan memproduksi jadi bahan baku. Umumnya, bijih nikel berasosiasi dengan logam berat.
“Limbah logam berat ini berpeluang besar masuk ke perairan di sekitar melalui aliran sungai. Limbah industri yang mengandung logam berat sangat berbahaya,” kata Aris dalam diskusi yang diadakan Yayasan Auriga secara daring beberapa waktu lalu. Tiga wilayah itu memang dikuasai industri nikel.
Selain pertambangan, di Teluk Weda dan Pulau Obi juga diikuti pembangunan pabrik untuk proses hilirisasi nikel yang memproduksi bahan baku baterai kendaraan listrik. Di Teluk Buli, setelah eksploitasi nikel puluhan tahun, kini rencana bangun pabrik serupa dalam proyek hilirisasi nikel.
Di daratan Teluk Weda, ada kawasan industri PT Indonesia Weda Bay Industrial Park (IWIP) yang beroperasi sejak 2018. Jauh sebelumnya, di wilayah sama sudah ditambang PT Weda Bay Nickel (WBN) sejak 1998– kini jadi patner dalam kawasan industri IWIP.
Di daratan Pulau Obi, ada kawasan industri Harita Group yang melangsungkan proses hilirisasi nikel untuk produksi bahan baku baterai. Tahun lalu, PT Trimegah Bangun Persada (TBP), anak usaha Harita melalui entitas asosiasinya PT Halmahera Persada Lygend telah melakukan ekspor nikel sulfat dan pada waktu bersamaan terjadi banjir bandang di daerah sekitar.
Temuan pencemaran di Teluk Buli berkaitan dengan titik pengambilan sampel yang berdekatan langsung dengan enam izin usaha pertambangan. Wilayah daratan Maba dan pulau-pulau kecil seperti Pulau Pakal, Gee, Mabuli, telah dieksploitasi PT Aneka Tambang (Antam) dan anak perusahaannya sejak 2010. Pulau-pulau ini berada di tengah Teluk Buli dan pesisir Kecamatan Maba.
Wilayah Teluk Buli, kata Aris, merupakan satu kawasan dengan potensi sumberdaya perikanan. Dengan aktivitas pertambangan di sana, katanya, dapat mempengaruhi ekosistem Teluk Buli.
Forum Studi Halmahera (Foshal) mencatat daratan dan pesisir–termasuk pulau-pulau kecil di Halmahera Timur, Halmahera Tengah, dan Halmahera Selatan sebagian besar telah dikuasai pertambangan dan industri pengolahan nikel.
Di Halmahera Timur, ada 19 izin tambang menguasai areal konsesi seluas 101.042 hektar termasuk pulau-pulau kecil. Di Halmahera Tengah, terdapat 22 izin tambang, tiga wilayah izin usaha pertambangan, dan satu kawasan industri dengan konsesi seluruh perusahaan mencapai 106.039 hektar.
Perairan di Halmahera tercemar industri nikel. biota laut pun terdampak. Foto: dari video CRI
Di Halmahera Selatan sendiri, industri nikel bertumpu di daratan Pulau Obi dengan 15 izin tambang di konsesi seluas 32.236 hektar. Menurut Aris, penambangan bijih nikel masif diperkirakan menambah tekanan lingkungan perairan. Lingkungan perairan tercemar bahan-bahan logam berat akan mengalami penurunan kualitas air, dan mengganggu keseimbangan ekosistem pesisir sebagai habitat biota air.
Cemaran nikel, kata Aris, dalam jumlah tinggi dapat berbahaya untuk kesehatan manusia, bisa menyebabkan gangguan sistemik, reproduksi, efek karsinogenik, hingga kematian. Tingkat pencemaran logam berat juga terakumulasi hingga ke biota laut. Di Teluk Weda dan Pulau Obi, terdapat delapan jenis biota ikan hasil tangkapan nelayan. Di Teluk Buli, ada enam jenis biota yang jadi sampel juga dari tangkapan nelayan. Semua terindikasi tercemar logam berat.
Dari hasil analisis histologi sampel ikan pada hati, ginjal, otot, dan insang terlihat sel dan jaringan sudah rusak, dan terindikasi kontaminasi logam berat. “Logam berat bersifat toksik dan dapat membahayakan masyarakat sekitar,” kata Aris. Limbah beracun yang dibuang ke laut, katanya, juga berdampak pada kelangsungan ekosistem mangrove, padang lamun, terumbu karang, dan sumber daya perikanan yang diperlukan masyarakat sebagai sumber pangan.
Polusi logam berat di tiga wilayah perairan itu terakumulasi dalam fisiologi ikan-ikan yang mulai rusak. Kontaminasi logam berat itu, katanya, dapat menyebabkan gangguan fisiologis pada ikan. Dia juga menjelaskan logam berat yang mengontaminasi perairan laut bisa dimakan plankton, kemudian plankton dikonsumsi ikan-ikan kecil dan besar hingga akhirnya sampai ke perut manusia.
“Ikan-ikan yang kami dapatkan (dan jadikan sampel) dan meneliti di laboratorium itu sudah menunjukkan terjadi akumulasi di beberapa organ yang selama ini dikonsumsi manusia, khusus otot-otot ikan,” kata Aris. Menurut dia, peningkatan konsentrasi logam terdeteksi pada ikan dan ketika dikonsumsi manusia berpotensi menimbulkan ancaman besar bagi kesehatan.