Perspektif dan pendekatan inklusif dan inklusi menekankan pada dua hal yaitu membuka ruang untuk partisipasi bagi semua warga; dan bertransformasi untuk mengakomodasi kebutuhan dan kepentingan semua warga menuju kehidupan lebih baik. Partisipasi dan transformasi dapat terjadi bila afirmasi diberikan kepada kelompok miskin, marginal, minoritas, dan rentan. Ini penting digarisbawahi karena selama ini pembangunan melahirkan sekaligus menyingkirkan kelompok miskin, marginal, minoritas, dan rentan.
Inklusi adalah proses, metode, atau pendekatan yang terbuka untuk semua. Sedangkan inklusif adalah bentuk kata sifat yang menunjuk pada kondisi yang bersifat inklusif atau suatu kondisi yang dicita-citakan untuk dicapai. Pendekatan inklusif atau inklusi adalah model yang membuka ruang, akses, dan melibatkan semua warga untuk berpartisipasi dalam perencanaan, pembentukan kebijakan, dan perubahan sosial. Pendekatan ini menekankan pada hak warga negara dan hak asasi manusia, di mana setiap warga negara dan setiap manusia mempunyai hak yang sama untuk terlibat dalam proses pembangunan dan menikmati hasil-hasil pembangunan.
Perspektif dan pendekatan inklusif juga dapat diterapkan di tingkat desa, yang disebut Desa Inklusif atau menuju Desa Inklusif. Desa Inklusif adalah desa yang dibangun dengan melibatkan partisipasi semua warga desa, dengan mengafirmasi kelompok miskin, marginal, minoritas, dan rentan. Di antara kelompok-kelompok tersebut, terdapat kelompok yang menyandang dua atau lebih status, di antaranya disabilitas/difabel, transgender, perempuan kepala keluarga, dan kelompok minoritas (minoritas agama, minoritas etnis).
Seorang penyandang disabilitas bisa sekaligus menyandang dua status lainnya, misalnya sebagai perempuan dan sebagai seseorang yang berasal dari kelompok minoritas. Dalam perspektif interseksionalitas, seseorang yang mempunyai identitas yang demikian banyak (disabilitas, perempuan, kelompok minoritas, dan lainnya), yang satu dengan yang lainnya saling beririsan, akan memperkuat diskriminasi, kekerasan, dan pengucilannya di dalam masyarakat.
Indikator Desa Inklusif
Membangun Desa Inklusi adalah membuka ruang untuk partisipasi semua warga desa, di mana kelompok-kelompok yang selama ini mengalami marginalisasi dan eksklusivitas didorong dan ditarik ke dalam proses-proses pembangunan desa. Untuk membuka ruang dan melibatkan kelompok-kelompok tersebut, terutama kelompok yang selama ini mengalami marginalisasi dan pengeksklusifan, seperti disabilitas dan kelompok-kelompok minoritas, maka dikembangkan indikator-indikator untuk mengukur kemajuan dan pencapaian.
Pemikir dan aktivis yang selama ini bergerak di dalam advokasi hak-hak dan pemberdayaan disabilitas mengembangkan sembilan Indikator Desa Inklusif (Salim et al., 2020). Kesembilan indikator tersebut adalah: membangun perspektif disabilitas dan Inklusi sosial; data disabilitas dan kelompok marginal/minoritas lainnya yang selalu tervalidasi; pengorganisasian disabilitas dan kelompok marginal; melibatkan disabilitas dan kelompok marginal/minoritas dalam pembentukan dan pengambilan kebijakan; perencanaan dan implementasi anggaran yang inklusif disabilitas dan kelompok marginal/minoritas; pembentukan regulasi desa yang inklusif;membangun aksesibilitas infrastruktur; membangun sistem informasi; dan mengembangkan proses pembelajaran bersama untuk membangun desa inklusif.
Indikator Desa Inklusif yang ada dapat dikembangkan dan dipadukan dengan perencanaan dan pengembangan desa yang selama ini telah dikembangkan oleh pemerintah dan masyarakat desa, misalnya pengembangan Desa Ramah Perempuan dan Peduli Anak, Desa Layak Anak, Desa Sehat, Desa Peduli Lingkungan, dan sebagainya.
Perlu digarisbawahi bahwa, Desa Inklusif adalah desa yang membuka ruang dan melibatkan kelompok-kelompok yang selama ini mengalami marginalisasi dan pengeksklusifan dalam pembangunan. Dan untuk melibatkan kelompok-kelompok tersebut, perlu menggunakan berbagai pendekatan untuk menentukan, siapa-siapa yang selama ini berada di kelompok “paling”. Paling miskin, paling marginal, paling tereksklusi, paling minoritas, paling terdiskriminasi.
Karena mereka berada di kelompok ‘yang paling’, sering kali tidak diidentifikasi, tidak didata, tidak dilibatkan dalam proses-proses pembangunan, dan tidak menikmati hasil-hasil pembangunan. Karenanya mereka tidak hanya tidak menjadi bagian dari proses pembangunan, tetapi kemudian semakin terdiskriminasi dan tereksklusi oleh proses-proses pembangunan.
Orang mungkin tidak percaya, jika ada cerita dari Kelompok Konstituen - kelompok yang dibentuk untuk pengorganisasian dan advokasi dalam Program INKLUSI (Kemitraan Australia Indonesia Menuju Masyarakat Inklusif) BaKTI - yang “menemukan” penyandang disabilitas setelah hampir 20 tahun disembunyikan oleh keluarganya. Atau penyandang disabilitas yang baru dibuatkan KTP (kartu tanda penduduk) setelah berusia 50-an tahun dan pertama kali mengakses layanan pemerintah setelah diadvokasi oleh Kelompok Konstituen.
Perencanaan dan Penganggaran Inklusif
Perencanaan dan penganggaran selama ini sering menjadi alasan pemerintah di berbagai level dalam menyusun dan mengakomodasi program-program sosial dan pemberdayaan. Pemerintah sering menyebut tidak ada anggaran atau anggaran yang minim. Tapi kenyataannya pemerintah selalu menyebut dan mengalokasikan anggaran untuk program atau kegiatan bagi warga miskin yang terus-menerus.
Tentu tidak ada yang salah dalam alokasi anggaran untuk warga miskin yang terus-menerus. Yang tidak tepat mungkin masalah perspektif dan pendekatan. Sederhananya, jika upaya penanggulangan kemiskinan tidak mampu mengurangi jumlah orang miskin atau bahkan menambah jumlah orang miskin, sudah pasti ada yang salah, apakah pada pendekatan atau pelaksanaan.
Pengembangan Desa Inklusif dapat dilakukan oleh pemerintah desa dan warga desa yang dimulai dari perencanaan dan penganggaran yang inklusif. Karena pembangunan desa selalu dimulai dari perencanaan dan penganggaran sebagaimana diamanatkan Undang-Undang Desa (UU No. 6 Tahun 2014). Setidaknya ada empat variabel yang perlu diperhatikan dalam proses perencanaan dan penganggaran untuk menghasilkan perencanaan dan penganggaran yang inklusif.
Pertama, identifikasi kelompok miskin, marginal, minoritas, dan rentan untuk menjadi peserta atau terlibat dalam perencanaan dan penganggaran. Di desa akan ditemukan warga desa atau kelompok-kelompok yang dikategorikan pada kondisi tersebut, misalnya warga miskin, perempuan, disabilitas, anak, lanjut usia, dan sebagainya. Ini perlu didalami lagi, mengapa orang itu miskin, kemiskinannya bisa saja karena dia minoritas, disabilitas, dan lainnya. Ketika dia seorang perempuan miskin, kemungkinan karena dia perempuan kepala keluarga, perempuan korban kekerasan, perempuan lanjut usia, dan sebagainya.
Anak adalah kelompok rentan karena mereka masih muda, bergantung pada orang dewasa, dan mempunyai kebutuhan-kebutuhan spesifik. Namun, anak juga menyandang status sosial miskin dan marginal karena bisa menyandang status sebagai anak yatim, anak yatim piatu, anak disabilitas, anak dari kelompok minoritas, anak korban kekerasan, dan sebagainya.
Kedua, pelibatan atau partisipasi kelompok miskin, marginal, minoritas, dan rentan dalam perencanaan dan penganggaran. Ini hal yang tidak mudah, karena mereka yang selama ini termarginal dan tereksklusi, tiba-tiba harus terlibat dalam proses-proses formal yang sangat birokratis. Mereka hanya akan menjadi pelengkap dan sekadar melegitimasi, jika proses-proses yang dilaksanakan tidak sesuai dengan kondisi dan kemampuan kelompok miskin, marginal, minoritas, dan rentan.
Ketiga, metode yang partisipatif dan inklusif dalam perencanaan dan penganggaran. Ini penting sekali untuk menjembatani hambatan pada poin kedua. Kelompok miskin, marginal, minoritas, dan rentan dapat berpartisipasi dan terlibat dalam proses-proses perencanaan, jika pelaksanaannya menggunakan metode partisipatif dan inklusif. Metode partisipatif diperlukan untuk menempatkan semua peserta dalam perencanaan dalam posisi setara, tidak ada yang mendominasi sebagaimana selama ini yang dilakukan dalam Musrenbang (musyawarah perencanaan pembangunan). Metode inklusif mengakomodasi setiap kondisi dan kebutuhan peserta, seperti peserta disabilitas yang membutuhkan juru bahasa isyarat, peserta yang tidak mempunyai kemampuan menyampaikan pendapat di muka umum, peserta yang tidak mempunyai kemampuan menulis, dan seterusnya.
Keempat, mengawal dan menjaga usulan yang merupakan kebutuhan dari kelompok miskin, marginal, minoritas, dan rentan. Sering kali usulan-usulan dari kelompok miskin, marginal, minoritas, dan rentan hilang dan tidak tercantum dalam dokumen perencanaan dan penganggaran, karena tidak ada yang mengawalnya. Untuk itu menjadi tugas semua pihak yang terlibat dalam perencanaan dan penganggaran, agar mengawal dan memastikan usulan-usulan dari kelompok miskin, marginal, minoritas, dan rentan diakomodasi dalam dokumen perencanaan dan penganggaran.
Perencanaan dan penganggaran untuk menuju Desa Inklusif atau membangun Desa Inklusif bukanlah perencanaan dan penganggaran yang terpisah atau sesuatu yang harus dibuat baru, melainkan untuk memperkuat perencanaan dan penganggaran yang telah dilakukan oleh pemerintah desa. Pemerintah desa perlu mengubah perspektif, pendekatan, dan metode untuk mengakomodasi kebutuhan kelompok miskin, marginal, minoritas, dan rentan.[]