Pengembangan energi surya di perguruan tinggi di Indonesia mulai berjalan. Sebagian gedung-gedung kampus pun sudah pakai solar panel. Gerakan ini disebut sebagai langkah ikut mendorong transisi energi dari fosil ke terbarukan. Di kampus ITN II Malang, salah-satu contoh kampus yang menggunakan pembangkit energi matahari ini.
Institute for Essential Service Reform (IESR) menilai, pengembangan energi terbarukan masih lambat dengan pertumbuhan hanya sekitar 400-500 MW per tahun selama lima tahun terakhir. Pertumbuhan ini juga jauh dari target pemerintah dalam meningkatkan energi terbarukan 2-3 GW per tahun dalam lima tahun terakhir. Pemerintah Indonesia sendiri menargetkan bauran energi 23% pada 2025, sebagaimana dokumen kebijakan energi nasional (KEN). Sektor komersil dan instansi dinilai dapat berkontribusi mempercepat target ini termasuk perguruan tinggi.
Dengan pakai energi surya di perguruan tinggi, selain ikut berkontribusi menekan emisi juga menghemat biaya listrik mereka. Sebelum ada PLTS, kampus ITN II Malang misalnya, harus merogoh kocek hingga Rp 50 juta per bulan hanya untuk membayar tagihan listrik. Kini, dalam sebulan, biaya berkisar Rp 10-15 juta.
Widodo Pudji Muljanto, penanggung jawab PLTS ITN II Malang mengatakan, sejak awal dibangun, pembangkit energi surya ini bukan hanya untuk mendukung rencana pemerintah memenuhi target bauran energi 23% pada 2025. Selain itu, PLTS di ITN II Malang pun sekaligus tempat belajar para pihak yang ingin tahu soal energi terbarukan, khusus energi surya. Tak mengherankan bila PLTS yang diresmikan 2022 itu jadi junjungan siswa menambah wawasan tentang energi terbarukan, terutama berbasis energi surya. “Ini memang kami buka untuk umum,” kata Widodo, kepada Mongabay, beberapa waktu lalu.
Seperti beberapa waktu lalu, belasan siswa SMA Nasional Kota Malang terlihat bersemangat. Mereka menyimak penuturan tim mahasiswa jurusan elektro saat menjelaskan cara kerja pembangkit listrik tenaga surya (PLTS) di kampus ini.
Para siswa itu sengaja datang guna mengetahui secara langsung bagaimana pemanfaatan matahari sebagai sumber energi.
“Mereka senang karena akhirnya tahu langsung,” katanya.
Ekspor ke PLN
Selama ini, teknik elektro ITN II Malang dikenal cukup unggul. Di antara 15 kampus di Indonesia, ITN II Malang salah satunya, kata Rektor ITN Malang, Awan Uji Krismanto. Keunggulan itu yang coba diperkuat dengan membangun PLTS. Untuk keperluan itu, seluas satu hektar disiapkan dan hampir setengah hektar atau 3.927 meter persegi telah terpakai.
Selama hampir setahun instalasi, PLTS yang dibangun dengan dukungan PT Wika dan PT Sun Energy itu bisa menghasilkan listrik 0,5 Megawatt. Angka itu sekaligus menempatkan sebagai yang terbesar untuk kalangan perguruan tinggi di Pulau Jawa. Saat siang, kata Awan, energi lebih banyak tak terpakai. Sisanya, mereka ekspor atau salurkan ke PLN dengan skema 65% dari harga normal. Hasil penjualan itu yang dikonversi untuk mengurangi tagihan listrik kampus.
Sistem PLTS ITN Malang berjenis ground-mounted, beroperasi dengan skema on-grid berkapasitas 501,3 kWp atau sekitar 0,5 MWp. Untuk menghasilkan energi sebesar itu, total panel PV terpasang mencapai 1.114 lembar.
Awan menceritakan, ITN memiliki hubungan sangat baik dengan daerah-daerah di Indonesia Timur yang kebetulan banyak memiliki PLTS tetapi kerap alami kendala dalam maintenance. ITN pun sudah mendapat restu KESDM sebagai penyelenggara uji kompetensi dan menawarkan pelatihan serta sertifikasi bagi calon tenaga ahli (engineer) bidang PLTS. Dengan begitu, katanya, keterbatasan tenaga ahli untuk perawatan bisa teratasi.
“Kami sangat terbuka. Siapa pun dapat mengunjungi sekaligus belajar mengenai sistem PLTS, pengetahuan dasar sistem PLTS, instalasi, monitoring, dan pemeliharaan.”
PLTS atap, salah satu cara yang bisa dilakukan masyarakat termasuk perguruan tinggi untuk mulai beralih dari energi fosil ke sumber terbarukan, dalam hal ini matahari.Foto : Donny Iqbal/Mongabay Indonesia
Tren naik
Penggunaan PLTS oleh ITN bukanlah satu-satunya di kalangan perguruan tinggi di Indonesia. Data yang dihimpun Mongabay, tren transisi energi itu mulai dilakukan kampus lain dengan kapasitas beragam. Universitas Gadjah Mada (UGM) salah satunya. Menjelang akhir tahun lalu, kampus di Yogyakarta ini meresmikan PLTS terbaru untuk ruang Siti Nurbaya, Gedung KMLB Fakultas Geografi.
Dengan beroperasinya PLTS teranyar itu, sudah 7 dari 50 gedung UGM teraliri listrik energi matahari. Dari ketujuh gedung itu, kapasitas dihasilkan ‘hanya’ 326,25 kilowatt peak (kWP) atau setara 1% dari kebutuhan listrik UGM per bulan.
Arief Setiawan Budi Nugroho, Wakil Rektor UGM Bidang Perencanaan, Aset dan Sistem Informasi, mengatakan, setiap bulan, konsumsi listrik UGM mencapai 2,1 GWh, total 25,63 GWh per tahun. “Ini artinya UGM juga jadi penghasil emisi cukup besar karena sumber energi terbesar dari grid PLN dengan bahan bakar utama fosil,” katanya, dikutip dari laman kampus.
Arif bilang, 326,25 kWP yang dihasilkan dari PLTS di tujuh gedung itu masih sangat sedikit. Setidaknya itu jadi bagian komitmen bersama-sama mengurangi emisi demi mencegah pemanasan global.
“Kalau tujuh gedung (yang sudah terpasang) baru berkontribusi 1%, dengan 43 gedung lain kira-kira enam kali lipatnya.”
Sebelumnya, pemerintah menargetkan bauran energi 23% pada 2025, sebagaimana dokumen kebijakan energi nasional (KEN). Sektor komersil dan instansi dinilai dapat berkontribusi mempercepat target ini termasuk perguruan tinggi.
Untuk mendukung program ini, KESDM dan Kemendikbudristek telah meluncurkan program Gerakan Inisiatif Listrik Tenaga Surya (Gerilya). Gerakan ini untuk menyiapkan tenaga mahir dalam mendorong massifikasi pemasangan PLTS. “Program Gerilya akan melahirkan aktivis energi bersih dari generasi muda yang turut mempercepat pemanfaatan solar rooftop dan mendukung pencapaian target bauran EBT 23% pada 2025,” kata Arifin Tasrif, Menteri ESDM.
Nizam, Dirjen Diktiristek Kemendikbudristek, mengatakan, selain penyiapan tenaga ahli melalui kolaborasi program merdeka belajar, juga mendorong penggunaan energi bersih di lingkungan kampus. Dengan sekitar 4.000 kampus, dia yakin akan berkontribusi besar terhadap target bauran energi di Indonesia.
Panel Surya ITN Malang yang dibangun dengan sistem ground-mounted. Foto: A. Asnawi/ Mongabay Indonesia
Sentra pengembangan
Anggita Pradipta, Head of Marketing Sun Energi mengatakan, penggunaan PLTS saat ini menjadi tren di kalangan instansi. Tak terkecuali lembaga pendidikan, termasuk perguruan tinggi. Lembaga pendidikan dan perguruan tinggi dia nilai dapat berperan dalam menjawab tantangan besar menuju Indonesia bebas emisi karbon (net zero emission).
Sebagai sentra pengembangan ilmu pengetahuan, katanya, lembaga pendidikan tinggi dapat melakukan kajian ilmiah dan riset, peningkatan sumber daya manusia, serta peningkatan mutu dalam pengembangan energi terbarukan di Indonesia.
“Sebagai upaya mengakselerasi pemanfaatan energi terbarukan, instalasi PLTS di lembaga pendidikan jadi salah satu fokus kami,” kata Anggi. Hingga kini, yang dipasang Sun Energy tercatat ada 11 perguruan tinggi dan tujuh sekolah di Indonesia menggunakan PLTS.
Kapasitas terpasang lambat
Kendati permintaan PLTS cenderung meningkat, jumlah kapasitas terpasang secara nasional lambat bila dibanding target. Merujuk dokumen kinerja Dirjen EBTKE KESDM, hingga akhir 2022, kapasitas terpasang baru 271,6 megawatt. Angka itu jauh dari target 893,3 MW sampai 2022.
Institute for Essential Service Reform (IESR) mengatakan, berdasar data KESDM, secara umum pemanfaatan energi terbarukan nasional pada 2022 baru mencapai 12,3% dari target 23% pada 2025.
IESR menilai, pengembangan energi terbarukan masih lambat dengan pertumbuhan hanya sekitar 400-500 MW per tahun selama lima tahun terakhir. Pertumbuhan ini juga jauh dari target pemerintah dalam meningkatkan energi terbarukan 2-3 GW per tahun dalam lima tahun terakhir. Dengan sisa waktu, pemerintah dinilai perlu menyiapkan strategi baru demi mengejar ambisi bauran energi 23% pada 2025.
Sumber: Mongabay Indonesia