Menteri Pendidikan (Mendikbudristek) Nadiem Makarim awal tahun ini memaparkan hasil Asesmen Nasional 2021 – sistem evaluasi capaian dan kualitas pembelajaran yang menggantikan Ujian Nasional (UN). Hasilnya, dari 6,5 juta murid kelas 5, 8, dan 11 yang terlibat, separuh berkompetensi literasi kurang dan dua pertiga berkemampuan numerasi rendah.
Asesmen baru ini tentu menawarkan cara baru mengevaluasi capaian murid dan kualitas pengajaran guru di Indonesia dengan meninjau beragam faktor penting. Ini termasuk pengukuran kompetensi dasar dan karakter siswa hingga survei terkait lingkungan belajar mereka.
Sayangnya, satu hal yang jarang masuk dalam instrumen asesmen seperti ini, meski sangat penting, adalah observasi belajar-mengajar langsung di ruang kelas.
Padahal, penelitian di Pakistan menemukan bahwa hasil pengamatan langsung atas proses pengajaran justru lebih penting dalam meningkatkan prestasi murid – bahkan lebih berpengaruh ketimbang karakter dan kualifikasi guru seperti sertifikasi, umur, dan pendidikan mereka.
Seperti apa sistem observasi kelas ini, dan bagaimana pembuat kebijakan bisa menerapkannya untuk meningkatkan kualitas pengajaran di Indonesia?
Observasi guru dan murid di kelas
Di dunia pendidikan global, beberapa instrumen telah dikembangkan untuk observasi kelas. Pada awal 2022, misalnya, program Research on Improving Systems of Education (RISE) Internasional menyusun beberapa indikator – termasuk perilaku guru, penggunaan materi dan fasilitas kelas, interaksi dan dukungan emosional, hingga budaya kelas – untuk mengamati guru dan teknik mengajar seperti apa yang efektif.
Para peneliti mengamati faktor-faktor tersebut pada 106 sekolah di Tanzania.
Mereka menemukan bahwa indikator-indikator tersebut bisa menangkap beberapa aspek kualitas pengajaran guru yang dapat berpengaruh pada capaian belajar murid. Hal-hal ini bisa jadi tidak akan tertangkap dalam asesmen biasa yang tidak melibatkan observasi kelas.
Misalnya, studi menemukan bahwa bagi guru dengan penguasaan materi yang sudah baik, mengasah teknik mengajar mereka bisa membuat murid meraih skor ujian tinggi. Namun, bagi mereka yang penguasaannnya rendah, prioritasnya adalah memperbaiki penguasaan materi terlebih dulu serta meningkatkan jam terbang di kelas, sebelum teknik mengajar mereka bisa berdampak pada capaian siswa.
Mengingat pentingnya observasi kelas semacam ini, kami di program RISE Indonesia menyusun pedoman serupa dengan yang diterapkan di Tanzania, bernama Classroom Observation Tool for Assessing the Dimensions of Teaching Practices (CERDAS).
CERDAS memetakan pola mengajar guru, terutama di tingkat dasar (SD). Desainnya merujuk pada prinsip-prinsip dalam alat evaluasi guru nasional dan beberapa instrumen observasi di negara lain.
Penilaian CERDAS terbagi dalam tiga tahap observasi pembelajaran, yakni saat memperkenalkan materi, inti pelajaran, dan penutup. Pengamatan dilakukan beberapa kali dengan tiap jendela observasi 1-2 jam dengan menanyakan 4 poin penting: 1) sejauh mana guru menerapkan struktur pembelajaran; 2) bagaimana jenis interaksi guru dan murid; 3) seperti apa pertanyaan-pertanyaan yang diajukan guru; dan 4) seperti apa suasana kelas yang terjadi.
Dalam salah satu studi RISE Indonesia, misalnya, kami memakai instrumen CERDAS untuk mengevaluasi kinerja 114 kandidat guru dalam program Pendidikan Profesi Guru (PPG) yang mengajar kelas 1-6, ditambah data terkait capaian akademik mereka.
Hasilnya, sepertiga guru dengan nilai seleksi PPG terbaik (nilai tes masuk online, nilai wawancara, dan IPK S1) belum tentu melakukan praktik pengajaran yang baik dalam mendukung pembelajaran.
Kami juga mendapatkan beberapa wawasan menarik. Salah satunya, praktik pengajaran sepertiga guru dengan nilai teratas dan sepertiga guru dengan nilai terbawah, ternyata relatif sama. Kurikulum yang terlampau padat membuat semua guru mempunyai ruang terbatas untuk mengeksplorasi teknik mengajar yang baik – hal penting yang bisa menjadi evaluasi kebijakan pendidikan di Indonesia.
Observasi kelas sebagai pusat manajemen pengajaran
Kami merekomendasikan agar sistem observasi kelas menjadi pusat manajemen perbaikan mutu pengajaran di Indonesia. Untuk itu, observasi kelas perlu menjadi kegiatan rutin dan berkala.
Bagaimana teknis pelaksanaan dan pemanfatannya?
Beberapa contoh yang bisa sekolah terapkan, misalnya, adalah memasang CCTV dan perekam suara di beberapa kelas yang menjadi ruang observasi.
Tentu demi transparansi dan privasi, keberadaan dan tujuan pemasangan alat ini harus diketahui semua guru – tapi tanpa memberi tahu mereka kapan observasi akan berlangsung. Tujuannya adalah untuk menghindari ‘efek Hawthorne’. Guru yang mengetahui bahwa ia sedang diobservasi, justru bisa sengaja mengubah perilakunya dan bertindak tidak alami.
Setelah semua sarana dan prasarana observasi terpasang, kepala sekolah atau tim evaluasi mengobservasi semua guru minimal sebulan sekali.
Segera setelah observasi kelas, kepala sekolah membahas kekuatan dan kelemahan pengajaran bersama guru yang bersangkutan. Dengan itu, sekolah dapat memberikan saran perbaikan, bantuan, atau pelatihan kepada guru.
Di samping itu, setiap bulan sekolah mengadakan pertemuan dengan semua guru untuk mendengar pemaparan dan membahas informasi hasil seluruh observasi. Pertemuan bulanan ini merupakan forum pembelajaran bersama yang bertujuan mendorong guru memperbaiki diri sendiri.
Akumulasi data hasil observasi kelas di berbagai sekolah juga dapat dipakai oleh dinas pendidikan daerah atau tim riset di lembaga penelitian atau universitas untuk memperkuat kebijakan pendidikan berbasis bukti. Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan pun bisa memanfaatkan akumulasi data daerah untuk melengkapi informasi hasil Asesmen Nasional.
Tak hanya itu, hasil observasi kelas dapat pula dijadikan materi kuliah calon guru di universitas keguruan (Lembaga Pendidikan Tenaga Kependidikan, atau LPTK) dan peserta Pendidikan Profesi Guru (PPG) sebagai bahan persiapan mereka sebelum melakukan latihan praktik mengajar.
Upaya perbaikan mutu pengajaran perlu gotong royong
Membangun budaya observasi kelas sebagai bagian kunci dalam manajemen pengajaran adalah kerja besar, yang butuh biaya besar pula.
Namun, dinamika di ruang kelas sangat penting untuk kita pelajari karena merupakan ‘tempat kejadian perkara’ yang sangat menentukan kualitas pembelajaran.
Kemendikbudristek tentu bertanggung jawab untuk mengawasi dan memperbaiki mutu pengajaran ini. Namun, mereka tidak bisa bekerja sendiri, terlebih setelah Badan Penelitian dan Pengembangannya (Balitbang) terserap ke Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) akhir tahun lalu.
Pelaksanaan asesmen observasi kelas secara nasional membutuhkan gotong royong dari kementerian, BRIN, universitas keguruan, hingga dinas pendidikan daerah.
Kemendikbudristek kemudian bisa mengelola hasilnya menjadi bahan penyusunan dan pelaksanaan kebijakan terkait pembelajaran, guru, dan sekolah. Mengevaluasi data interaksi guru-murid secara rutin dan berkala akan membantu sekolah dan segenap pemangku kepentingan pendidikan memperbaiki capaian edukasi di Indonesia.
Syaikhu Usman, Peneliti Utama, SMERU Research Institute dan Asri Yusrina, Researcher, SMERU Research Institute
Artikel ini terbit pertama kali di The Conversation. Baca artikel sumber.