Kesenjangan penghasilan antar gender merupakan salah satu topik penting dalam masalah ketenagakerjaan. Richard Anker menjelaskan bahwa kesenjangan penghasilan antar gender terjadi di seluruh negara, tidak terkecuali Indonesia.
Menurut temuan dari Korn Ferry Gender Pay Index, kesenjangan upah gender di Indonesia secara keseluruhan sebesar 5.3%, di mana perempuan dibayar 1.7% lebih rendah dengan posisi pekerjaan yang sama. Menurut Badan Pusat Statistik tahun 2017, perbedaan upah gender di Indonesia mencapai 690 ribu rupiah per bulan. Sama halnya dengan laporan Australia-Indonesia Partnership for Economic Governance 2017 menulis bahwa perempuan dibayar 70-80% dari yang didapatkan laki-laki per jam. Ini berarti setiap 1 juta rupiah yang dihasilkan laki-laki per jamnya, perempuan hanya memperoleh 700 hingga 800 ribu per jamnya.
Secara terminologis, gender pay gap atau kesenjangan upah gender dapat didefinisikan sebagai kesenjangan antara upah yang dibayarkan kepada laki-laki dan perempuan. Pada umumnya, istilah ini mengacu kepada median upah tahunan seluruh perempuan yang bekerja penuh waktu sepanjang tahun, dibandingkan dengan upah laki-laki dengan metode yang sama. Beberapa faktor dari kenyataan kesenjangan tersebut adalah segregasi pekerjaan, bias terhadap pekerja perempuan, dan diskriminasi upah.
Banyak orang berpendapat bahwa, masalah rendahnya penghasilan perempuan daripada laki-laki di Indonesia, tidak terlepas dari budaya patriarki yang sering kali tidak menguntungkan bagi perempuan. Peran laki-laki sebagai pencari nafkah dan perempuan sebagai ibu rumah tangga membuat partisipasi perempuan di pasar kerja tidaklah sebesar partisipasi laki-laki. Kalaupun bekerja, perempuan sering dibayar lebih murah dibandingkan laki-laki, meskipun memiliki kemampuan yang sama.
Sekelompok masyarakat beranggapan bahwa, gender pay gap merupakan masalah yang secepat mungkin harus dihilangkan karena merupakan wujud nyata dari diskriminasi terhadap perempuan. Kelompok lain beranggapan bahwa gender pay gap terjadi dikarenakan faktor-faktor selain diskriminasi. Kesimpulan bahwa gender pay gap menunjukkan diskriminasi gender tidak dapat langsung diambil jika faktor-faktor lain seperti faktor biologis masih ada dan tidak dianggap tetap (kondisi ceteris paribus). Namun, apakah perbedaan faktor biologis atau faktor ilmiah lainnya dapat menjustifikasi ketidakadilan dalam hal pengupahan tenaga kerja?
Bicara mengenai penyebab, saya memecah penyebab dari diskriminasi gender yang berakibat pada gender pay gap menjadi 3 bagian. Bagian yang pertama adalah pembagian 2 jenis hak, yaitu positive freedom dan negative rights. Positive freedom adalah segala hak untuk memiliki kontrol terhadap diri kita sendiri. Sedangkan, negative rights adalah hak prerogatif di mana hak manusia tersebut tidak boleh diintervensi oleh pihak manapun. Saya meyakini bahwa kesenjangan pekerjaan antara laki-laki dan perempuan mengacu pada permasalahan dalam negative rights.
Setiap manusia, baik dalam gender apapun, memiliki hak untuk memilih pekerjaannya, dan tidak boleh ada pemaksaan dalam bentuk apapun. Dalam pandangan saya, isu gender pay gap secara spesifik bukan merupakan isu ekonomi, melainkan sebuah isu sosial.
Selanjutnya, menanggapi regulasi pemerintah mengenai kewajiban peran perempuan dalam pemerintahan, terkait dengan positive freedom dan negative rights, pemberian pekerjaan seharusnya didasari kompetensi dan bukan pemaksaan kuota gender.
Regulasi ini merupakan tindakan pemerintah yang menggerus hak pilih individu dalam memilih pekerjaan. Hal yang seharusnya dilakukan pemerintah adalah mendukung para perempuan yang memiliki kompetensi dan memberi akses pada siapapun (tidak semata terbatas karena gender) yang setara dalam dunia politik untuk tidak takut mencoba masuk ke dunia politik dan pemerintahan. Yang dilihat di sini seharusnya value seseorang sebagai individual, bukan value sebagai gender, ras, agama, dan lainnya.
Banyak variabel serta faktor pendukung lainnya yang menyebabkan perbedaan upah antara laki-laki dan perempuan, bukan semata-mata perihal perbedaan gender sehingga tidak sah untuk membuat sebuah blanket statement untuk semua kondisi.
Mari kita lihat ke ranah lapangan kerja yang juga mengikuti hukum supply and demand. Saya ambil contoh, model. Kalau memang murni perbedaan upah karena gender pay gap, kenapa penghasilan model perempuan rata-rata lebih tinggi dibanding model laki-laki? Hal ini dikarenakan demand untuk model laki-laki lebih sedikit dibandingkan perempuan. Contoh lain di Georgetown University terdapat 10 jurusan dengan prospek gaji tinggi ketika bekerja, tetapi hanya 1 jurusan yang mahasiswanya mayoritas perempuan. (Carnevale, Smith, Gulish. 2018).
Hal ini menandakan bahwa memilih profesi merupakan keputusan pribadi individu (negative rights). Perempuan bisa saja memilih jurusan yang memiliki upah tinggi di dunia pekerjaan, tetapi banyak yang memutuskan untuk tidak memilih jurusan tersebut.
Di satu sisi, secara inheren, perbedaan antara laki-laki dan perempuan akan selalu ada. Namun, hal itu tidak selalu berarti diskriminasi. Perbedaan sifat perempuan dan laki-laki yang sudah digeneralisir oleh masyarakat, seperti stigma gender perempuan memiliki sifat yang lebih lembut, cengeng, dan sensitif dibanding laki-laki. Sedangkan, stigma laki-laki dianggap memiliki peran natural sebagai pemimpin. Stigma perbedaan fungsi ini muncul karena perbedaan alat kelamin dan berimbas pada pemisahan profesi antara laki-laki dan perempuan.
Stigma-stigma tersebut kemudian mengakar pada masyarakat dan dianggap menjadi kodrat gender. Persepsi kodrat merupakan hasil dari proses internalisasi yang panjang, sehingga hampir seluruh masyarakat menganggap kodrat laki-laki adalah bekerja dan kodrat perempuan adalah diam di rumah tanpa mengetahui asal-usul kodrat tersebut, masyarakat ikut meyakininya. Proses internalisasi yang terjadi sejak waktu yang lama inilah yang juga mendasari norma gender.
Pada kenyataannya, sangat sulit untuk menghitung jumlah perempuan yang terkena efek patriarki (diskriminasi dan dirugikan akan hal tersebut), dengan perempuan yang memang memilih jalannya berdasarkan keputusannya sendiri. Memang, ada faktor pendukung juga dalam pengambilan keputusan individu, seperti stigma masyarakat. Namun, pada akhirnya, individu harus dapat memilih sesuai dengan keputusannya sendiri.
Artikel ini bersumber dari https://suarakebebasan.id/gender-pay-gap-dan-kebebasan-memilih/