Pada 13 Desember 1957, Djuanda Kartawidjaja mendeklarasikan kepada dunia bahwa perairan yang berada di sekitar dan yang menghubungkan pulau-pulau Indonesia merupakan perairan nasional yang berada di bawah kedaulatan Republik Indonesia.
Deklarasi yang dilakukan oleh Perdana Menteri Djuanda tersebut menghebohkan dunia internasional. Kapal dan juga pesawat terbang asing yang selama ini secara leluasa melewati perairan Indonesia, semenjak adanya deklarasi tersebut harus meminta izin kepada Pemerintah Indonesia. Kapal-kapal asing tidak boleh lagi mengambil ikan dan sumber daya laut lainnya yang berada di wilayah perairan Indonesia.
Itulah warisan yang ditinggalkan oleh Djuanda kepada kita. Sebuah kedaulatan teritorial yang didalamnya terkandung kekayaan alam yang luar biasa. Tidak hanya itu, Deklarasi Djuanda juga mengembalikan orientasi kebangsaan kita sebagai bangsa maritim.
Sejalan dengan semangat Djuanda tersebut, Presiden Joko Widodo di tengah Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) ke-9 East Asia Summit (EAS) pada 13 November 2014 di Myanmar, mendeklarasikan kepada dunia bahwa Indonesia akan menjadi poros Maritim Dunia. Deklarasi tersebut disampaikan oleh Presiden Jokowi di depan seluruh Kepala Negara/Pemerintahan negara anggota ASEAN, Republik Korea Selatan, Republik Rakyat Tiongkok (RRT), Jepang, Australia, Selandia Baru, India, Amerika Serikat, Rusia, dan Sekjen ASEAN, Sekjen PBB, dan Presiden Asian Development Bank.
Semenjak KTT EAS 2014 tersebut, Pemerintah Indonesia telah membangun beberapa proyek infrastruktur untuk mengimplementasikan ambisi menjadi Poros Maritim Dunia. Mulai dengan cara membuka trayek baru Tol Laut, membangun pelabuhan pendukung, dan tak terkecuali penegakan hukum kepada kapal-kapal asing pencuri ikan.
Berbagai aktivitas pembangunan tersebut jika dilihat secara seksama masih didominasi oleh pemerintah pusat. Tidak banyak keterlibatan pemerintah daerah dalam mewujudkan ambisi Indonesia sebagai Poros Maritim Dunia. Dengan tidak meluasnya pihak yang berpartisipasi, ambisi tersebut sulit untuk diwujudkan sekalipun kita memiliki modalitas geografis yang memadai.
Geografis yang Strategis
Secara geografis Indonesia memiliki potensi yang besar untuk menjadi poros Maritim Dunia. Indonesia diapit oleh dua benua yakni Benua Australia dan Benua Asia. Selain itu, posisi Indonesia juga berada di tengah antara Samudra Hindia dan Samudra Pasifik. Dengan kondisi geografis tersebut, Indonesia berpeluang untuk menjadi tempat sandar kapal-kapal yang menuju Samudra Pasifik dari Samudra Hindia atau sebaliknya. Indonesia juga memiliki garis pantai sepanjang 99.093 kilometer. Angka tersebut merupakan garis pantai terpanjang kedua di dunia setelah Kanada.
Sebagai negara kepulauan yang luas lautannya 70 persen dari total luas wilayah, Indonesia sudah seharusnya menjadi Negara Poros Maritim Dunia. Apalagi Indonesia memiliki tiga Alur Laut Kepulauan Indonesia (ALKI). Keberadaan ALKI ini merupakan jalur pelayaran internasional di Indonesia.
ALKI 1 menjadi lintasan kapal-kapal internasional yang berlayar dari Laut Cina Selatan, Laut Natuna, Selat Karimata, Laut Jawa, dan Selat Sunda ke Samudra Hindia, serta sebaliknya. ALKI 2 difungsikan untuk pelayaran dari Laut Sulawesi melintasi Selat Makassar, Laut Flores, dan Selat Lombok ke Samudera Hindia juga sebaliknya. ALKI 3 menjadi lintasan kapal dari Samudera Pasifik yang melintasi Laut Maluku, Laut Seram, Laut Banda, Selat Ombai, dan Laut Sawu.
Dari rute ALKI 1 tersebut terdapat Selat Malaka yang merupakan salah satu selat teramai di dunia. Setidaknya lalu lintas kapal di Selat Malaka berdasarkan pemantauan Vessel Traffic System (VTS) mencapai 80.000 sampai 90.000 kapal dalam setahun.
Tantangan yang Perlu Dipecahkan
Modalitas geografis tersebut tidak cukup ditunjang dengan pembangunan infrastruktur semata. Untuk mewujudkan gagasan Indonesia sebagai poros Maritim Dunia diperlukan desain tata pemerintahan yang tepat.
Otonomi daerah yang saat ini berlaku telah memberikan ruang otonom kepada pemerintah daerah. Pemerintah daerah memiliki kewenangan yang lebih untuk mengurus rumah tangganya sendiri. Namun, desain yang ada saat ini tidak cukup mendorong daerah, terutama yang berada di kawasan pesisir untuk menjadikan Indonesia sebagai poros maritim dunia. Beberapa daerah yang seharusnya mampu menjadi lumbung ikan nasional seperti Kabupaten Kepulauan Talaud, Sangihe, dan Sitaro justru masuk dalam katagori lima kabupaten termiskin di Sulawesi Utara.
Ironi tersebut selain disebabkan oleh tidak tersedianya infrastruktur yang memadai, juga disebabkan desain tata pemerintahan yang tidak mendorong performa pemerintah daerah untuk mengoptimalisasikan potensi lokal yang ada. Salah satunya disebabkan oleh desentralisasi yang saat ini diberlakukan masih terikat oleh sentralisasi pemerintah pusat melalui penamaan nama-nama dinas.
Presiden melalui PP Nomor 18 Tahun 2016 tentang Perangkat Daerah malah mempersulit daerah untuk berinovasi sesuai dengan konteks lokalitas yang ada. Melalui PP tersebut, pemerintah pusat yang diwakili oleh Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) mengatur nomenklatur dinas yang akan mendapatkan dana dari pemerintah pusat. Artinya, nama dinas yang dibentuk oleh daerah, sekalipun itu sesuai dengan kebutuhan daerah yang tidak terdapat dalam daftar nomenklatur yang dikenal oleh Kemendagri, tidak akan mendapatkan bantuan dana dari pemerintah.
Sehingga yang terjadi pengelolaan daerah satu dengan daerah yang lain, sekalipun memiliki karakteristik berbeda, tetap saja dikelola dengan cara yang relatif sama. Misalnya di Kabupaten Semarang, urusan perindustrian diurusi oleh Dinas Koperasi, UMKM, Perindustrian, dan Perdagangan. Di Talaud, urusan perindustrian juga diurus oleh dinas dengan nomenklatur yang sama dengan yang terdapat di Kabupaten Semarang.
Padahal sangat memungkinkan jika di Talaud sektor industri langsung ditautkan dengan urusan sumber daya kelautan. Dengan demikian, urusan kelautan akan dikelola oleh Dinas Industri dan Sumber Daya Kelautan. Masih kurangnya keleluasaan pemerintah daerah dalam mengelola daerahnya sendiri, menjadi salah satu faktor yang menghambat Indonesia sebagai poros maritim dunia.
Desentralisasi Asimetris untuk Indonesia
Untuk mewujudkan gagasan ide poros maritim dunia, Indonesia tidak cukup hanya dengan membangun infrastruktur fisik semata. Indonesia perlu mendesain tata struktur pemerintahan juga. Diperlukan keberanian lebih untuk menerapkan desentralisasi asimetris. Sebuah tata pemerintahan yang memungkinkan daerah satu dengan daerah lainnya memiliki pemerintahan secara berbeda.
Misalnya, di daerah-daerah pesisir dapat membentuk unit-unit pemerintahan berdasarkan karakter daerah tanpa diikuti oleh terputusnya dana perimbangan pusat-daerah. Sama halnya dengan daerah kepulauan seperti Bali dan Lombok yang dapat lebih menekankan otonominya dalam bidang pariwisata.
Dengan kata lain, pemberlakuan otonomi daerah yang dimaksud benar-benar berotonomi secara asimetris sesuai dengan konteks lokalitas yang ada. Dengan menerapkan desentralisasi asimetris, poros maritim dunia tidak hanya sekedar proyek pemerintah pusat semata tetapi juga dapat semakin luas karena melibatkan eksponen daerah.
Dengan memberlakukan desentralisasi asimetris tersebut, diharapkan Indonesia benar-benar siap menghadapi Jalur Sutra Abad 21 yang saat ini tengah dibangun oleh Republik Rakyat Tiongkok (RRT). Indonesia tidak cukup mengandalkan pemerintah pusat untuk siap dengan jalur perdagangan RRT yang sedang berebut pengaruh di Asia Tenggara.
Berniat menjadi poros maritim dunia, artinya meniatkan diri untuk menjadi penggerak maritim dunia. Bukan malah hanya menjadi pasar besar dari negara-negara adidaya. Ambisi ini harus menjadi proyek semesta yang melibatkan semua komponen bangsa agar deklarasi yang disampaikan oleh Djuanda tidak berujung sia-sia.