“Ibu Bukan Pahlawan Super” Sebuah Catatan Kampanye Isu Depresi Pasca Melahirkan
Penulis : Nurul Inayah
  • Foto: Dokumentasi Nurul Inayah
    Foto: Dokumentasi Nurul Inayah

Domestikasi Perempuan yang Mengakar
“Ibu bisa melakukan segalanya, ibu adalah sosok sempurna, ibu adalah wonder women, surga di telapak kaki ibu”. Sekilas kalimat-kalimat tersebut terasa tidak asing, sangat umum digunakan untuk mendeskripsikan sosok seorang ibu. Namun tanpa disadari pujian tersebut adalah jebakan, menciptakan sebuah ruang tuntutan tentang potret seorang ibu. 

Fenomena itu disebutkan oleh Julia Suryakusuma dalam bukunya Ibuisme Negara. Secara mendalam ia mengungkap bagaimana perempuan dikonstruksi agar mampu melakukan segala hal di ranah domestik yang secara tidak langsung membebankan kewajiban keluarga kepada perempuan. 

Julia Suryakusuma (1988) bahkan mengungkap bagaimana negara pada rezim orde baru berperan penting dalam upaya konstruksi tersebut. “Rezim Orde Baru secara sistematis melakukan domestikasi terhadap perempuan melalui organisasi terkecil yaitu keluarga. Ibu dikonstruksikan sebagai panutan keluarga yang bermoral superior.” Lalu, apakah ideologi gender tentang isu domestikasi terhadap perempuan masih relevan saat ini? 

Ancaman Depresi Pasca Melahirkan
Masih luput dalam banyak pembicaraan tentang dampak domestikasi tersebut terhadap perempuan, utamanya pada sebuah periode yang dilalui perempuan yaitu, pasca melahirkan. Periode transformasi perempuan menjadi seorang ibu membuat perempuan menjadi rentan secara fisik dan psikologis. Periode pasca melahirkan inilah seorang ibu tanpa dukungan yang tepat dapat mengalami sebuah “peristiwa” depresi pasca melahirkan atau postpartum depression.

Postpartum depression kerap dialami ibu pasca melahirkan yang disebabkan oleh faktor yang berlapis-lapis, seperti perubahan besar pada fisik dan mental, serta faktor eksternal seperti minimnya informasi mengenai masa postpartum, tanggung jawab pengasuhan yang dibebankan hanya pada ibu, menerima beragam komentar-komentar negatif, dan beragam faktor yang timbul oleh praktik domestifikasi perempuan. 

Beberapa gejala umum depresi pasca melahirkan yaitu, gangguan perubahan mood, cemas, sedih, merasa bersalah, sering menangis, sulit berkonsentrasi, mengalami gangguan makan, gangguan tidur, kesulitan beranjak dari tempat tidur, bahkan merasa, kesulitan dalam merawat bayi.

Melihat pentingnya memperhatikan isu depresi pasca melahirkan ini, saya dan Kala Teater melakukan riset terhadap 52 responden perihal Postpartum Depression. Riset dan upaya penyadaran masyarakat terhadap depresi pasca melahirkan yang kami lakukan didukung oleh UnionAid New Zealand melalui program INSPIRASI. Kami menggunakan kuesioner yang mengadaptasi Edinburgh Postnatal Depression Scale (EPDS) dan Skala Somatisasi (indikator yang digunakan untuk menilai potensi postpartum depression pada ibu). Hasil riset menunjukkan adanya jumlah ibu yang mengalami gejala umum postpartum depression meskipun bukan pada angka yang dominan. 

Para responden menuliskan bahwa mereka kadang sedih hingga menangis tanpa alasan, marah, takut, dan cemas. Secara garis besar, sebanyak 15% ibu hampir selalu merasa bersalah, sedangkan sebanyak 48% ibu kadang-kadang merasakannya. Sedangkan 67% ibu kadang-kadang merasa cemas dan khawatir tanpa alasan, 46% ibu kadang-kadang merasa terbebani dengan segala sesuatu yang dilakukannya. Saat ditanya apakah pernah datang perasaan ingin melukai diri sendiri sebanyak 5,7% menjawab sering, 15,4% menjawab kadang-kadang, 16,2% menjawab hampir tidak pernah dan selebihnya menjawab tidak pernah.

Data juga menampilkan adanya ibu yang merasa disakiti secara emosional oleh komentar dari orang lain. Sebanyak 21% ibu sering merasa disakiti secara emosional dan 48% ibu kadang-kadang merasakannya. Sedangkan untuk skala somatisasi hampir semua responden minimal pernah merasakan keluhan seperti sakit kepala, leher kaku, sakit pinggang, perut kembung, dada terasa nyeri dan panas, keringat dingin, sulit konsentrasi, mudah marah, nafsu makan berlebih atau sebaliknya, serta mudah kelelahan yang menjadi salah satu indikator adanya gangguan stres.

Data lainnya menyebutkan pula sebanyak 73% perempuan memutuskan untuk berhenti bekerja setelah melahirkan yang berkontribusi pada perubahan besar terhadap identitas sosial ibu. Sedangkan terhitung dominan pembagian pengasuhan antara suami dan istri adalah 30:70.

Riset yang kami lakukan bukan untuk mendiagnosa. Data hasil riset menunjukkan fakta ibu mengalami atau berpotensi mengalami postpartum depression. Sedangkan data wawancara juga menunjukkan bahwa beberapa penyebabnya adalah menerima komentar negatif dari konstruksi sosial mengenai ibu, tanggung jawab yang hanya dibebankan pada ibu, dan pengabaian terhadap emosi-emosi negatif yang dirasakan ibu.

Postpartum: Teater Kampanye Depresi Pasca Melahirkan
Pertanyaan yang muncul kemudian, bagaimana mengungkapkan bahwa menjadi ibu adalah kebahagiaan sekaligus kesedihan tanpa ada prasangka? Saya dan Kala Teater kemudian menuangkan data-data tersebut dengan lebih cair melalui sebuah pertunjukan teater yang berjudul Postpartum. Pertunjukan Postpartum merupakan kampanye pentingnya memperhatikan isu Postpartum depression. 

1

Pertunjukan Postpartum berupaya membuka ruang untuk kisah-kisah ibu yang tidak selamanya indah. Kelelahan, sedih, merasa bersalah, cemas, khawatir, takut, merasa sendirian, menerima komentar negatif, dan emosi negatif lainnya yang cenderung diabaikan akan disodorkan dalam pertunjukan ini. Pengalaman-pengalaman tersebut adalah pangkal sehingga ibu mengalami depresi pasca melahirkan atau postpartum depression.

Pertunjukan Postpartum mengungkap kisah-kisah yang lahir dari konstruksi sosial atas posisi dan peran ibu berdasar hasil riset. Kisah-kisah tersebut diumumkan ke penonton, melalui elaborasi realisme. Artistik pertunjukan menebalkan gagasan tematik dengan melibatkan responden riset melalui multimedia yang menyodorkan data wawancara, benda-benda yang merupakan imaji kenyataan sehari-hari dari dunia ibu yang pasca melahirkan. 

1

Postpartum menggunakan bahasa yang transparan, yang datang dari realitas yang dekat, disampaikan oleh aktor yang kadang menjadi ibu, menjadi gambaran konstruksi sosial, juga menjadi karakter antagonis dan protagonis. Aktor adalah corong untuk membongkar citra “ibu yang baik”.

Setelah tiga hari melakukan pertunjukan di hadapan penonton, upaya penyadaran tentang depresi pasca melahirkan ini kemudian dilengkapi dengan diskusi. Narasumber diskusi menghadirkan Dr. dr. Hj. Fitriah Zainuddin, M.Kes (Kepala Dinas Pemberdayaan Perempuan Perlindungan Anak Pengendalian Penduduk dan Keluarga Berencana Provinsi Sulawesi Selatan) dan Syarvia Lukman, M.Psi (Psikolog). 

Dr. Fitriah dengan lugas menyatakan bahwa isu seperti ini memang penting untuk diangkat mengingat masyarakat umum masih menganggap ibu yang mengalami depresi pasca melahirkan masih sangat tabu. Ia juga mengungkap bahwa pemerintah sebenarnya memiliki tindakan untuk mengantisipasi hal tersebut melalui penyediaan jasa konsultasi di puskesmas-puskesmas serta layanan Puspaga (Pusat Pembelajaran Keluarga). Pada Puspaga misalnya, pemerintah memberikan layanan konsultasi psikolog gratis kepada ibu yang membutuhkan. Namun diakuinya sosialisasi terhadap layanan ini masih minim.

Dari perspektif psikologi, Syarvia Lukman membeberkan fakta-fakta penting terkait depresi pasca melahirkan. Ia menceritakan bagaimana klien-kliennya ternyata banyak menyimpan trauma terhadap depresi pasca melahirkan bahkan saat anaknya menginjak usia Sekolah Menengah. Ia menduga bahwa depresi pasca melahirkan yang tidak ditangani baik akan memberi dampak terhadap ikatan dan pengasuhan anak. 

1

Jika mengingat kembali sebuah peribahasa “Butuh satu kampung untuk merawat seorang anak” maka peribahasa itu juga tentu bisa berlaku untuk seorang ibu. Ibu memerlukan sebuah ekosistem yang baik dan tidak mendiskriminasi perannya. 

Akhirnya, terima kasih kepada para ibu dalam proyek ini yang sadar penuh untuk berbagi kisah yang selama ini bersembunyi di balik potret “ibu yang baik” di masyarakat.

Semoga bahagia dan sedih seorang ibu mampu diterima dengan tulus.

Submission Agreement

Terimakasih atas  ketertarikan Anda untuk mengirimkan artikel ke BaKTINews. Dengan menyetujui pernyataan ini, Anda memberikan izin kepada BaKTINews untuk mengedit dan mempublikasikan artikel Anda di situs web dan situs afiliasinya, dan dalam bentuk publikasi lainnya.
Redaksi BaKTINews tidak memberikan imbalan kepada penulis untuk setiap artikel yang dimuat.  Redaksi akan mempromosikan artikel Anda melalui situs kami dan saluran media sosial kami.
Dengan mengirimkan artikel Anda ke BaKTINews dan menandatangani kesepakatan ini, Anda menegaskan bahwa artikel Anda adalah asli hasil karya Anda, bahwa Anda memiliki hak cipta atas artikel ini, bahwa tidak ada orang lain yang memiliki hak untuk ini, dan bahwa konten Artikel Anda tidak mencemarkan nama baik atau melanggar hak, hak cipta, merek dagang, privasi, atau reputasi pihak ketiga mana pun.

Anda menegaskan bahwa Anda setidaknya berusia 18 tahun dan kemampuan untuk masuk ke dalam kesepakatan ini, atau bahwa Anda adalah orang tua atau wali sah dari anak di bawah umur yang menyerahkan artikel.
 
Satu file saja.
batasnya 24 MB.
Jenis yang diizinkan: txt, rtf, pdf, doc, docx, odt, ppt, pptx, odp, xls, xlsx, ods.