Dana Desa untuk Pelestarian Lingkungan di Papua
Penulis : Wahyudin Opu
  • Foto: Wahyudin Opu
    Foto: Wahyudin Opu

Awal tahun 2014 lalu Pemerintah Indonesia mengesahkan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa. Lewat undang-undang ini desa diberikan kewenangan yang sangat besar untuk merancang dan melaksanakan pembangunan di tingkat desa. Kewenangan ini tentu didukung pula dengan gelontoran Dana Desa yang sangat besar.

Penetrasi kegiatan di tingkat desa langsung terlihat signifikan sejak berlakunya Undang-Undang Desa. Di Papua sendiri kegiatan yang didanai Dana Desa banyak diarahkan pada bidang pembangunan fisik desa atau kampung. Hal ini dimaksudkan untuk mempercepat terpenuhinya sarana dan prasarana pelayanan dasar untuk masyarakat.

Sebenarnya tidak ada masalah pada penerapan penggunaan Dana Desa yang berfokus pada bidang pembangunan fisik. Toh tujuan penataan desa yang termuat dalam Pasal 4 huruf f Undang-Undang Desa adalah untuk “meningkatkan pelayanan publik bagi warga masyarakat desa guna mempercepat kesejahteraan umum.” Tapi pertanyaannya adalah sudahkah tujuan tersebut tercapai?

Guna membangun kesejahteraan masyarakat di kampung-kampung di Papua tidaklah sesederhana proses pengadaan sarana dan prasarana. Belajar dari pengalaman berinteraksi dan mendengar secara langsung, masyarakat di kampung-kampung di Papua membutuhkan pembangunan yang sesuai dengan konteks ke-Papua-an mereka. Bukan sekadar konsep adiluhung dari luar namun asing bagi mereka. Secara geografis, sebagian besar kampung di Papua terletak di dalam atau bersisian dengan kawasan hutan. Hal ini membuat masyarakat sangat bergantung pada hutan sebagai sumber penghidupan.

Ada satu frasa masyhur yang menjelaskan hubungan antara masyarakat Papua dengan yaitu “hutan adalah ibu.” Maksudnya, hutan bagi masyarakat adat Papua adalah ibu yang menyediakan makan dan kebutuhan lainnya bagi mereka. Kerusakan hutan adalah ancaman serius bagi penghidupan masyarakat Papua.

Selain itu hutan juga menjadi bagian dari identitas budaya masyarakat adat Papua. Pada banyak tempat di kawasan hutan terdapat situs-situs sejarah-budaya leluhur yang dikeramatkan oleh masyarakat. Hutan dan masyarakat adat Papua telah membentuk pola hubungan saling membutuhkan yang telah berlangsung secara turun-temurun. Hutan memberi penghidupan pada masyarakat adat. Sebaliknya, berbagai bentuk praktik kearifan lokal masyarakat adat berkontribusi dalam menjaga kelestarian sumber daya alam.

Foto: Wahyudin Opu

Membangun Kampung Lestari

Kampung-kampung dengan kondisi ekologi dan sosial-budaya seperti yang dijelaskan di atas merupakan kampung yang masih dalam fase konservatif. Hal ini berarti kampung-kampung tersebut masih memiliki sistem ekologi maupun sosial-ekonomi yang masih terjaga keasliannya, belum pada fase perubahan. Namun bisa saja status tersebut berubah dengan segala tekanan yang terjadi saat ini, berupa modernitas, pesatnya pembangunan dan semakin terbatasnya sumber daya.

Guna menjaga kelestarian alam yang menjadi tumpuan hidup masyarakat Papua, sebaiknya program pembangunan kampung khusunya yang menggunakan Dana Desa diarahkan untuk mempertahanakan kelestarian lingkungan. Kelestarian lingkungan adalah prasyarat bagi masyarakat adat Papua untuk menuju kesejahteraan, seperti yang menjadi tujuan lahirnya Undan-Undang Desa.

Berbagai kegiatan dapat didorong dengan memanfaatkan Dana Desa untuk membangun kampung lestari. Pemerintah kampung dan pendamping kampung dapat mengintegrasikan konsep kampung lestari ke dalam bidang-   bidang pembangunan yang tersedia, terutama pada bidang pembangunan kampung, pembinaan kemasyarakatan, dan pemberdayaan masyarakat.

Pada bidang pembangunan kampung misalnya, Dana Desa bisa dimanfaatkan untuk memfasilitasi masyarakat untuk membangun rumah hunian secara mandiri. Maksud mandiri di sini adalah dengan memanfaatkan bahan-bahan lokal yang tersedia di hutan sekitar kampung. Dalam tradisi banyak kampung di Papua, masyarakat adat memiliki desain dan teknik arsitektur rumah tradisionalnya masing-masing. Konsep rumah tradisional yang telah dipakai secara turun-temurun tersebut tentu menyesuaikan dengan ketersediaan bahan lokal dan corak iklim setempat. Desain arsitekturnya juga dirancang untuk tahan dalam menghadapi ancaman bencana, seperti banjir air rob dan gempa bumi.

Kita ambil contoh di Kabupaten Asmat, Papua. Bahan utama pembangunan rumah tradisional di sana berupa kayu diambil dari pohon yang tumbuh di ekosistem pesisir dan rawa. Atap rumah  yang terbuat dari daun sagu (Metroxylon sagu) atau daun nipah (Nypa fruticans) dapat diambil secara cuma-cuma di dusun atau kawasan hutan milik keluarga. Tentu dengan pemanfaatan tebang pilih, hanya mengambil bahan yang memang sudah siap untuk digunakan. Desain arsitekturnya berupa rumah panggung dimaksudkan untuk mengantisipasi siklus pasang air laut yang  terjadi setiap akhir hingga awal tahun.

Dalam penyediaan hunian masyarakat dalam bentuk rumah tradisional, Dana Desa digunakan sebagai komponen pendukung saja. Misalnya untuk pembelanjaan bahan-bahan yang tidak tersedia di kampung. Dengan begitu masyarakat didorong untuk lebih mandiri dalam meyediakan hunian bagi keluarganya. Selain itu masyarakat adat juga bisa jadi lebih percaya diri karena konsep yang mereka usung secara turun-temurun diakui dan dipakai dalam proses pembangunan kampungnya.

Dana Desa juga dapat digunakan untuk membangun fasilitas umum yang betul-betul dibutuhkan dan dapat memenuhi kebutuhan dasar masyarakat. Misalnya pengelolaan embung alam dan perawatan jalur transportasi sungai dan laut. Pengelolaan embung alam secara lestari akan menjamin kebutuhan masyarakat akan air bersih dalam jangka waktu yang lama. Hal ini dapat dilakukan dengan pemeliharaan ekosistem di sekitar embung, menjaga tidak terjadi pencemaran di sekitar penampungan air. Dengan begitu kelestarian lingkungan ekosistem embung dapat tetap terjaga dan memastikan kualitas air tetap dalam keadaan baik.

Kegiatan perawatan jalur transportasi sungai dan laut juga penting untuk didanai oleh Dana Desa. Kampung-kampung di Papua yang secara geografis terletak di wilayah pesisir dan daerah aliran sungai sangat bergantung dengan fasilitas tersebut. Dana Desa dapat dipakai untuk perawatan jalur transportasi alami ini dalam hal pemeliharaan kebersihan agar tidak mengganggu kenyamanan masyarakat yang melintas. Selain itu, untuk sungai dan pesisir yang dalam kondisi terdegradasi dapat dilakukan upaya rehabilitasi untuk memulihkan kondisinya.

Pada bidang pembinaan kemasyarakatan, Dana Desa dapat didorong untuk membiayai penyusunan peraturan kampung (perkam) tentang perlindungan hutan dan sumber daya alam. Penyusunan perkam ini dapat diintegrasikan dengan kearifan lokal atau hukum adat yang masih berlaku di kampung yang bersangkutan. Seperti kita tahu bersama, masyarakat adat di kampung-kampung di Papua masih menjalankan nilai-nilai adat, terutama dalam hal pemanfaatan dan perlindungan hutan dan sumber daya alam. Dengan mengintegrasikan hukum adat ke dalam perkam, akan tercipta kepastian hukum terhadap nilai-nilai yang selama ini dijalankan oleh masyarakat adat.

Selain itu, kampung-kampung di Papua sangat perlu untuk membentuk suatu kelembagaan khusus yang bertugas menjaga kelestarian hutan. Di Kabupaten Mimika dan Kabupaten Asmat, beberapa kampung telah membentuk yang namanya Kelompok Jaga Hutan (KJH). KJH bertugas untuk mengamankan kawasan hutan di tingkat tapak, yaitu kampung kampung per kampung. Dalam aktivitasnya, KJH melakukan monitoring dan patroli rutin        untuk memantau kondisi hutan. Mereka mengidentifikasi sumber daya alam juga mencatat setiap gangguan yang berpotensi mendegradasi ekosistem hutan. Hasil pemantauan tersebut kemudian dilaporkan kepada Kepala Kampung untuk ditindaklanjuti sesuai kebutuhan.

Peran KJH sangat dibutuhkan untuk membantu tugas Polisi Kehutanan yang jumlahnya sangat tidak seimbang dengan luasan hutan Papua. Penerapan Dana Desa untuk membiayai kegiatan KJH adalah bentuk pembinaan masyarakat dalam upaya pelestarian lingkungan. Dengan begitu masyarakat adat dapat lebih berdaya dalam melindungi hutan di sekitar kampung dari berbagai macam ancaman yang akan merusak sumber penghidupan mereka.

Pada bidang pemberdayaan masyarakat, pemerintah mendorong Badan Usaha Milik Desa atau Kampung (BUMKam) sebagai model pengembangan ekonomi untuk diterapkan di kampung. Pengembangan BUMKam di Papua dapat difokuskan pada pengelolaan potensi sumber daya alam lokal dengan menerapkan nilai-nilai keberlanjutan. Ada dua alasan mengapa hal ini mesti dilakukan. Pertama, agar masyarakat di kampung tidak terlalu kebingungan untuk mengolah dan mengembangkan sumber daya baru. Kedua, untuk memastikan keberlanjutan usaha juga kelestarian sumber daya lokal yang dimanfaatakan tersebut.

Berbagai jenis unit usaha dalam hal pengelolaan sumber daya alam dapat dikembangkan lewat BUMKam. Sebagai contoh, beberapa kampung di kabupaten Mimika dan Kabupaten Asmat saat ini mengembangkan unit bisnis pengolahan sagu. Menjadikan sagu sebagai komoditas usaha kemasyarakatan sangat potensial karena jumlahnya sangat melimpah di kampung-kampung yang terletak di wilayah pesisir dan dataran rendah Papua. Selain itu pengolahan sagu melalui unit bisnis BUMKam juga dapat memastikan ketersediaan pangan lokal bagi masyarakat di kampung tersebut dan kampung sekitarnya.

Pengembangan pangan lokal sangat potensial dikembangkan melalui BUMKam. Selama ini berbagai potensi pangan lokal (termasuk pangan hutan) di Papua tidak termanfaatkan dengan baik karena dominasi beras. Padahal tiap lanskap di Papua memiliki keragaman pangan lokalnya masing-masing. Selain sagu di daerah dataran rendah, masih ada ubi jalar (Ipomoea batatas), talas (Colocasia esculenta), dan gembili (Dioscorea esculenta) di kawasan pegunungan Papua. BUMKam menjadi peluang untuk mengarusutamakan pemanfaatan pangan lokal untuk menjaga ketahanan pangan (food security) di Papua.

Berbagai bentuk kegiatan yang dilaksanakan lewat pembiayaan Dana Desa, selain untuk mendorong kelestarian hutan, adalah juga upaya untuk menguatkan peran masyarakat di tingkat kampung. Ketika kita berbicara soal pelestarian lingkungan kita tidak sedang membicarakan teknis konservasi semata. Namun ia berkelindan dengan isu sosial dan ekonomi juga. maka dari itu penting untuk mendorong isu pelestarian linkungan yang terintegrasi ke dalam perencanaan kampung. Dengan begitu praktik penggunaan Dana Desa di kampung yang berada di kawasan hutan akan dapat lebih tepat sasaran. Dukungan Dana Desa yang besar, sekali lagi, dimaksudkan untuk mendorong kesejahteraan masyarakat, bukan membentuk masyarakat yang konsumtif lantas melupakan akar adat dan budayanya – seperti yang banyak terjadi saat ini di banyak kampung di Papua.

Submission Agreement

Terimakasih atas  ketertarikan Anda untuk mengirimkan artikel ke BaKTINews. Dengan menyetujui pernyataan ini, Anda memberikan izin kepada BaKTINews untuk mengedit dan mempublikasikan artikel Anda di situs web dan situs afiliasinya, dan dalam bentuk publikasi lainnya.
Redaksi BaKTINews tidak memberikan imbalan kepada penulis untuk setiap artikel yang dimuat.  Redaksi akan mempromosikan artikel Anda melalui situs kami dan saluran media sosial kami.
Dengan mengirimkan artikel Anda ke BaKTINews dan menandatangani kesepakatan ini, Anda menegaskan bahwa artikel Anda adalah asli hasil karya Anda, bahwa Anda memiliki hak cipta atas artikel ini, bahwa tidak ada orang lain yang memiliki hak untuk ini, dan bahwa konten Artikel Anda tidak mencemarkan nama baik atau melanggar hak, hak cipta, merek dagang, privasi, atau reputasi pihak ketiga mana pun.

Anda menegaskan bahwa Anda setidaknya berusia 18 tahun dan kemampuan untuk masuk ke dalam kesepakatan ini, atau bahwa Anda adalah orang tua atau wali sah dari anak di bawah umur yang menyerahkan artikel.
 
Satu file saja.
batasnya 24 MB.
Jenis yang diizinkan: txt, rtf, pdf, doc, docx, odt, ppt, pptx, odp, xls, xlsx, ods.