Komoditas rempah asli Banda itu sudah dikenal dunia sejak lama. Sekitar abad ke-5 dan ke-6, rempah, khususnya pala dan cengkeh asal Maluku, sudah diperdagangkan di pasar internasional. Bangsa-bangsa dari China, India, dan Arab berlayar ke kepulauan itu untuk mencari dan membeli rempah bernilai tinggi tersebut.
Selanjutnya, oleh pedagang China rempah diperdagangkan di daratan China, sementara pedagang India membawa rempah ke negerinya hingga ke Timur Tengah. Kemudian, rempah dibawa pedagang Arab ke kawasan Mediterania dan masuk Eropa.
Sumber pala itu awalnya tertutup dan terselubung penuh kerahasiaan, hanya untuk beberapa pedagang Arab, China, dan India, sampai akhirnya orang Portugis menemukan pulau itu pada abad ke-16. Berbagai catatan perjalanan para petualang Eropa disebutkan, nilai segenggam biji pala dan cengkeh kala itu setara dengan segenggam emas.
Harga pala di tempat asalnya di Banda waktu itu terbilang murah. Harga biji pala satu bahar 6,45 reaal (ringgit perak Belanda), sedangkan harga fuli 60 reaal per bahar. Satu bahar setara dengan 261 kilogram. Pedagang-pedagang Melayu, China, dan Arab mengapalkan pala ini ke Teluk Persia.
Kemudian diangkut ke Laut Tengah melalui Konstantinopel, Genoa atau Venesia dan terakhir menyebar ke seluruh Eropa. Setiap kali berpindah tangan, harga pala meningkat hingga seratus persen. Bahkan sampai Lisabon, Portugal, harga pala naik mencapai 10 kali lipat dibandingkan harga di tempat asal.
Tidak mengherankan jika rempah merupakan komoditas primadona perdagangan internasional karena harganya yang sangat mahal dan konsumsi banyak orang. Bahkan, pada abad ke-15, dipicu hasrat mencari sumber asal rempah, bangsa-bangsa Eropa berbondong-bondong berlayar mengarungi samudra menuju kawasan Maluku, sentra produksi rempah tersebut. Diawali bangsa Portugis yang berhasil menguasai sentra tersebut tahun 1512, kemudian disusul Spanyol tahun 1521, Belanda tahun 1599, dan Inggris tahun 1602.
Di kawasan Maluku, bangsa-bangsa Eropa menuju Kepulauan Banda mencari pala yang memang tumbuh subur di kepulauan tersebut. Karakteristik tanah, kelembaban udara, dan curah hujan di kepulauan Banda tampaknya sangat cocok untuk pertumbuhan pohon pala. Bahkan, buah pala produksi kepulauan ini memiliki kualitas paling bagus dengan cita rasa yang khas. Hingga pertengahan abad ke-18, kesepuluh pulau di Kepulauan Banda tercatat sebagai satu-satunya sumber utama pala dunia.
Dalam perkembangannya, pala mulai menyebar ke pulau-pulau lain di Maluku dan Maluku Utara pada abad ke-18. Masyarakat di kepulauan itu membudidayakan pala hingga sekarang. Alhasil, kedua provinsi itu tercatat sebagai penghasil pala utama nasional.
Berdasarkan catatan Dirjen Perkebunan Kementerian Pertanian, Maluku Utara dan Maluku menghasilkan pala sebanyak 7.937 ton dan 4.592 ton pada 2016. Produksi tersebut dihasilkan dari kebun rakyat di provinsi itu masing-masing 42.716 hektar dan 30.580 hektar. Sebanyak 28.314 petani di Maluku dan 27.560 petani di Maluku Utara menggantungkan hidupnya pada komoditas tersebut.
Benteng Belgica di Pulau Banda Naira, Kepulauan Banda, Maluku, dilihat dari udara, Jumat (28/4). Benteng ini menjadi saksi sejarah atas kejayaan VOC di pulau penghasil pala tersebut. Belgica dibangun VOC tahun 1602 untuk memantau pergerakan kapal-kapal asing yang melalui kawasan Pulau Banda. Sumber: Kompas/Totok Wijayanto
Sentra pala
Budidaya tanaman pala tidak hanya ada di Kepulauan Maluku, tetapi kini meluas dan tersebar hampir di semua provinsi di Indonesia. Dirjen Perkebunan mencatat, tahun 2016 total kebun pala di Indonesia seluas 168.801 hektar dengan produksi biji kering pala mencapai 334.322 ton. Produksi pala itu hasil dari jerih payah 198.965 petani negeri ini yang mengusahakan pala di kebun mereka.
Jika dicermati lebih jauh, selain Maluku, produksi pala di Aceh juga terbilang besar, bahkan kini provinsi itu menduduki peringkat pertama secara nasional. Tahun 2016, produksinya mencapai 8.478 ton atau menyumbang seperempat produksi pala nasional. Banyaknya kebun pala di Aceh tidak lepas dari daerah itu yang menjadi salah satu pusat perdagangan di Pulau Sumatera abad ke-18.
Pada abad ke-18 dan ke-19, pusat-pusat pelabuhan di Pantai Barat Aceh banyak disinggahi kapal-kapal asing dari Inggris, India, Arab, China, bahkan Amerika Serikat. Tujuan mereka datang ke Aceh tidak lain untuk mendapatkan rempah-rempah, seperti pala, lada, dan cengkeh, yang banyak tumbuh di pedalaman daerah tersebut. Setidaknya ada delapan pelabuhan di Pantai Barat Aceh waktu itu, yakni Pelabuhan Meulaboh, Kuta Bahagia, Pulau Kayu, Lebuhan Haji, Susoh, Meukek, Tapaktuan, dan Singkel. Pelabuhan-pelabuhan itu menjadi tempat perdagangan hasil bumi Tanah Rencong, termasuk pala.
Sisa kejayaan pala di Aceh masih tampak di Aceh Selatan. Berdasarkan data Dirjen Perkebunan, tahun 2015 produksi pala di kabupaten itu tercatat paling tinggi, yakni 7.710 ton dengan luas kebun pala mencapai 15.821 hektar. Aceh Selatan menyumbang 90 persen produksi pala di provinsi tersebut. Selain Aceh, Provinsi Papua Barat juga menjadi sentra pala di luar Maluku. Tahun 2015, Papua Barat menghasilkan biji kering pala 8.735 ton atau menyumbang 14 persen produksi pala nasional.
Kabupaten Fakfak menjadi sentra pala di provinsi itu. Setiap tahun, tak kurang dari 4.000 ton pala dipanen dari kebun rakyat di kabupaten itu dan menyumbang 80 persen pala di provinsi tersebut. Merunut sejarahnya, tanaman pala tumbuh di Fakfak memang sudah berlangsung sangat lama. Tanaman tersebut masuk di wilayah itu tak bisa lepas dari peran Kesultanan Tidore yang menguasai secara ekonomi Semenanjung Onin.
Sebelum Belanda datang di Papua Barat, perdagangan di semenanjung tersebut tumbuh pesat dan dikuasai pedagang dari sejulah daerah, seperti Ternate, Tidore, Bugis-Makassar, Goram, Seram, dan bangsa China serta Arab. Komoditas yang dijual berupa hasil laut dan hasil bumi di antaranya pala dan bunga pala (fuli).
Bukti keberadaan pala sudah lama diusahakan di Fakfak tampak pula dari tradisi yang hidup di kampung-kampung di daerah itu. Setiap kali kepala kampung setempat menghadiri upacara adat yang diselenggarakan keluarga raja, mereka membawa upeti berupa hasil kebun di antaranya buah pala.
Buruh menyiapkan karung berisi pala untuk diangkut kapal Pelni, Nggapulu, yang berlabuh di Pelabuhan Banda Naira, Maluku, Jumat (28/4). Buah pala tersebut dikirim ke Surabaya, Jawa Timur. Sumber: Kompas/Totok Wijayanto
Ekspor pala
Meski nilai ekonominya tidak setinggi pada masa kolonial, pala terus dibudidayakan di sejumlah daerah dan menjadi primadona rempah nasional setelah lada dan cengkeh. Pala dinilai memiliki nilai ekonomis yang tinggi dan multiguna karena setiap bagian tanamannya dapat dimanfaatkan dalam berbagai industri.
Bagian biji, fuli, dan minyak pala merupakan komoditas ekspor dan banyak digunakan dalam industri makanan dan minuman. Selain itu, minyak yang berasal dari biji, fuli, dan daunnya banyak digunakan untuk industri obat-obatan, parfum, dan kosmetik.
Indonesia mendominasi pangsa pasar pala dunia. Setiap tahun ekspor biji pala Indonesia sekitar 15.000 ton atau memasok 75 persen kebutuhan pala dunia dunia yang diperkirakan mencapai 20.000 ton per tahun. Selain Indonesia, Granada yang dikenal sebagai penghasil pala terbaik dunia menyuplai 20 persen pasar internasional. Lima persen lainnya disumbang dari India, Malaysia, Papua Niugini, Sri Lanka, dan beberapa pulau di Karibia.
Pasar utama tujuan ekspor pala Indonesia adalah Vietnam, Amerika Serikat, Belanda, Jerman, dan Italia. Tahun 2015, ekspor biji pala mencapai 13.987 ton dengan nilai 72,59 juta dollar AS. Ekspor biji pala utuh paling banyak diekspor ke Vietnam (63,21 persen), sementara biji pala yang sudah dihancurkan terbanyak diekspor ke AS (29,54 persen).
Selain biji, bunga pala (fuli) juga diekspor ke sejumlah negara. Fuli utuh mayoritas diekspor ke India (43,81 persen), sementara fuli yang sudah dihancurkan paling banyak dikirim ke Belanda (31,61 persen).
Pala asli Indonesia yang dulu menjadi incaran bangsa-bangsa Eropa hingga kini masih tetap menguasai pasar dunia. Tak hanya di Maluku, sentra produksi pala pun meluas ke sejumlah daerah di Indonesia.
Wangi rempah asli Banda itu bisa jadi mampu menyejahterakan petani pala. Tentunya hal itu harus disokong oleh kualitas produk dan pemasaran yang baik sehingga Indonesia tetap menjadi pusat rempah dunia.
Sumber: jelajah.kompas.id