“Bencana itu selalu ada, makanya penduduk harus
siap, jadi kalau ada bencana semua orang dapat
berusaha untuk menyelamatkan diri dan menuju
tempat-tempat yang sudah ditentukan, tapi itu harus
terus-menerus diingatkan, kalau tidak orang akan lupa.”
(PURBADIANSYAH, Pengurus Destana Toaya)
Indonesia sangat rentan bencana alam karena letak, posisi, dan karakteristik wilayah Indonesia secara geologis, hidrologis, klimatologis, oseanologis, dan topografis yang mengkondisikan dan memungkinkan terjadinya bencana. Bencana alam yang sangat umum terjadi di antaranya gempa bumi, tsunami, letusan gunung api, likuefaksi, banjir, longsor, gelombang pasang, dan angin puting beliung.
Bencana alam adalah mekanisme alam dalam menjaga proses-proses di alam, seperti pemulihan, keseimbangan, dan keberlanjutan. Manusia tidak bisa menghentikan peristiwa-peristiwa tersebut, tetapi manusia dapat belajar untuk mencegah dan mengurangi korban dan kerugian. Manusia mempunyai kemampuan memprediksi datangnya bencana alam yang memungkinkan manusia mencegah dan mengurangi risiko atau bahaya dan dampak yang ditimbulkannya.
Manusia juga dapat hidup akrab dan bersahabat dengan bencana alam dengan belajar dari bencana yang telah terjadi berulang-ulang. Untuk itu, masyarakat harus membangun mekanisme yang memadai melalui mitigasi dan kesiapsiagaan dalam menghadapi bencana. Jika bencana terjadi, masyarakat mempunyai kemampuan melakukan penanganan, dari tanggap darurat hingga pemulihan. Inilah yang disebut masyarakat tangguh bencana.
Jejaring Mitra Kemanusiaan (JMK) sebuah konsorsium yang terdiri dari lembaga-lembaga yang berpengalaman dalam tanggap bencana dan pemulihan pasca bencana, didukung oleh Oxfam dalam Program Membangun Ketangguhan Bencana Pasigala (Palu, Sigi, Donggala) Provinsi Sulawesi Tengah, sebagai respons terhadap bencana gempa bumi, tsunami, dan likuefaksi yang terjadi pada 28 September 2018, mengembangkan Desa Tangguh Bencana disingkat Destana.
Desa Tangguh Bencana adalah desa yang disiapkan dan dikembangkan, baik melalui pembangunan fisik, pengadaan sarana, dan penyadaran serta peningkatan kemampuan masyarakat dalam menghadapi ancaman bencana. Dengan demikian, Destana adalah desa yang memiliki kesiapsiagaan dalam menghadapi terjadinya bencana.
Pengembangan desa model mulai dicanangkan bertepatan dengan Peringatan Hari Kesiapsiagaan Bencana, 26 April 2019. Desa Lende Ntovea, Kecamatan Sirenja, Donggala ditetapkan sebagai desa model atau desa percontohan Destana.
Pengembangan Destana berangkat dari minimnya upaya yang dilakukan pemerintah desa dan masyarakat untuk membangun kesiapsiagaan menghadapi bencana. Destana bertujuan meningkatkan kemampuan desa dalam mitigasi dan kesiapsiagaan bencana, melalui pembangunan fisik, penyadaran masyarakat, dan peningkatan kemampuan dalam menghadapi ancaman bencana. Dalam proses tersebut, semua komponen di dalam desa dilibatkan, termasuk kelompok-kelompok berisiko atau rentan.
Pada saat penetapan desa percontohan, rangkaian kegiatan di antaranya diisi dengan edukasi kepada ibu-ibu berupa pengetahuan mengenai kesiapan fasilitas, tenaga pendukung, serta prosedur penyelamatan pada saat bencana. Pada saat pemasangan rambu-rambu jalur evakuasi di Desa Lende Ntovea, kelompok ibu-ibu desa tak luput dalam memberikan pendapat dan saran sampai ke persoalan teknis berupa pemetaan lokasi jalur-jalur evakuasi yang berada di wilayah perbukitan desa. Sebanyak 9 ibu-ibu menyusuri perbukitan dari 3 dusun bersama tim JMK Oxfam. Hasilnya, titik penting pemasangan rambu-rambu jalur evakuasi diselesaikan. Penyusuran bukit, pemasangan rambu-rambu jalur evakuasi, dan pemetaan lokasi jalur evakuasi adalah pembelajaran langsung mengenai kesiapsiagaan bencana bagi perempuan Desa Lende Ntovea.
Siap Siaga Menghadapi Bencana
Undang-Undang Penanggulangan Bencana (UU No. 24 Tahun 2007) menyebutkan, kesiapsiagaan adalah serangkaian kegiatan yang dilakukan untuk mengantisipasi bencana melalui pengorganisasian serta melalui langkah yang tepat guna dan berdaya guna (Pasal 1 angka 7). Sementara Diposaptono & Budiman (2007) menyebut kesiapsiagaan merupakan kegiatan dari upaya yang diambil dalam mengantisipasi bencana untuk memastikan tanggapan yang efektif terhadap dampak bencana. Tujuannya untuk mencegah korban (kematian, hilang, luka) sejauh yang dapat dihindarkan, kerusakan harta benda, mengurangi penderitaan, serta memudahkan tanggapan dan pemulihan secara cepat.
Menurut Purbadiansyah, Pengurus Destana Toaya, bahwa Destana adalah desa yang siap menghadapi bencana, bencana apapun itu, yang sudah pasti selalu terjadi di Desa Toaya, seperti gempa, tsunami, angin puting beliung, dan banjir. Bencana itu pasti ada dan datangnya kita tahu maupun tidak tahu. Misalnya, bajir kita bisa tahu karena terjadi di musim hujan, begitu juga angin puting beliung selalu terjadi di musim barat atau pada bulan Desember-Januari, sedangkan gempa dan tsunami kita tidak tahu, makanya kita harus menyiapkan semua masyarakat untuk selalu siap ketika terjadi bencana sehingga mengurangi resiko. Penduduk di semua umur harus mengetahui tanda-tanda terjadinya bencana dan tahu jalur-jalur untuk penyelamatan.
Perlu digarisbawahi bahwa tidak semua upaya kesiapsiagaan ini harus memerlukan biaya atau memerlukan keterampilan teknis yang tinggi, melainkan upaya-upaya kesiapsiagaan ini sebenarnya biasa-biasa saja dan seharusnya dapat dilaksanakan oleh lembaga-lembaga penanganan bencana, baik pemerintah maupun nonpemerintah, dengan melibatkan semua potensi yang tersedia.
Pada tahap awal, Destana didukung oleh JMK Oxfam dengan melakukan pelatihan, pemetaan dan pemasangan jalur-jalur evakuasi. Tahap selanjutnya, Destana menjadi bagian dari pembangunan desa, sehingga tidak menjadi kegiatan insidentil, melainkan menjadi bagian dari kehidupan bermasyarakat. Destana adalah desa yang dibangun dengan perspektif bencana.
Destana akan diadopsi ke dalam perencanaan pembangunan desa, yakni di dalam RPJM (Rencana Pembangunan Jangka Menengah) Desa dan RKP (Rencana Kerja Pembangunan) Desa, sehingga program/kegiatan kesiapsiagaan bencana dibiayai oleh anggaran desa. Untuk menjadikan Destana sebagai program pemerintah dan masyarakat desa sepanjang masa, maka perlu diatur di dalam Peraturan Desa (Perdes).
Destana Inklusi
Ketangguhan dan kesiapsiagaan menghadapi bencana adalah menyiapkan semua kelompok masyarakat di dalam desa untuk selalu siap jika sewaktu-waktu terjadi bencana. Karenanya semua kelompok masyarakat, terutama kelompok berisiko atau rentan, harus menjadi bagian dari pengembangan dan penguatan Destana.
Kelompok berisiko, yakni perempuan, perempuan kepala rumah tangga, ibu hamil, ibu menyusui, anak, lanjut usia, dan disabilitas harus mendapat perhatian khusus dalam pemasangan rambu-rambu jalur evakuasi. Jalur evakuasi harus memungkinkan dapat digunakan oleh penduduk dalam kondisi khusus, utamanya ibu hamil, ibu menyusui, anak, lanjut usia, dan disabilitas.
Tentu, lembaga atau organisasi yang bertanggung jawab untuk penanggulangan bencana harus mempuyai data yang valid mengenai kelompok rentan dan selalu divalidasi. Sebagaimana dikemukakan oleh Purbadiansyah, di desa pasti ada orang-orang yang membutuhkan bantuan jika terjadi bencana karena mereka kesulitan menyelamatkan diri, seperti disabilitas, orang-orang tua, ibu hamil, dan anak-anak kecil. Karena itu, jalur-jalur evakuasi harus dibangun disesuaikan untuk bisa dilalui oleh semua orang. Jika perlu kelompok-kelompok tersebut harus didahulukan diselamatkan oleh lembaga penanggulangan bencana. Namun, itu harus disosialisasikan sehingga semua orang tahu, termasuk dilakukan pelatihan atau simulasi jadi semua orang terbiasa.
Destana menjadikan bencana sebagai bagian dari pembangunan dan kehidupan bermasyarakat. Semua lembaga, organisasi, perkumpulan, atau kelompok di desa dilibatkan dalam membangun ketangguhan dan kesiapsiagaan menghadapi bencana. Organisasi atau kelompok perempuan, disabilitas, dan anak dilibatkan dalam upaya-upaya meningkatkan pengetahuan, kemampuan, kewaspadaan, dan simulasi mengenai penyelamatan jika terjadi bencana.
Pengembangan Destana harus rasional berbasis kearifan lokal, ilmu pengetahuan, dan teknologi. Rencana penanggulangan bencana disusun bersama oleh semua unsur di dalam desa berdasarkan data-data ilmiah dan valid yang dapat dipertanggung jawabkan. Rencana-rencana tersebut disosialisasikan sehingga menjadi pengetahuan bersama masyarakat. Termasuk pembuatan bangunan, pemasangan peralatan, papan pengumuman, dan sebagainya menjadi milik pemerintah dan masyarakat desa yang harus dijaga untuk kepentingan bersama.[]