Hampir dua tahun Indonesia menyusuri jalan panjang pandemi COVID-19. Sejak kasus pertama COVID-19 ditemukan di Indonesia pada 2 Maret 2020, wabah ini telah memaksa pemerintah mengubah rencana pembangunan yang telah disusun. Dalam kondisi ini, pemerintah Indonesia menghadapi tekanan yang hebat untuk menghadirkan kebijakan penanganan pandemi yang cepat sekaligus tepat. Sayangnya, terdapat banyak tantangan dalam mewujudkan kebijakan yang komprehensif dan berlandaskan ketepatan data. Hal ini khususnya tercermin pada respons kebijakan pandemi COVID-19 yang berorientasi top-down (berasal dari atas/pemerintah pusat untuk kemudian dijalankan oleh pemerintah daerah dan masyarakat luas), belum terkoordinasi lintas sektor dan terhubung dengan masyarakat.
Bagaimana perjalanan respons kebijakan Indonesia secara garis besar selama pandemi? Apa yang bisa diperbaiki guna meningkatkan ketahanan dan kegesitan Indonesia dalam menghadapi situasi genting serupa pandemi di masa yang akan datang?
Respons Kebijakan Pandemi yang Terkotak-Kotak di Indonesia
Penanganan pandemi yang dijalankan pemerintah Indonesia cenderung sektoral, seakan mengontraskan kebutuhan pemulihan sektor kesehatan dengan sektor ekonomi. Terdapat tarik-menarik tujuan utama penanganan pandemi COVID-19, tercermin pada keputusan pemerintah yang mengganti-ganti bidang dan penanggung jawab penanganan pandemi.
Di masa awal pandemi, tepatnya sebelas hari sejak kasus pertama positif COVID-19 ditemukan di Indonesia, pemerintah mengeluarkan Keputusan Presiden No. 7 Tahun 2020 tentang Gugus Tugas Percepatan Penanganan COVID-19 sebagai dasar dari pembentukan Gugus Tugas sebagai penanggung jawab penanganan pandemi nasional. Gugus Tugas ini dipimpin oleh Kepala Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) dan bertanggung jawab kepada Presiden.
Lalu, pada Juli 2020, melalui Peraturan Presiden No. 82 Tahun 2020, mandat Gugus Tugas diintegrasikan ke dalam Komite Pemulihan Ekonomi Nasional (KPC-PEN) yang diketuai oleh Kementerian Koordinator (Menko) Bidang Perekonomian, Airlangga Hartanto. Perubahan ini didasari oleh penambahan satuan yang berfokus pada pemulihan ekonomi nasional. Melalui integrasi ini, Gugus Tugas bertransformasi menjadi Satuan Tugas (Satgas) Penanganan COVID-19, salah satu bagian dalam KPC-PEN yang bertugas melakukan implementasi penanganan COVID-19.
Selanjutnya, perubahan komando juga kembali dilakukan ketika terjadi lonjakan kasus pada Juli 2021. Kala itu, Presiden menunjuk Menko Bidang Kemaritiman dan Investasi, Luhut Binsar Pandjaitan sebagai Koordinator PPKM Darurat Jawa-Bali. Di saat bersamaan, Luhut juga menjabat sebagai Wakil Ketua KPC-PEN yang terlibat aktif dalam penentuan kebijakan pembatasan sosial selama pandemi di Indonesia.
Penanganan pandemi bersifat sektoral yang hanya melibatkan lembaga lembaga tertentu berdampak pada pergantian komando yang membingungkan koordinasi antar lembaga. Kebingungan ini antara lain disebabkan oleh komposisi komando yang beririsan dengan kabinet pemerintahan. Di masa awal pandemi, pelibatan para ahli kesehatan seperti epidemiolog dalam pergantian komando juga terbilang rendah, sehingga pendekatan penanganan pandemi minim perspektif keilmuan medis. Tidak hanya itu, pergantian komando tersebut juga memunculkan perubahan-perubahan kebijakan yang menyulitkan penyesuaian.
Kewajiban Masyarakat Melakukan 3M VS Kewajiban Pemerintah Melaksanakan 3T
Jika ditelaah lebih jauh, penanganan pandemi di Indonesia juga belum sepenuhnya mengoptimalkan partisipasi masyarakat. Hal ini tampak dari keterpisahan dan bahkan tarik-menarik peran dan tanggung jawab antara pemerintah dengan masyarakat. Belum optimalnya upaya penanganan ini misalnya tampak pada kebijakan intervensi 3M (memakai masker, mencuci tangan dan menjaga jarak) dan 3T (testing, tracing dan treatment).
Pemerintah kerap menekankan peran penting masyarakat dalam mematuhi protokol kesehatan 3M guna menekan angka penularan virus. Pemerintah menilai persoalan hulu pandemi terletak pada kebiasaan masyarakat yang belum sepenuhnya patuh pada protokol kesehatan. Penilaian ini diperkuat dengan hasil penelitian Kementerian Kesehatan yang menunjukkan walau tingkat penggunaan masker mencapai angka 93%, namun hanya sekitar 54% responden yang selalu menjaga jarak dan 42% yang mencuci tangan dengan benar.
Sebagai penyeimbang perspektif yang mengutamakan aspek kedisiplinan masyarakat dalam penanganan pandemi, Dicky Budiman, epidemiolog dari Griffith University, menilai bahwa kemampuan pemerintah mencapai target pelaksanaan 3T juga berperan penting dalam menentukan keberhasilan penanganan COVID-19 di Indonesia. Perihal target tes, Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) menetapkan standar pemeriksaan 1:1.000 warga untuk setiap pekan, dan rasio pelacakan kontak 1:30 untuk setiap kasus terkonfirmasi positif. Adanya standar ini mendorong 3T dilaksanakan secara konsisten dan menyeluruh di setiap daerah, bahkan ketika kasus melandai sekalipun.
Pada September 2021, pemerintah mengklaim telah mencatat rasio positif terendah sebesar 3,05%, jauh di bawah angka 30-40% yang tercatat pada lonjakan gelombang kedua di bulan Juli 2021. Rasio pada bulan September tersebut telah memenuhi standar minimum rasio positif WHO yang berada di angka 5%. Meski begitu, epidemiolog dari Universitas Indonesia, Tri Yunis Miko Wahyono mengatakan bahwa standardisasi pelacakan kontak dan tes COVID-19 yang sudah ditetapkan pemerintah masih belum berjalan dengan baik di lapangan.
Implementasi pelacakan kontak yang sesuai dengan standar WHO hanya terjadi di DKI Jakarta. Sementara itu, untuk daerah-daerah di luar DKI Jakarta pelacakan kontak masih banyak yang belum berjalan sebagaimana mestinya, baik dari segi standar tes maupun pelacakan. Oleh karena itu, meski rasio positif menurun, epidemiolog tidak menganggap hal tersebut sebagai jaminan tidak adanya lonjakan kasus di masa depan. Menanggapi kondisi ini, pemerintah semestinya menunjukkan proses pengumpulan data yang aktual dan akurat sehingga dapat dikonfirmasi dengan baik.
Untuk menekan angka kematian, upaya tes dan pelacakan sangat krusial untuk dilakukan agar infeksi bisa segera terdeteksi. Sayangnya, implementasi 3T masih belum dilakukan secara masif dan serius. Hal ini juga diperparah dengan ketidaksiapan sistem kesehatan nasional dalam menghadapi pandemi. Fasilitas layanan kesehatan di Indonesia masih belum siap dalam menangani pandemi karena jumlahnya yang sangat minim.
Berdasarkan riset yang dilakukan katadata.co.id, rasio tempat tidur rumah sakit di Indonesia ada di angka 1,17 per 1.000 penduduk pada tahun 2018. Artinya, Indonesia hanya memiliki 1 tempat tidur rumah sakit per 1.000 penduduknya. Angka ini sangat jauh jika dibandingkan dengan Korea Selatan yang memiliki kurang lebih 11 tempat tidur rumah sakit per 1.000 penduduk. Rendahnya rasio ini diperparah dengan kondisi jumlah tempat tidur di tiap wilayah yang tidak merata. Hal ini disebabkan oleh ketimpangan infrastruktur dan akses terhadap kesediaan rumah sakit di masing-masing daerah. Di Indonesia, DKI Jakarta menjadi wilayah yang memiliki tempat tidur rumah sakit terbanyak dan mampu menyediakan 2 tempat tidur rumah sakit per 1.000 penduduknya.
Tidak hanya itu, rasio dokter di Indonesia untuk 1000 warga juga hanya 0,67%, sekitar setengah dari rata-rata kebutuhan dokter di Asia yang berada di angka 1,2%. Bahkan, di daerah Indonesia timur seperti Maluku dan Papua, 50% fasilitas layanan kesehatannya tidak memiliki dokter yang bertugas. Keterbatasan tenaga dan fasilitas kesehatan menjadi salah satu penyebab sulitnya menangani gelombang kedua pandemi pada Juli 2021.
Rendahnya akses dan kualitas pelayanan kesehatan juga berkontribusi pada tingginya angka kematian akibat COVID-19. Banyak pihak menuding pemerintah gagal dalam menangani pandemi. Indikatornya yaitu meningkatnya kasus infeksi COVID-19, tingginya angka kematian, serta banyak masyarakat yang kehilangan pekerjaan dan menjadi semakin miskin. Proyeksi peningkatan kemiskinan dari penelitian SMERU Research Institute menunjukkan bahwa masyarakat miskin akan bertambah hingga 12,4%. Artinya, pandemi akan membuat 8,5 juta penduduk Indonesia jatuh miskin. Ditambah lagi, banyaknya anak-anak yang menjadi yatim/piatu selama pandemi juga belum mendapatkan kejelasan atas nasib mereka di masa depan.
Beberapa kritik tersebut direspons oleh Koordinator PPKM Darurat yang menyebutkan bahwa penanggulangan pandemi membutuhkan waktu. Ia juga menyatakan setidaknya terdapat tiga masalah utama penanganan pandemi, yaitu persoalan longgarnya kepatuhan masyarakat dalam menerapkan protokol kesehatan, 3T yang tidak mencapai target, dan persoalan dalam pengambilan keputusan.
Peran Pemangku Kepentingan untuk Respons Kebijakan yang Lebih Kuat
Berkaca dari perjalanan kebijakan terkait COVID-19 di atas, Indonesia seharusnya memiliki strategi tata kelola guna menciptakan ketangguhan sistem kesehatan Indonesia yang terkoordinasi dengan berbagai sektor. Tata kelola dalam konteks ini adalah proses pembuatan dan implementasi kebijakan terkait pandemi yang melibatkan kapasitas pembuat kebijakan lintas bidang, kepemimpinan pemerintah yang mumpuni, serta pelibatan masyarakat luas di dalam proses pembuatan kebijakan tersebut.
Sebagai pondasi, Indonesia harus melakukan penetapan respons penanganan pandemi yang jelas dan tepat waktu yang didukung dengan kebijakan yang relevan, sistem pemantauan dan evaluasi yang berjalan baik, serta kebijakan-kebijakan yang dibuat dengan basis bukti yang kuat. Penanganan pandemi seharusnya berfokus menciptakan sistem kesehatan yang tangguh di Indonesia dan secara holistik terhubung menopang penanganan lintas bidang kehidupan lainnya.
Mengingat respons kebijakan terkait pandemi yang seharusnya holistik, maka dibutuhkan koordinasi dan kapasitas dari berbagai kementerian dan lembaga pemerintahan sebagai aktor pembuat kebijakan. Selain itu, pemerintah sebagai pemegang kepemimpinan yang baik sejatinya juga harus mengadakan proses penyusunan kebijakan yang inklusif, akuntabel, dan transparan. Hal ini dapat dicapai melalui interaksi dengan masyarakat, termasuk di dalamnya mengikutsertakan para ahli, akademisi, tenaga kesehatan, serta perwakilan kelompok masyarakat di dalam proses pembuatan kebijakan secara terbuka.
Secara garis besar, pelibatan ini diharapkan dapat memberi pemahaman tentang bagaimana pandemi berdampak pada berbagai kelompok masyarakat, terutama kelompok-kelompok rentan. Tidak hanya itu, partisipasi masyarakat di sini juga dapat menghasilkan kebijakan terkait pandemi yang dapat mengakomodir, menjamin pemenuhan, dan melindungi kepentingan berbagai kelompok masyarakat. Di sisi lain, masyarakat juga bisa mengetahui arah dan langkah kebijakan penanganan COVID-19 yang diambil Indonesia secara jelas.
Lebih lanjut, kebijakan yang ada harus dipantau efektivitas implementasinya, ditinjau kesesuaiannya, dan diperbaiki sesuai kebutuhan. Hasil dari pengawasan dapat digunakan sebagai evaluasi untuk menyesuaikan kebijakan yang telah diambil. Relaksasi kebijakan atas dasar pertimbangan ekonomi sebaiknya dikaji dengan matang, sebab kondisi ekonomi akan tetap rentan dan tidak stabil selama Indonesia belum mampu keluar dari krisis pandemi.
Di tengah mulai terdeteksinya kasus Omicron di Indonesia, ini adalah saat yang krusial untuk merefleksikan pentingnya tata kelola yang melibatkan koordinasi lintas sektor dan beragam pemangku kepentingan dari masyarakat guna menghasilkan respons yang sigap dan tepat, tidak hanya pada pandemi kali ini, tetapi juga kondisi genting lainnya yang mungkin terjadi di masa depan.
Tulisan ini disusun oleh Fuji Aotari dan Lamia Putri Damayanti
Program Officer dan Program Assistant Yayasan Tifa
lamia@tifafoundation.id
Artikel ini bersumber dari: https://www.tifafoundation.id/ulasan/dua-tahun-pandemi-refleksi-kebijakan-penanganan-COVID-19-di-indonesia