Hari Perempuan Internasional (International Women's Day/IWD) yang diperingati setiap tanggal 8 Maret merupakan tonggak perjuangan perempuan di seluruh dunia untuk mengakhiri segala bentuk kekerasan, pelecehan dan diskriminasi berbasis gender. Di Indonesia, partisipasi perempuan masih sulit direalisasikan karena belenggu kekerasan terhadap perempuan yang sistematis dan terstruktur. Peringatan IWD tahun 2024 menjadi momen penting bagi gerakan perempuan, karena ini akan menjadi seruan perlawanan atas segala carut marutnya kebijakan pro-oligarki dan tindakan menghancurkan demokrasi yang selama ini dilakukan oleh rezim pemerintahan Presiden Joko Widodo (Jokowi) dalam 2 (dua) periode kepemimpinannya. Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) bahkan tidak menjalankan fungsi checks and balances, sehingga berbagai kebijakan DPR justru mempersempit kebebasan masyarakat sipil untuk berpendapat.
Kebijakan ini justru melapangkan jalan investasi. Ini bisa dilihat dari disahkannya Undang-Undang (UU) Cipta Kerja, UU Kesehatan, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), UU Pemekaran Papua, dan revisi UU Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) tetap diimplementasikan walaupun mendapat penolakan keras dari masyarakat. Kemerosotan demokrasi di Indonesia juga tergambar jelas dalam proses Pemilu 2024 dimana kita dipertontonkan ketidaknetralan presiden dengan ‘cawe-cawenya’ hingga jajaran menterinya dan pelanggaran etik karena adanya konflik kepentingan di Mahkamah Konstitusi (MK). Tidak berhenti sampai disitu, Presiden Jokowi juga menjadi aktor utama yang melanggengkan impunitas bagi para penjahat Hak Asasi Manusia (HAM).
Situasi di atas menandakan sedang terjadi kemerosotan demokrasi di Indonesia. Perempuan Indonesia melihat bahwa hal tersebut merupakan ancaman serius bagi partisipasi perempuan, karena:
Menihilkan Keterwakilan Perempuan Dalam Politik
Meski keterwakilan mengenai perempuan sudah diatur dalam UU Nomor 7 tahun 2017 dan sudah dipertegas dalam Peraturan Komisi Pemilihan Umum (KPU), namun komitmen pemenuhan keterwakilan perempuan dalam politik masih jauh dari apa yang harapkan. Umumnya partai politik (Parpol), sebagai hulu baru sebatas memenuhi persyaratan kuota 30 % agar lolos untuk mengikuti pemilu. Namun, faktanya pada Pemilu 2024 mayoritas Parpol justru tidak memenuhi syarat keterwakilan 30% perempuan sebagaimana diatur dalam UU Nomor 7 tahun 2017 tentang pemilihan Umum (UU Pemilu) dan KPU terbukti melanggar ketentuan Pasal 460 ayat (1) UU Pemilu. Bahkan, sejak aturan mengenai keterwakilan perempuan disepakati, belum ada kejadian separah ini dimana mayoritas partai politik tidak mematuhi aturan yang ada dan KPU sebagai penyelenggara Pemilu pun membiarkan pelanggaran itu terjadi begitu saja. Hal ini menunjukkan bahwa sampai saat ini komitmen pemenuhan hak perempuan dalam politik dari hulu hingga hilir hanya menjadi sekedar jargon belaka.
Mempersulit Advokasi Hak Perempuan dan Melanggengkan Pemiskinan Perempuan
Tingginya penyerapan tenaga kerja perempuan pada kenyataannya tidak bisa menjadi indikator peningkatan partisipasi bagi perempuan akibat sistem kerja fleksibel yang mengabdi pada kepentingan pasar bebas dan kemudahan investasi. Perempuan justru dipaksa masuk dalam lubang kemiskinan melalui kebijakan upah murah, relasi kerja informal dan tanpa pengakuan status kerja, minim perlindungan bagi penyandang disabilitas, perempuan hamil dan menyusui, serta diskriminatif pada keragaman identitas gender dan orientasi seksual.
Salah satu konsekuensi logis dari lapangnya jalan investasi dan pembangunan adalah pasar tenaga kerja murah. Dalam konteks industri padat karya, salah satunya sektor garmen yang mempekerjakan 90% perempuan justru memperlihatkan bagaimana nihilnya kesejahteraan buruh perempuan di industri tersebut. Sektor garmen paling berisiko terkena dampak krisis – PHK. Di tengah kontrak kerja yang semakin pendek umurnya, sistem No Work No Pay (Tidak Kerja Tidak Dibayar) juga dipraktikkan oleh perusahaan dengan tidak membayar pekerja perempuan yang mengambil haknya seperti cuti hamil, haid, sakit, dan melahirkan. Dengan sistem tersebut, praktik kerja penuh kekerasan menjadi tidak terhindarkan. Upah murah, lembur tidak dibayar dan hak-hak normatif yang meluruh lantaran status kerja fleksibel.
Selama 10 tahun terakhir, angka kekerasan seksual semakin meningkat, baik di ranah privat maupun ranah publik. Perempuan korban kekerasan kerap mengalami diskriminasi dan re-viktimisasi dalam proses peradilan, sehingga sulit mendapat kepastian dan keadilan. Selama 20 tahun Rancangan Undang-Undang Perlindungan Pekerja Rumah Tangga (RUU PPRT) tak kunjung disahkan, dan UU Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS) yang menjadi harapan korban kekerasan seksual masih terganjal dengan peraturan pelaksanaan yang tak kunjung jadi prioritas pembahasan.
Menggagalkan Penyelesaian Pelanggaran HAM Berat
Selama 17 Tahun, masyarakat sipil telah menggelar Aksi Kamisan dengan tuntutan penyelesaian dengan Pengadilan HAM Ad-hoc, namun tidak menemui hasil. Sumarsih, salah satu Presidium Jaringan Solidaritas Korban untuk Keadilan (JSKK) telah mengirimkan surat terbuka sebanyak 445 kepada Presiden Jokowi. Pada masa kampanye Presiden Jokowi tahun 2014, sejumlah perempuan korban pelanggaran HAM berat mendapatkan sedikit harapan. Nawacita yang menjadi program pasangan Jokowi dan Jusuf Kalla menulis keduabelas tragedi pelanggaran HAM berat.
Tak lama setelah dilantik, harapan itu purna kala Jokowi melantik Wiranto menjadi Menkopolhukam. Pernah mereka bertemu langsung dengan Presiden Jokowi pada 31 Mei 2018, menyerahkan draf penyelidikan dan hanya kembali menerima janji. Pada tanggal 23 Oktober 2019, Prabowo dilantik menjadi Menteri Pertahanan ke-26 Republik Indonesia dalam Kabinet Indonesia Maju. Ini menandakan jika Presiden Jokowi tidak memiliki komitmen untuk menyelesaikan HAM berat di Indonesia.
Di sisi lain, hasil hitung cepat pemilu yang menyatakan calon presiden dan calon wakil Presiden (capres-cawapres) Prabowo-Gibran unggul sementara, menandakan penyelesaian pelanggaran HAM berat akan semakin sulit. Dengan sejumlah kenyataan yang terjadi saat ini, perjuangan korban untuk meraih keadilan akan semakin mengalami jalan terjal yang panjang.
Dengan kondisi kemerosotan demokrasi seperti diatas, maka kami Aliansi Perempuan Indonesia menuntut dan menyerukan :
- Tegakkan demokrasi dan supremasi hukum.
- Wujudkan kebijakan yang mendukung penghapusan kekerasan, dan melindungi perempuan, yaitu dengan :
- Sahkan RUU PPRT, RUU Perlindungan Masyarakat Adat, RUU Anti Diskriminasi, dan Raperda Bantuan Hukum DKI Jakarta, dan wujudkan aturan pelaksana yang mendukung implementasi UU TPKS;
- Ratifikasi Konvensi International Labour Organization (ILO) Nomor 190 Tahun 2019 tentang Penghapusan Kekerasan dan Pelecehan di Dunia Kerja;
- Cabut dan/atau membatalkan regulasi anti-demokrasi yang merugikan perempuan, kelompok minoritas lainnya baik di tingkat daerah maupun nasional, seperti UU Cipta Kerja, Revisi UU ITE;
- Susun pengaturan perlindungan Pembela HAM dan lingkungan agar terhindar dari praktik kekerasan, serangan, maupun kriminalisasi;
- Keluarkan larangan pada setiap kebijakan yang mengarah kepada diskriminasi berbasis gender dan orientasi seksual;
- Akomodir kebutuhan maternitas perempuan pekerja;
- Sediakan akses yang ramah bagi disabilitas di lingkungan kerja;
- Berikan jaminan kesehatan yang memadai bagi perempuan pekerja; dan
- Bangun tata kelola pangan yang berkelanjutan dan menurunkan harga sembako.
- Tuntaskan berbagai kasus pelanggaran HAM Berat Masa Lalu dan berbagai pelanggaran HAM saat ini secara berkeadilan dan berpusat pada pemenuhan, serta pemulihan hak-hak korban.
Dalam kesempatan IWD 2024, aksi pada 8 Maret 2024 dilakukan untuk menggugah kesadaran publik dan DPR akan bahaya dari regresi demokrasi yang sedang berlangsung. Kita harus menjawab tantangan ini dengan berupaya bersama untuk menjaga prinsip-prinsip demokrasi, melindungi hak-hak perempuan, dan mendorong kesetaraan gender di Indonesia. Kami mengajak semua pihak untuk memperkuat kerangka hukum, meningkatkan partisipasi dan representasi politik, investasi dalam layanan sosial dan sistem dukungan, dan mendorong proses pengambilan keputusan yang inklusif dan partisipatif yang memprioritaskan kebutuhan dan perspektif perempuan dan kelompok yang termarginalisasi.
IWD 2024 adalah suara perempuan indonesia. Kami yang menyatakan sikap :
Perempuan Mahardhika | Jala PRT | Konde.co | FSBPI | YLBHI | Koalisi Perempuan Indonesia | FAMM Indonesia | Institut Sarinah | Perhimpunan Jiwa Sehat | YAPPIKA | LBH Apik Jakarta | Forum Pengada Layanan | Asosiasi LBH Apik Indonesia | KontraS | Kalyanamitra | Kapal Perempuan | Amartya | KIARA | PPNI I WMW Indonesia | LBH APIK Semarang l Marsinah.id | LPM Didaktika | Perkumpulan Lintas Feminis Jakarta | SafeNet |AMAN Indonesia | SPK | Transparency International Indonesia | Federasi Serikat Pekka Indonesia | LBH Jakarta | LBH Masyarakat | Cakra Wikara Indonesia | Libu Perempuan | Perkumpulan Puan Seni Indonesia | Yayasan Tifa | Arus Pelangi | Sejuk | YLBH Apik Sulawesi Tengah | LBH Apik Jawa Barat | Warga Kampung Susun Bayam | Solidaritas Pemuda Rawamangun | Front Pemuda Perjuangan Indonesia | Komunal Bawah Tanah | SINDIKASI