Peran ayah dianggap minim dalam pengasuhan anak di Indonesia. Salah satu penyebab Indonesia menjadi negara tanpa ayah atau fatherless country ini adalah budaya patriarki yang kuat. Ayah kepala keluarga dan pencari nafkah utama, sedangkan ibu menjadi pengurus rumah tangga hingga mengasuh anak-anak. Padahal kehadiran sosok ayah sangat penting bagi tumbuh kembang fisik maupun emosional anak.
Indonesia diklaim menyandang predikat “negara tanpa ayah” atau fatherless country. Selayang pandang, predikat ini bertentangan dengan narasi keluarga ideal yang gencar dikampanyekan pada era Orde Baru dan masih dipercaya sebagian besar masyarakat hingga hari ini. Keluarga ideal terdiri dari ayah sebagai kepala keluarga, ibu yang mengurus rumah tangga, dan dua anak—sesuai program Keluarga Berencana (KB). Namun, predikat fatherless tidak sepenuhnya bertentangan. Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA) mendefinisikan fatherless sebagai ketiadaan peran ayah. Artinya, ayah sebetulnya ada atau hadir secara fisik, tetapi tidak terlibat dalam perkembangan anak. Laporan “State of the World’s Fathers” yang dirilis Rutgers Indonesia pada 2015 menyebutkan budaya patriarki sebagai salah satu alasan absennya ayah dalam perkembangan anak di Indonesia. Para ayah diharapkan bekerja ke luar rumah untuk mencari nafkah dan memenuhi kebutuhan rumah tangga. Sementara, para ibu bertugas mengurus pekerjaan rumah tangga, termasuk anak-anak. Jika ibu harus bekerja—guna menambah pendapatan rumah tangga—ibu diharapkan tetap harus menunaikan tugas utamanya. Peran-peran tersebut juga tertuang dalam UU Perkawinan.
“Tidak mengherankan jika mayoritas ayah Indonesia menginternalisasi norma bahwa peran mereka dalam keluarga terbatas pada penyedia kebutuhan dan keuangan keluarga,” tulis Rutgers Indonesia. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), jumlah laki-laki bekerja memang lebih banyak ketimbang perempuan bekerja di Indonesia. Angkanya sebesar 82,6 juta jiwa berbanding 52,7 juta jiwa pada 2022. Jurang perbedaan itu makin dalam pada penduduk yang mengurus rumah tangga. Jumlah perempuan yang mengurus rumah tangga ada sebanyak 37,6 juta jiwa, sedangkan laki-laki hanya 3,6 juta jiwa pada tahun yang sama.
Sayangnya, data ini tidak menunjukkan pula kelompok usia laki-laki dan perempuan yang bekerja atau mengurus rumah tangga. Sebagai gambaran, Katadata.co.id merujuk BPS DKI Jakarta yang punya data tersebut untuk penduduk bekerja di wilayahnya. Perempuan berusia 15-19 tahun yang bekerja di Jakarta tercatat sebanyak 43,3 ribu jiwa pada 2022. Jumlah itu lebih banyak dibandingkan laki-laki pada kelompok usia sama yang sebanyak 40,9 ribu jiwa. Namun, jumlah perempuan bekerja di atas usia 19 tahun—memasuki usia perkawinan dan memiliki anak—tercatat lebih rendah dari laki-laki. Sejalan dengan itu, jumlah laki-laki bekerja di Jakarta pun bertambah signifikan pada kelompok-kelompok usia berikutnya.
Sejumlah anak berusia 0-17 tahun di Indonesia juga hanya tinggal bersama ibu kandungnya. Menurut Kementerian PPPA, kondisi ini disebabkan ayah bekerja di luar kota, orang tua bercerai (cerai hidup), atau ayah meninggal dunia (cerai mati).
Data BPS, yang diolah Kementerian PPPA, menunjukkan ada sebanyak 8,3% anak yang tinggal bersama ibu kandungnya pada 2018. Angka itu meningkat sekitar 2-3% dari sembilan tahun sebelumnya. Sementara, ada pula keluarga yang mengalami kondisi sebaliknya, sehingga anak tinggal bersama ayah kandungnya. Persentasenya tercatat sebesar 2,5% pada 2018, atau tiga kali lebih rendah dari anak yang tinggal bersama ibu kandungnya. Meski begitu, menurut Rutgers Indonesia, anak yang tinggal bersama ayahnya belum tentu diasuh atau dirawat langsung oleh sang ayah. “Ayah mungkin akan menyerahkan perawatan anak sehari-hari pada kerabat perempuan mereka,” tulis organisasi tersebut.
Adapun, data terbaru BPS yang diolah Kementerian PPPA hanya menyebutkan persentase anak yang tidak tinggal bersama kedua orang tuanya, yakni 3,8% pada 2021. Data tersebut tak lagi membedakan antara anak yang tinggal bersama ibu atau ayah kandungnya.
Peran Penting Ayah Bagi Anak
Ayah memiliki peran yang sama pentingnya dengan ibu dalam tumbuh-kembang anak. Peran itu bisa ditunjukkan dengan menghabiskan waktu dan berkegiatan bersama anak. Misalnya, makan bersama, berbincang-bincang, mengajari atau menemani anak mengerjakan tugas sekolah, serta berekreasi. Namun, ayah seringkali hanya punya sedikit waktu, tidak punya waktu, atau bahkan tidak menyediakan waktu untuk hal tersebut, lantaran harus bekerja dan mengamini budaya patriarki yang mengakar di masyarakat. Hasil riset yang dilakukan Dotti Sani dan Treas (2016) bertajuk “Educational Gradients in Parents’ Child-Care Time Across Countries, 1965–2012” di Journal of Marriage and Family menunjukkan waktu yang dihabiskan anak bersama ayah lebih sedikit dibandingkan bersama ibu di beberapa negara.
Di Amerika Serikat, para ibu rata-rata menghabiskan waktu untuk mengurus anaknya selama 104 menit per hari, sedangkan ayah hanya 59 menit per hari pada sekitar 1998-1999. Prancis memiliki perbedaan waktu yang lebih buruk, yakni 106 menit per hari untuk ibu berbanding 29 menit per hari untuk ayah. Pola serupa pun terjadi di negara-negara Nordik, yakni Denmark dan Norwegia, yang umumnya punya rapor baik soal kesetaraan gender dalam masyarakatnya. Meski begitu, Dotti Sani dan Treas menemukan waktu yang dihabiskan anak bersama ayah mengalami peningkatan pada tahun-tahun berikutnya, bahkan sejumlah negara mencapai 100 menit per hari.
Tidak hanya kuantitas, kualitas waktu yang dihabiskan anak dan ayah pun perlu diperhatikan. Misalnya, bagaimana sikap ayah dalam menghabiskan waktu bersama anak, lalu bagaimana ayah menunjukkan kasih sayang, kepedulian, dan sikap suportif pada anak. Sebab, Opondo dkk. (2016) dalam artikel “Father involvement in early child-rearing and behavioural outcomes in their pre-adolescent children” di jurnal BMJ Open mengungkapkan aspek psikologis dan emosional dalam keterlibatan ayah berdampak lebih besar pada tumbuh-kembang anak. Alhasil, menurut Allport dkk. (2018) dalam artikel “Promoting Father Involvement for Child and Family Health” di jurnal Academic Pediatrics, kehadiran dan peran ayah yang berkualitas akan meningkatkan kemampuan kognisi dan kondisi kesehatan mental anak.
Kementerian PPPA juga menyebutkan keterlibatan ayah berdampak positif terhadap anak, yakni anak akan tumbuh dewasa dengan kematangan psikologis yang sesuai dengan usia biologisnya. Ini berguna dalam penyelesaian masalah yang dihadapi anak di masa depan. Selain itu, kebiasaan ayah menghabiskan waktu bersama anak merupakan bentuk dukungan bagi ibu, yang memang masih lebih banyak mengurus anak dan rumah tangga. Opondo dkk. menambahkan, hal itu pun bisa mengurangi depresi yang dirasakan para ibu. Dengan begitu, kehadiran ayah secara fisik dan emosional dalam hidup anak dan keluarganya justru mewujudkan keluarga ideal itu sendiri.
Artikel ini bersumber dari di Katadata.co.id dengan judul "Ironi ‘Fatherless Country’ dalam Citra Keluarga Ideal Indonesia - Analisis Data Katadata" , https://katadata.co.id/ariayudhistira/analisisdata/64618dee06caa/ironi-fatherless-country-dalam-citra-keluarga-ideal-indonesia
Penulis: Aria W. Yudhistira