Green Crime dan Problem Pendanaan Politik Kita
Penulis : Djoko Subinarto
  • Sumber: jurno.id
    Sumber: jurno.id

Sangat boleh jadi ada keterkaitan erat antara ongkos politik yang mahal di negeri ini dengan aktivitas green crime.

Triliunan rupiah uang kotor yang berasal dari hasil korupsi dan sumber ilegal lainnya diduga telah dijadikan sumber pembiayaan kontestasi pemilu di negeri ini. Setidaknya hal tersebut pernah diungkap oleh Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK), yang berkoordinasi dengan Komisi Pemilihan Umum (KPU).

Menurut PPATK, selama tahun 2022 lalu, aliran dana terkait green crime mencapai sekurangnya 4,8 triliun rupiah. PPATK telah menelusuri dana kotor ini pada dua periode pemilu, baik pemilu legislatif maupun pemilu kepala daerah. Green crime merupakan aktivitas kriminal yang merusak lingkungan dan sering digunakan untuk membiayai pemilu di Indonesia. Efek dari green crime mencakup kerusakan ekosistem, kebijakan publik permisif, dan ketegangan sosial.

Berdasarkan analisis dan pemetaan yang dilakukan PPATK, daerah yang rawan terjadi green crime di Indonesia yaitu Aceh, Riau, Bangka Belitung, Sumatera Selatan, Kalimantan Barat, Kalimantan Selatan, Sulawesi Tengah, Sulawesi Tenggara, Maluku, dan Papua. 

 

Dari Dana Green Crime ke Kebijakan Publik

Ihwal bagaimana uang dari aktivitas green crime mengalir ke politisi dan kemudian berperan dalam mempengaruhi regulasi serta kebijakan publik, dapat diilustrasikan setidaknya lewat sejumlah skenario berikut ini.

Pertama, tokoh politik mungkin saja terlibat langsung dalam aktivitas green crime karena memiliki bisnis yang terkait dengan penambangan ilegal, penebangan hutan ilegal, perburuan liar maupun penangkapan ikan ilegal. Aktivitas-aktivitas tersebut tentu saja menghasilkan kucuran uang yang besar, lantas dialokasikan untuk pembiayaan politik sang tokoh saat maju dalam pemilu. Kucuran dana ini bisa digunakan untuk meningkatkan visibilitas dan jangkauan ke khalayak, mengingat ia bisa jor-joran melakukan belanja iklan politik, bahkan jauh sebelum masa kampanye. Ia juga bisa, baik langsung maupun tidak langsung, mempengaruhi pemilih dan hasil pemilihan.

Kedua, pengusaha-pengusaha di sektor tertentu yang melakukan aktivitas green crime menyisihkan sebagian keuntungannya untuk didonasikan ke sejumlah politisi yang maju dalam pemilu. Sebagai imbalan, politisi bisa membuat semacam janji balas jasa untuk melindungi kepentingan para penyumbang dana. Maka, begitu mereka terpilih menjadi anggota legislatif atau kepala daerah, sejumlah regulasi yang dilahirkan justru regulasi-regulasi yang permisif terhadap masalah-masalah kerusakan lingkungan.

Ketiga, tokoh-tokoh politik membangun jaringan khusus dengan industri yang terlibat dalam aktivitas green crime. Jaringan ini tidak hanya turut memperkuat dukungan finansial bagi sang tokoh politik. Ia juga menciptakan kelompok yang melindungi kepentingan satu sama lain setelah pemilu usai. Hasilnya, sejumlah politisi mungkin mendorong legislasi atau kebijakan yang melegitimasi atau mentolerir praktik-praktik yang merusak lingkungan.

Keempat, pengusaha yang terlibat dalam green crime dapat menggunakan uang hasil kejahatan mereka untuk membangun kampanye yang mampu mengubah narasi publik. Narasi ini bisa menciptakan citra positif bagi politisi yang mendukung kepentingan mereka, sehingga membuat masyarakat mendukung kebijakan yang pro-green crime.

Kelima, politisi yang mendukung green crime bisa mempengaruhi proses penganggaran pemerintah dengan mengalokasikan dana untuk proyek yang menguntungkan green crime. Dengan mengubah alokasi anggaran, mereka dapat menciptakan ketergantungan ekonomi bagi masyarakat lokal pada praktik-praktik yang sejatinya merusak lingkungan.

Setiap skenario sudah barang tentu merepresentasikan kompleksitas hubungan antara politik, uang, dan dampak lingkungan, serta menunjukkan bagaimana aktivitas green crime dapat mempengaruhi kebijakan publik secara sistemik.

 

Ongkos Meraih dan Mempertahankan Kekuasaan

Kita harus akui ongkos untuk meraih dan/atau mempertahankan kekuasaan di negara kita saat ini tidaklah murah. Dana yang harus dimiliki para kandidat untuk menjadi kepala daerah tingkat II saja sebesar 20-30 miliar rupiah. Adapun untuk gubernur harus memiliki dana 100 miliar rupiah. Hal tersebut pernah diungkap Alexander Marwata, Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) saat menyampaikan sambutan dalam acara bertajuk “Politik Cerdas Berintegritas (PCB) Terpadu”, yang digelar Gedung Pusat Edukasi Anti Korupsi, KPK, Jakarta, beberapa waktu lampau.

Data Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat (LPEM) Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia pernah menyebut besaran pengeluaran untuk ikut kontestasi dalam pencalegan, misalnya, dibutuhkan antara 1,18 miliar rupiah sampai 4,6 miliar rupiah. Jumlah itu berdasarkan penelitian pada pemilu tahun 2014. Sekarang boleh jadi jumlah uang yang harus dirogoh dari kocek jauh lebih besar lagi.

Jumlah uang yang besar itu dibutuhkan untuk biaya operasional, seperti antara lain untuk biaya sosialisasi, kampanye, belanja iklan politik, membayar para saksi di tempat pemungutan suara (TPS) maupun membayar para konsultan politik, atau bahkan membayar dukun politik.

Ongkos yang harus digelontorkan akan bertambah besar tatkala ada mahar politik. Istilah mahar politik merujuk kepada jumlah uang tertentu yang mesti disetorkan kepada partai politik oleh seorang bakal calon yang hendak maju dalam kontestasi pemilu. Mahar politik dibutuhkan agar sang bakal calon mendapat rekomendasi dan dukungan penuh dari partai politik bersangkutan.

Ihwal besaran mahar politik sempat mencuat jadi perhatian publik tahun 2018 lalu ketika La Nyalla Mattalitti mengaku dimintai uang sebanyak 40 miliar rupiah oleh salah satu partai demi mendapat dukungan untuk menjadi calon gubernur dalam ajang Pilkada di Jawa Timur.

 

Perlunya Menurunkan Ongkos Politik

Tingginya ongkos politik ini tentu saja akan mendorong para kontestan pemilu untuk berupaya sekuat tenaga mencari sumber pendanaan yang memadai. Tak menutup kemungkinan sumber pendanaan itu berasal dari aktivitas green crime. Oleh sebab itu, salah satu ikhtiar untuk menekan aktivitas green crime di negeri ini adalah menurunkan ongkos politik.

Partai politik dan para pelaku politik mesti berani mencari cara-cara untuk turut memangkas ongkos politik. Pada saat yang sama, regulasi dan prosedur terkait pemilu perlu terus disempurnakan, termasuk penerapan e-voting untuk semakin memotong ongkos demokrasi negeri ini, sebagaimana pernah diusulkan Menteri Dalam Negeri, Tito Karnavian.

Di sisi lain, transparansi juga sangat dibutuhkan. Pada level institusi keuangan, perlu pula dipertimbangkan penggunaan teknologi analitik data lanjutan dan pembelajaran mesin untuk memantau aktivitas transaksional dan menangkap aliran dana yang mencurigakan, khususnya pada momen menjelang pemilu. Dengan demikian dana-dana dari sumber kotor untuk pembiayaan pemilu dapat segera terdeteksi.

 

Green Crime Sebagai Bentuk Ekosida

Tak kalah pentingnya adalah penegakan hukum. Green crime, sebagai bentuk ekosida, termasuk kejahatan luar biasa. Pasalnya, green crime menimbulkan kerugian bukan hanya bagi negara, tetapi juga bagi Bumi dan melahirkan dampak luar biasa besar dan berefek panjang yang sangat sulit dipulihkan.

Sebagai bentuk ekosida, green crime mendegradasi lingkungan, menyebabkan penghancuran ekosistem, hilangnya keanekaragaman hayati, dan kerusakan sumber daya alam, yang buntutnya dapat mengganggu ekonomi lokal, terutama di komunitas yang bergantung pada pertanian, perikanan, atau pariwisata. Green crime juga punya dampak negatif ke komunitas terpinggirkan, yang mengarah pada penggusuran, hilangnya mata pencaharian, dan ketegangan sosial. Apalagi kerusakan lingkungan akibat aktivitas green crime bisa mempengaruhi ekosistem global dan sistem iklim.

Kendati demikian, penegakan hukum terkait green crime di negeri ini masih lembek. Meski negara kita telah memiliki Undang-undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Pengelolaan dan Perlindungan Lingkungan Hidup, yang didalamnya memuat pasal-pasal yang mengatur soal sanksi, baik itu berupa denda, hukuman perdata maupun hukuman pidana. Toh dalam realitanya para pelaku green crime sering hanya dikenai hukuman ringan.

Padahal, para pelaku green crime ini sungguh layak diberi ganjaran hukuman yang sangat berat dan memberi efek jera. Lembeknya penegakan hukum untuk para pelaku green crime tentunya tak jauh-jauh dari fakta bahwa mereka dibekingi korporasi, politisi, pejabat, hingga aparatur penegak hukum. Ini menjadikan para pelaku green crime merasa memiliki impunitas dan berada di luar jangkauan hukum. Satu-satunya solusi untuk memberantas hal ini adalah memangkas ongkos politik supaya politisi tidak perlu meminta uang dari pelaku green crime.

 

Sumberhttps://jurno.id/green-crime-dan-problem-pendanaan-politik 

Submission Agreement

Terimakasih atas  ketertarikan Anda untuk mengirimkan artikel ke BaKTINews. Dengan menyetujui pernyataan ini, Anda memberikan izin kepada BaKTINews untuk mengedit dan mempublikasikan artikel Anda di situs web dan situs afiliasinya, dan dalam bentuk publikasi lainnya.
Redaksi BaKTINews tidak memberikan imbalan kepada penulis untuk setiap artikel yang dimuat.  Redaksi akan mempromosikan artikel Anda melalui situs kami dan saluran media sosial kami.
Dengan mengirimkan artikel Anda ke BaKTINews dan menandatangani kesepakatan ini, Anda menegaskan bahwa artikel Anda adalah asli hasil karya Anda, bahwa Anda memiliki hak cipta atas artikel ini, bahwa tidak ada orang lain yang memiliki hak untuk ini, dan bahwa konten Artikel Anda tidak mencemarkan nama baik atau melanggar hak, hak cipta, merek dagang, privasi, atau reputasi pihak ketiga mana pun.

Anda menegaskan bahwa Anda setidaknya berusia 18 tahun dan kemampuan untuk masuk ke dalam kesepakatan ini, atau bahwa Anda adalah orang tua atau wali sah dari anak di bawah umur yang menyerahkan artikel.
 
Satu file saja.
batasnya 24 MB.
Jenis yang diizinkan: txt, rtf, pdf, doc, docx, odt, ppt, pptx, odp, xls, xlsx, ods.