Penyebaran berita palsu melalui aplikasi pesan pribadi. Henryk Ditze/ShutterstockWawan Kurniawan, Universitas Indonesia
Menjelang Pemilihan Umum (Pemilu) 2024, Indonesia tampaknya menghadapi tantangan yang cukup pelik terkait dengan penyebaran berita atau informasi palsu (hoaks). Banyak riset membuktikan bahwa penyebaran hoaks masih tumbuh subur di media sosial.
Namun ada satu hal yang lebih menantang, yakni penyebarannya melalui aplikasi pesan personal, termasuk WhatsApp. Sering kita temui penyebaran hoaks di grup-grup WhatsApp, bahkan grup yang hanya berisikan anggota keluarga kita sendiri.
Satu riset terbaru menunjukkan bahwa pada Pemilu 2019, banyak grup WhatsApp keluarga beralih fungsi menjadi wadah untuk berbagi omong kosong dan hoaks, yang kemudian berkembang menjadi tempat perdebatan antara dua kubu anggota keluarga.
Di media sosial saja, selama triwulan pertama tahun 2023, sudah ada 425 isu hoaks yang menyebar, menurut temuan Kementerian Komunikasi dan Informatika. Angka ini lebih tinggi dibandingkan dengan triwulan pertama tahun 2022 yang mencapai 393 isu hoaks.
Belum ada data pasti mengenai temuan penyebaran hoaks melalui pesan-pesan personal. Namun angka kemungkinan besar tidak jauh berbeda, atau bahkan jauh lebih parah karena belum ada aplikasi pesan personal yang bisa menyaring informasi mana yang benar mana yang salah.
Fenomena penyebaran hoaks ini bisa berdampak signifikan, karena bisa sangat memengaruhi persepsi penerima informasi.
Pada masa pandemi COVID-19, misalnya, penyebaran hoaks – mencakup tentang pengobatan alternatif, vaksin, hingga konspirasi terkait virus – begitu masif, sampai menghalangi berbagai upaya penanggulangan COVID-19.
Banyak masyarakat yang menolak vaksin karena percaya pada informasi palsu bahwa vaksin tidak berguna atau akan ada chip dalam vaksin.
Umumnya, secara psikologis, individu yang menerima informasi palsu secara perlahan membangun keyakinan mereka yang baru. Hal ini akan mendorong mereka untuk bertindak lebih jauh, mulai dari menyebar informasi hingga mengutarakan dukungannya pada isi informasi tersebut.
Pada tahun politik, penyebaran hoaks bisa berdampak pada rusaknya rasionalitas pemilih dan menurunnya kualitas penyelenggaraan pemilu. Lebih jauh lagi, ini bisa menimbulkan permusuhan antara pihak yang pro dan yang kontra terhadap informasi palsu tersebut.
Mengapa terjadi penyebaran hoaks?
Ada dua pihak yang secara sengaja atau tanpa sadar menjadi penyebar hoaks. Pertama adalah pihak yang sengaja menyusun atau membuat berita palsu itu. Kedua adalah pihak yang termakan berita palsu lalu menyebarnya secara sukarela. Masing-masing pihak memiliki motif berbeda dalam melakukan penyebaran.
Dalam tulisan ini, saya hanya akan membahas motif pihak kedua. Ini karena motif pihak pertama jelas untuk mencapai tujuan tertentu secara kelompok, dan ini adalah hal dilakukan dengan sadar. Namun pada pihak kedua, motifnya kerap kali tidak mereka sadari dan bersifat sangat personal.
Dalam teori psikologi, ada yang disebut _processing fluency effect_, yaitu proses kognitif ketika individu lebih mudah merespons dan menerima berbagai informasi yang sederhana untuk dicerna karena ia tidak membutuhkan usaha lebih untuk memahaminya. Dalam konteks berita, proses ini dapat memotivasi seseorang untuk mau membagikan informasi yang didapatkan.
Profesor psikologi dari Amerika Serikat (AS) Daniel Kahneman menjabarkan ada sistem 1 dan sistem 2 yang ada pada sistem kognitif manusia. Kedua sistem saling berinteraksi dalam proses pemikiran dan pengambilan keputusan. Sistem 1 secara otomatis menghasilkan respons yang lebih cepat dan intuitif. Sedangkan sistem 2 terlibat saat situasi yang membutuhkan analisis lebih mendalam, evaluasi, dan pemikiran yang lebih lambat.
Kehadiran berita dan informasi palsu yang dibuat semenarik mungkin kerap kali menggerakkan hanya sistem 1, sehingga sistem 2 tidak perlu digunakan sama sekali. Ini menunjukkan bahwa masih banyak individu yang memiliki keterampilan rendah untuk melakukan verifikasi berita atau menelaah informasi secara kritis. Mereka cenderung hanya melalui sistem 1 – mudah percaya dengan berita yang biasanya viral – lalu menyebarkannya, tanpa melalui sistem 2 alias tidak mengkritik atau pun menganalisis kebenarannya.
Situasi demikian bisa menjadi lebih buruk jika berita atau informasi yang tersebar memiliki kaitan dengan identitas si pengirim atau penerima. Pengaruh identitas dan afiliasi kelompok dapat memengaruhi sejauh mana orang mempercayai berita palsu.
Hoaks dan pilihan politik
Gordon Robert Pennycook adalah seorang peneliti psikologi asal Kanada yang berfokus pada tema riset belief, misinformation, metacognition, judgement, dan hal-hal yang berkaitan dengan area tersebut. Salah satu topik yang belakangan ia geluti adalah maraknya berita palsu atau hoaks di masyarakat.
Berangkat dari maraknya hoaks ketika pemilihan presiden AS tahun 2016, isu berita palsu dalam dunia politik hingga hari ini masih jadi masalah yang belum bisa sepenuhnya diatasi.
Dalam sejumlah penelitian, salah satu yang menjadi tantangan untuk mengurangi hoaks adalah hadirnya motivated reasoning atau “penalaran termotivasi” pada setiap pendukung politik. Motivated reasoning ini adalah kecenderungan kognitif, baik yang disadari maupun tidak disadari, untuk mencari informasi yang mendukung keyakinan mereka yang sudah ada. Proses ini biasa disebut confirmation bias.
Motivated reasoning membuat seseorang lebih mungkin memercayai informasi palsu yang sejalan dengan pandangan mereka saja, karena informasi tersebut memperkuat apa yang sudah mereka percayai selama ini. Afiliasi kelompok, seperti dukungan ke salah satu kandidat, pada akhirnya akan berperan dalam membangun kepercayaan yang dimiliki seseorang.
Jika ada hoaks yang tersebar di grup WhatsApp keluarga, misalnya, beberapa anggota keluarga mungkin akan menolak mengakui bahwa informasi itu hoaks. Ini karena mereka telah mengalami bias terhadap kandidat yang mereka dukung.
Menurut suatu studi yang terbit tahun 2020, kecenderungan untuk memercayai berita palsu meningkat saat berita tersebut mendukung keyakinan yang ada atau keyakinan kelompok.
Saat seseorang mengalami bias terhadap informasi, sistem 2 kemungkinan tidak akan bekerja dan membiarkan sistem 1, yang cepat dan otomatis, bertindak lebih besar. Maka, tidak heran jika seorang simpatisan pendukung, dengan berbagai siasat akan menyebarkan berbagai berita-berita yang mewakili bentuk dukungannya, terlepas apakah berita itu benar atau salah.
Jadi, bersiaplah untuk melihat sosial media hingga grup WhatsApp keluarga kita kemungkinan akan dipenuhi kembali dengan debat atau saling serang dengan berita yang memperlihatkan kehebatan kandidat masing-masing.
Cara menghadapi atau mencegah fenomena ini
Beberapa studi menyebutkan bahwa grup WhatsApp keluarga berpotensi menjadi wadah penyebaran hoaks akibat rendahnya literasi media dari generasi yang lebih tua.
Studi lain juga mendukung terkait adanya perspektif generasi tua yang belum mampu memaksimalkan pemahaman terkait informasi yang tersebar, sehingga berita hoaks dengan mudah berkembang. Isu yang paling sering dibahas dalam grup WhatsApp keluarga juga berkutat di isu politik dan agama.
Oleh karena itu, peningkatan literasi media dapat menjadi salah satu upaya serius untuk menghadapi masalah – ini harus segera dimulai.
Pendidikan literasi media akan dapat membantu seseorang atau kelompok dalam memahami metode verifikasi fakta, pengenalan sumber berita yang tepercaya, dan pemahaman tentang berbagai taktik manipulatif yang digunakan dalam berita palsu. Langkah ini bisa dilakukan oleh berbagai pihak, mulai dari komunitas, kelompok masyarakat sipil, hingga pemerintah.
Selain itu, perlu adanya penguatan transparansi platform. Ini mencakup peningkatan aturan dan kebijakan terkait dengan penyebaran informasi palsu, memberikan akses yang lebih mudah ke algoritme dan mekanisme penyaringan, serta memperkuat upaya untuk melawan akun palsu dan bot otomatis.
Langkah ini kemungkinan telah dilakukan oleh pemerintah dan para pegiat hak digital. Namun, derasnya informasi kadang tidak mampu terbendung, sehingga dibutuhkan upaya yang lebih maksimal.
Terakhir, kita butuh kolaborasi antara berbagai instansi seperti jaringan jurnalis, lembaga riset, pemeriksa fakta untuk dapat terlibat aktif mengawasi dan merespons berbagai berita atau isu yang berkembang di masyarakat.
Sudah waktunya pemerintah mencari strategi yang lebih terperinci dan solutif dalam menghadapi penyebaran hoaks. Semua ini demi menjaga iklim politik tetap aman dan stabil.
Wawan Kurniawan, Peneliti di Laboratorium Psikologi Politik Universitas Indonesia, Universitas Indonesia
Artikel ini terbit pertama kali di The Conversation. Baca artikel sumber.