Baru-baru ini, Badan Pusat Statistik merilis data terbaru tentang pertumbuhan ekonomi Provinsi Sulawesi Selatan. Di tengah masalah politik (hak angket) yang memanas antara DPRD dan Gubernur, BPS mengumumkan secara resmi valuasi ekonomi Sulawesi Selatan pada kuartal II tahun 2019 mencapai Rp245,14 triliun atas dasar harga berlaku dan Rp160,81 triliun berdasarkan harga konstan.
Itu berarti ekonomi Sulawesi Selatan triwulan II-2019 dikomparasi dengan triwulan II-2018 tumbuh 7,46 persen. Ini menjadi kabar baik bagi masyarakat Sulawesi Selatan secara umum dan pelaku usaha secara spesifik, sebab kenaikan pertumbuhan ekonomi terjadi di tengah rendahnya daya serap anggaran dan kekisruhan politik yang sepertinya belum akan selesai dalam waktu dekat.
Tumbuhnya ekonomi Sulawesi Selatan di tengah masalah tata kelola pemerintahan sehingga berdampak pada rendahnya daya serap anggaran harusnya dilihat dalam satu kerangka pikir yang utuh, yaitu daya saing. Pertumbuhan ekonomi Sulawesi Selatan kuartal II tahun 2019 lebih dominan digerakkan oleh lapangan usaha informasi dan komunikasi. Sektor yang tanpa intervensi pemerintah akan bergerak secara mandiri karena tingginya permintaan masyarakat Sulawesi Selatan, terutama Kota Makassar.
Pesatnya pertumbuhan sektor informasi dan komunikasi Sulawesi Selatan dapat dilihat dari tingginya penetrasi penggunaan internet, di mana rata-rata setiap penduduk Sulawesi Selatan memiliki dua gawai yang terhubung dengan internet (Bank Indonesia, 2019). Hal tersebut berarti sektor ini digerakkan oleh kekuatan permintaan dan penawaran, bukan intervensi pemerintah daerah. Jikapun ada, sangat terbatas karena penyedia layanannya adalah pihak swasta.
Tapi, buruknya tata kelola pemerintah daerah Provinsi Sulawesi Selatan, jika dibiarkan tanpa solusi, justru dikhawatirkan akan memperburuk kinerja semua lapangan usaha, sebab implikasi tata kelola pemerintahan adalah kepastian dan perlindungan dalam melakukan aktivitas bisnis. Masalah tata kelola pemerintahan daerah hanya satu dari banyak indikator daya saing daerah yang dirumuskan oleh Asia Competitiveness Institute (ACI) Lee Kuan Yew School of Public Policy National University of Singapore dan secara rutin dipublikasi dengan judul Analisis Daya Saing Provinsi-Provinsi di Indonesia.
Tahun 2019, ACI kembali merilis hasil survei daya saing dan Universitas Hasanuddin dipilih sebagai salah satu host. Terpilihnya Universitas Hasanuddin sebagai tuan rumah diseminasi hasil survei sangat mungkin berkaitan dengan penurunan performa daya saing Sulawesi Selatan. Perhitungan indeks daya saing pertama kali dipopulerkan oleh World Economic Forum pada tahun 2004, bertujuan untuk mengetahui posisi daya saing setiap negara di dunia. TCI Network membagi definisi daya saing berdasarkan tingkatannya, yaitu level perusahaan, industri, dan negara.
Pada level perusahaan, daya saing diartikan sebagai kemampuan memproduksi barang atau jasa dengan cara yang lebih efisien dan efektif dibandingkan dengan para kompetitor. Salah satu konteksnya adalah kemampuan perusahaan untuk menghasilkan inovasi dalam memproduksi produk yang relatif lebih baik daripada kompetitor dengan harga jual bersaing.
Pada level industri, daya saing didefinisikan sebagai kemampuan perusahaan-perusahaan dalam suatu negara untuk bisa memenangkan persaingan melawan perusahaan-perusahaan dari negara lain. Daya saing berkaitan dengan negara atau daerah menggunakan definisi kemampuan masyarakat untuk meraih standar hidup yang lebih tinggi dibandingkan penduduk negara atau daerah lain. Standar hidup yang tinggi salah satunya diukur dari kemampuan penduduk menghasilkan barang dan jasa (produktivitas).
Dalam publikasinya, ACI melakukan pemeringkatan daya saing 34 provinsi di Indonesia berdasarkan skor 105 indikator dan diperoleh dari hasil respoden yang terdiri dari pengusaha, akademisi, dan pemerintah daerah. Total respondennya secara nasional tahun 2019 mencapai lebih dari 2.500 dan rata-rata 75 responden untuk setiap provinsi. Berdasarkan survei daya saing tersebut, Provinsi Sulawesi Selatan termasuk salah satu daerah yang kinerja daya saingnya terus menurun sejak pertama kali dilakukan survei tahun 2016.
Saat pertama kali disurvei, daya saing Sulawesi Selatan berada pada peringkat 6 dari 33 provinsi, kemudian turun ke peringkat 8 pada tahun 2017. Bukannya membaik, posisi daya saing Sulawesi Selatan justru memburuk karena menurun ke peringkat 10 tahun 2017 dan tahun 2019 berada pada posisi 16. Tahun 2019, daya saing Sulawesi Selatan tertinggal dari dua provinsi lain di Pulau Sulawesi, yaitu Sulawesi Tengah pada peringkat 14 dan Gorontalo di peringkat 15, dan hanya berbeda satu peringkat dari Provinsi Sulawesi Utara yang berada di urutan 17.
Rendahnya indeks daya saing Sulawesi Selatan dipicu oleh menurunnya kinerja tiga dimensi utama daya saing, yaitu stabilitas ekonomi makro dari peringkat 11 tahun 2018 ke 12 tahun 2019, pemerintahan dan institusi publik yang sebelumnya berada di peringkat 11 menjadi 14, serta kondisi finansial, bisnis, dan tenaga kerja yang sebelumnya peringkat 14 menjadi 21.
Hanya dimensi kualitas hidup dan pembangunan infrastruktur yang mengalami perbaikan peringkat di Sulawesi Selatan, dari peringkat 14 tahun 2018 menjadi urutan 11 tahun 2019. Pertumbuhan ekonomi masuk sebagai salah satu indikator stabilitas ekonomi makro dan tata kelola pemerintahan merupakan salah satu parameter dimensi pemerintahan dan institusi publik. Pertumbuhan ekonomi Sulawesi Selatan yang impresif dalam beberapa tahun terakhir belum mampu memperbaiki peringkat dimensi stabilitas ekonomi makro sebab beberapa indikator lainya tidak lebih baik dari angka pertumbuhan.
Sebaliknya, buruknya tata kelola pemerintahan daerah di Sulawesi Selatan memengaruhi peringkat dimensi pemerintahan dan institusi publik. Itu sebabnya peringkatnya jeblok dari 11 ke 14. Penurunan peringkat lebih parah terjadi pada dimensi kondisi finansial, bisnis, dan tenaga kerja. Ini menjelaskan bahwa, di Provinsi Sulawesi Selatan, aktivitas bisnis cenderung tidak efisien, pasar tenaga kerjanya tidak fleksibel, dan kinerja produktivitasnya buruk.
Tapi, Sulawesi Selatan perlu mendapat apresisasi pada perbaikan peringkat dimensi kualitas hidup dan pembangunan infrastruktur. Ini menggambarkan bahwa kualitas hidup dan kondisi infrastruktur, khususnya fisik dan teknologi di Sulawesi Selatan mengalami perubahan positif. Jika dilihat per indikator, ACI mengidentifikasi 20 persen indikator yang memperkuat daya saing Sulawesi Selatan, tapi juga mengindenfikasi 20 persen indikator paling lemah.
Lima indikator paling kuat dari 20 persen indikator adalah tingkat penyelesaian kriminalitas dalam hal dimensi pemerintahan dan insitusi publik, akses internet di sekolah terkait dimensi kualitas hidup dan infrastuktur, pertumbuhan PDRB untuk stabilitas ekonomi makro, evaluasi kinerja pemerintah daerah dan ekspektasi serta perkembangan pemerintah daerah terkait dimensi pemerintahan dan insitusi publik. Sementara lima indikator paling lemah dalam daya saing Sulawesi Selatan adalah koordinasi dengan pemerintah kabupaten/kota (peringkat 105), rasio gini (peringkat 104), tingkat partisipasi angkatan kerja (peringkat 103), pertumbuhan penduduk (peringkat 102), dan kapasitas sumber daya manusia di perusahaan (101).
Kelima indikator paling lemah sekaligus menggambarkan kondisi masyarakat Sulawesi Selatan yang tata kelola pemerintahnya buruk, ekonominya timpang, dan tertinggal kualitas sumber daya manusianya dari provinsi-provinsi lain di Indonesia.
Penulis adalah peneliti. Artikel Artikel bersumber dari Qureta.com https://www.qureta.com/post/daya-saing-sulawesi-selatan