Dibutuhkan orang sekampung untuk membesarkan seorang anak (Hillary Clinton).
Kejahatan seksual anak di ranah daring semakin mengancam anak-anak Indonesia. Berdasarkan survei ECPAT tahun 2021, sebanyak 2% pengguna internet berusia 12-17 tahun di Indonesia menjadi sasaran eksploitasi dan kekerasan daring. Bentuknya bermacam-macam, antara lain menawarkan uang atau hadiah sebagai imbalan atas gambar atau video seksual dan keterlibatan anak dalam tindakan seksual, pemerasan secara daring untuk terlibat dalam aktivitas seksual dan membagikan gambar seksual anak tanpa persetujuan. Dari laporan “Disrupting Harm di Indonesia”, 17-56% anak tidak memberi tahu kekerasan yang dialami kepada siapapun. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa stigma terkait pembicaraan seputar seks membuat anak-anak yang menjadi korban tidak menyampaikan kekhawatiran dan melaporkan kasus kekerasan seksual yang dialaminya. Hingga kini sebagian besar kasus yang diproses penegak hukum berasal dari laporan yang dibuat orang dewasa atas nama mereka.
Sebagai upaya perlindungan anak dan dukungan atas Peraturan Presiden Nomor 101 Tahun 2022 tentang Strategi Nasional Penghapusan Kekerasan terhadap Anak dan mendorong lahirnya kebijakan tentang pelaksanaan Peta Jalan Perlindungan di Ranah Daring, maka UNICEF melalui Yayasan BaKTI bekerjasama dengan pemerintah Provinsi Sulawesi Selatan dan pemerintah daerah mengadakan rangkaian kegiatan untuk penguatan mekanisme layanan perlindungan anak terpadu dan mekanisme rujukan bagi penyintas KBG, perkawinan anak serta eksploitasi dan kekerasan seksual anak di ranah daring. Kegiatan ini adalah bagian dari program pencegahan Eksploitasi dan Kekerasan Seksual Anak Online (Online Child Sexual Exploitation and Abuse – OCSEA) dan Lingkungan Aman Melalui Pendekatan Kewaspadaan dan Respons (Safe Environment Through Awareness and Response Approach – SETARA) yang dilakukan di Sulawesi Selatan khususnya di 20 desa/kelurahan yang ada di 4 kabupaten/kota Makassar, Maros, Bone dan Wajo.
Deteksi Dini sebagai Langkah Awal Pencegahan Kekerasan Terhadap Anak
Deteksi dini merupakan usaha yang dilakukan untuk mengetahui secara awal agar anak tidak menjadi korban kekerasan baik yang terjadi di ranah daring maupun luring. Deteksi dini dapat dilakukan melalui pemantauan dan pendampingan aktivitas anak, penyediaan data anak secara terpilah di tingkat desa/kelurahan, sosialisasi, penguatan kapasitas orang tua/pengasuh dan masyarakat tentang perlindungan anak. Deteksi dini dilakukan untuk memberikan pengetahuan dan pemahaman serta perhatian terhadap kondisi perkembangan anak, baik fisik, psikis, atau gangguan lainnya. Deteksi dini merupakan bentuk preventif jika terdapat indikasi-indikasi terjadinya kekerasan terhadap anak.
Kepedulian semua pihak merupakan faktor penting dalam pencegahan dan perlindungan anak. Pemerintah juga mendorong dan memperkuat peran masyarakat, keluarga dan anak itu sendiri untuk meminimalisir terjadinya kasus kekerasan. Diharapkan masyarakat dan lembaga yang ada di tingkat desa/kelurahan memiliki peran penting dalam melakukan pencegahan terjadinya tindak kekerasan terhadap anak., Pemerintah terus mendorong terbentuknya Perlindungan Anak Terpadu Berbasis Masyarakat (PATBM) di semua daerah. Pembentukan PATBM ini menjadi gerakan bersama yang dilakukan secara masif untuk mencegah kekerasan terhadap anak mulai dari tingkat rukun tetangga, rukun warga, desa/kelurahan, kecamatan, kabupaten/kota, hingga provinsi.
Partisipasi dan Tanggung Jawab Orangtua, Keluarga dan Masyarakat
Upaya perlindungan anak di ranah daring menuntut keterlibatan dan tanggung jawab berbagai pihak, termasuk masyarakat. Di satu sisi, mereka perlu memahami bahwa lingkungan masyarakat dapat mendukung secara positif tumbuh kembang dan perlindungan anak. Di lain sisi, mereka juga perlu bersikap kritis terhadap faktor-faktor yang ada dalam masyarakat dapat menimbulkan risiko bagi anak yang mengalami perlakuan salah secara fisik, mental dan atau sosial sehingga membahayakan kehidupan mereka.
Pengakuan terhadap nilai ini, memandang masyarakat sebagai sumber pemecahan masalah. Artinya mereka perlu melibatkan partisipasi dan tanggungjawab masyarakat sesuai fungsi dan perannya masing-masing dalam upaya mencegah perlakuan salah terhadap anak serta menyediakan layanan untuk membantu pemenuhan hak dan perlindungan anak secara kolektif. Pada saat bersamaan, nilai ini memberi arahan bahwa masyarakat juga perlu bekerja sama mengurangi atau menghilangkan faktor-faktor yang menimbulkan kerentanan atau risiko bagi perlindungan anak.
Peran orangtua dalam mendampingi masa kecil anak ternyata membawa pengalaman mengatasi masalah pada masa kritis yang rendah pada masa remaja dan dewasa terhadap krisis masa remaja yang dihadapinya (Armstrong, Cain, Wylie, Muftić, & Bouffard, 2018). Salah satu cara untuk mencegah terjadinya masalah kekerasan adalah bagaimana keluarga menempatkan anak sebagai view of center dalam keluarga. Kemampuan orang tua dalam melindungi dan memberikan hak-hak anak khususnya mencegah serta mencari jalan keluar dari tindakan kekerasan intimidasi serta pelecehan seksual pada anak perlu dipikirkan cara yang lebih efektif yaitu meningkatkan interaksi orang tua dengan anak secara intens sehingga orang tua mampu dengan cepat melihat, mengenal perubahan-perubahan yang terjadi pada setiap anak (A.King, 2001).
Beberapa kasus kekerasan anak baik fisik maupun seksual terjadi karena kurangnya kepedulian masyarakat dan lemahnya kontrol sosial. Banyak contoh kasus yang terjadi di Indonesia, misalnya dugaan pemerkosaan dan pencabulan dua bocah perempuan di Padang, Sumatera Barat, oleh tujuh pelaku yang merupakan keluarga dekat dan tetangga, kasus pembunuhan anak oleh orangtua kandung, kasus bunuh diri dan kasus kekerasan lainnya.
Diseminasi Layanan Perlindungan Anak
Yayasan Bakti didukung oleh Unicef, bekerjasama dengan Pemerintah Provinsi Kota Makassar, Kabupaten Maros, Bone dan Wajo gelar Sosialisasi Penguatan Mekanisme Layanan Perlindungan Anak Terpadu dan Mekanisme Rujukan bagi Penyintas Kekerasan Berbasis Gender, Perkawinan Anak serta Eksploitasi dan Kekerasan Seksual Anak di Ranah Daring (Mekanisme Deteksi Dini, Penanganan Awal, Pemantauan, dan Pelaporan). Diadakan di Kabupaten Wajo pada tanggal 21 Juni, Bone tanggal 24 Juni, Kota Makassar pada tanggal 6 Juni dan Maros pada tanggal 7 Juli 2023.
Meisy Sari Bunga Papayungan, Kepala Bidang Perlindungan Anak DP3A Dalduk & KB Provinsi Sulawesi Selatan, hadir sebagai Narasumber yang memaparkan Alur Layanan Perlindungan Anak di tingkat Kelurahan dan desa (Makassar dan Maros) pada kegiatan yang dimaksud. "Tujuan yang pertama itu untuk mensosialisasikan mekanisme program yang telah berjalan di kabupaten atau kota, khususnya desa atau kelurahan. Kedua, tentang pencegahan pernikahan anak dibawah umur, tetapi ketika tidak berhasil, maka tetap ada mekanisme yang berjalan" terang Meisy ketika diwawancarai. Meisy menjelaskan bahwa unit yang bisa menjadi tempat melapor ialah Perlindungan Anak Terpadu Berbasis Masyarakat (PATBM) dan Shelter Warga atau Rumah Aman. Fungsinya sebagai edukasi dan pemenuhan hak perlindungan anak, deteksi dini, dan pendampingan atau penanganan kasus. "Setelah di-asesmen laporan anak, Kita selanjutnya melihat tingkatan kasusnya apakah masuk kategori rendah, sedang, atau bahkan tinggi. Setiap tingkatan memiliki jenis pelayanan yang berbeda, kalau sudah tinggi kita berikan perlindungan, rujukan ke rumah aman, dan berikan bantuan hukum" jelas Meisy dalam sosialisasinya.
Materi yang dipaparkan terkait identifikasi kasus. Misalnya; Kasus rendah dapat meliputi pemenuhan hak dasar anak termasuk anak disabilitas: akta kelahiran, kebutuhan dasar, pendidikan, kesehatan, keterampilan. Kemudian kasus lain seperti perkelahian, anak yang akan dinikahkan, anak terpapar materi yang menampilkan kekerasan atau eksploitasi seksual, anak yang masuk dalam grup media sosial yang memuat konten dewasa, hingga anak yang menggunakan gadget secara berlebihan. Sedangkan kasus rendah seperti perebutan hak asuh anak, pendampingan hukum baik anak sebagai korban, pelaku dan saksi (ABH), anak korban KDRT, anak korban diskriminasi, anak yang membutuhkan lembaga rujukan pelayanan tingkat kabupaten/kota, kecanduan gadget, hingga anak terpapar materi yang menampilkan kekerasan atau eksploitasi seksual yang mengakibatkan gangguan psikologis. Adapun kasus tingkat tinggi dapat berupa anak yang mengalami diskriminasi karena minoritas dan stigma orangtua, anak korban HIV/AIDS dan NAPZA, perdagangan orang, eksploitasi, kekerasan fisik berat, kekerasan seksual yang terjadi di bawah 3x24 jam, pembatasan gerak (penyekapan, penculikan, pemasungan), perundungan dan perundungan online yang berakibat pada gangguan kejiwaan, anak terpapar materi yang menampilkan kekerasan atau eksploitasi seksual di ranah daring yang mengakibatkan pemerasan, pemaksaan persetubuhan, dan pemaksaan siaran langsung hingga prostitusi anak online.
Acara yang bertajuk "Jaga Bareng/ Baku jaga" ini juga menjelaskan larangan pernikahan anak dibawah umur 19 tahun. Dalam sosialisasi tersebut menjelaskan penanganan di lembaga KUA (Muslim) & Capil (Non Muslim) serta bidang Keagamaan dapat berupa mencatatkan perkawinan, memberikan nasehat keagamaan dan bimbingan perkawinan bagi anak yang memperoleh dispensasi nikah tentang dampak dari perkawinan usia anak, memberikan informasi layanan penanganan, memberikan pendampingan ketahanan keluarga, pembimbingan keluarga, dan membangun jejaring lokal dengan lembaga terkait.
Sedangkan dalam ranah pendidikan, penanganan dapat dilakukan dengan cara memastikan agar anak mendapatkan pendidikan termasuk anak yang sudah menikah, sedang hamil maupun yang sudah memiliki anak untuk dapat menyelesaikan pendidikan mereka, baik dalam sekolah formal maupun non formal. Menyusun mekanisme pelaporan dan rujukan di satuan pendidikan, untuk memudahkan akses anak pada informasi dan layanan di lembaga layanan anak. Peserta dalam kegiatan ini dihadiri oleh Kepala desa, Sekretaris, Pengurus PATBM, DP3A dan UPT PPA. Harapannya masyarakat dapat teredukasi secara merata sehingga dapat dicegah pernikahan anak ini" tutup Meisy dari Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak.
“Jangan paksa anak untuk menjadi dewasa, karena setiap anak punya waktu untuk menjadi dewasa”