Keputusan pemerintah AS membekukan USAID mengguncang LSM Indonesia.
Apa strategi mereka untuk bertahan?
Pengurus Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Indonesia terkejut saat menerima surel dari yayasan pendukung media, Internews, pada Minggu (26/1/2025). Memo tersebut menginformasikan bahwa pendanaan untuk riset dan kegiatan terkait program USAID-MEDIA ditangguhkan.
Penangguhan ini berkaitan dengan keputusan pemerintah AS untuk membekukan badan bantuan pembangunan internasional, USAID, selama 90 hari di bawah pemerintahan Presiden Donald Trump, yang gencar menggaungkan slogan America First. Badan itu belakangan menjadi sasaran kritik, atau tuduhan, dari Trump dan jajarannya yang menyebut USAID dipimpin oleh “orang-orang kiri gila”. Dilansir Reuters, Trump bahkan memuji Kepala Departemen Efisiensi Pemerintahan sekaligus taipan AS, Elon Musk, karena membongkar dugaan korupsi di USAID—meski tanpa bukti konkret.
Sebagai salah satu donor terbesar di dunia, pembekuan USAID berdampak luas, termasuk di Indonesia. Sejumlah lembaga swadaya masyarakat (LSM) yang bergantung pada pendanaan ini kini harus mencari cara untuk bertahan di tengah ketidakpastian.
Ketua Bidang Gender, Anak, dan Kelompok Marjinal AJI Indonesia, Shinta Maharani, mengatakan pengurus AJI harus melakukan ‘akrobat’ demi memastikan pelatihan dan riset tetap berjalan, mengingat beberapa program bergantung pada dana USAID. Salah satunya adalah pelatihan menulis yang dirancang Shinta untuk jurnalis AJI di berbagai daerah, dengan fokus pada pemberitaan kelompok minoritas seperti LGBTIQ, anak, dan perempuan. Awalnya, pelatihan ini dirancang secara tatap muka untuk meningkatkan interaksi. Namun, rencana itu harus diubah.
“Kalau pertemuan langsung, ada biaya transportasi, tiket pesawat, hotel—anggarannya besar. Satu-satunya cara adalah mengadakan pelatihan via Zoom,” kata Shinta. Menurutnya, meningkatkan profesionalisme jurnalis adalah salah satu dari prioritas AJI, sehingga pemindahan ke Zoom menjadi solusi agar pelatihan tetap bisa diakses secara gratis. “Kami tetap memberikan pelatihan dengan cara bergantian dari satu AJI kota ke AJI kota lain. Ada 40 AJI kota di seluruh Indonesia,” tambahnya.
Dampak pada Program LSM Lain
Masalah serupa juga dihadapi Serikat Jurnalis untuk Keberagaman (SEJUK). Direktur SEJUK, Alex Junaidi, mengatakan Lembaga itu harus menunda dua program: pelatihan dan pengumpulan data. Ia terpaksa memberi kabar buruk kepada mitra daerah terkait penundaan pelatihan yang baru berjalan satu pertemuan. Pengumpulan data pelanggaran kebebasan beribadah yang dimulai setengah tahun lalu juga terhenti. “Seharusnya proyek ini berjalan sampai tahun depan, tapi kebijakan ini membuatnya ditangguhkan,” ujar Alex. Meski berdampak pada program, ia menegaskan bahwa pembekuan dana USAID tidak memengaruhi anggota SEJUK. “Keanggotaan kami longgar, kami lebih fokus pada kampanye keberagaman dan toleransi,” tambahnya.
Tak hanya pelatihan jurnalis, pembekuan dana USAID juga berdampak pada pemberdayaan komunitas. Yayasan Kebaya, yang mendukung transpuan, menerima surel serupa yang memerintahkan penghentian semua kegiatan yang didanai USAID. Seharusnya, 2025 menjadi tahun kedua Yayasan Kebaya bekerja sama dengan Outright International untuk meningkatkan kapasitas transpuan. Namun, karena Outright juga didanai USAID, program tersebut terhenti.
Tahun lalu, Yayasan Kebaya meneliti model usaha yang cocok bagi transpuan, mendirikan koperasi kredit, dan merencanakan kelompok usaha bersama. “Tahun ini, rencana utama kami adalah penguatan pengelola usaha dan memberikan stimulan bagi bank komunitas,” ujar Program Manager Pemberdayaan Transpuan Yayasan Kebaya, Rully Mallay. Namun, rencana itu kini tertunda tanpa batas waktu. “Secara otomatis, kesempatan kami untuk meningkatkan kapasitas komunitas trans di Jogjakarta jadi terhambat,” lanjutnya.
Koordinasi Yayasan Kebaya dengan mitra seperti Country Coordinating Mechanism (CCM) Indonesia juga ikut terdampak. CCM, badan independen yang menangani dana hibah The Global Fund untuk AIDS, TB, dan malaria, memang tidak sepenuhnya bergantung pada AS. Namun, AS adalah donor terbesar The Global Fund, sehingga Rully khawatir pembekuan USAID akan berimbas pada pencegahan HIV/AIDS di Indonesia.
“Kegiatan seperti oversight meeting dan kunjungan ke daerah kini sangat terhambat,” jelasnya. Menurutnya, banyak LSM yang aktif dalam kampanye HIV/AIDS dan mendukung kelompok rentan seperti pekerja seks dan anak-anak akan menghadapi kesulitan. “Kami sangat terpukul dengan pembekuan ini,” tambahnya.
Mencari Sumber Pendanaan Alternatif
Situasi ini memaksa LSM mencari sumber pendanaan lain. Yayasan Kebaya beruntung memiliki hubungan baik dengan pemerintah setempat dan sejak 2014 bermitra dengan Dinas Sosial Yogyakarta. Hal serupa dilakukan Yayasan EcoNusa, yang berfokus pada pengelolaan sumber daya alam berkelanjutan. Mereka mendapat dukungan dari pemerintah provinsi Maluku dan Papua Barat Daya.
Namun, EcoNusa, yang baru pertama kali bermitra dengan USAID, harus mengurangi beberapa program peningkatan kapasitas yang telah disusun selama hampir setahun. “Kami harus mengurangi kegiatan seperti pendaftaran kapal nelayan, pelatihan manajemen ekonomi masyarakat, dan pengawasan kawasan lindung,” ujar CEO EcoNusa, Bustar Maitar.
Sementara itu, AJI mengandalkan pendanaan mandiri dari iuran anggota, karena organisasi mereka melarang pendanaan dari anggaran pemerintah pusat atau daerah. Beberapa AJI daerah bahkan menjalankan usaha sendiri, seperti kafe dan warung bakso, untuk menopang organisasi. “Di luar pekerjaan sebagai jurnalis, mereka menghidupkan organisasi secara mandiri,” kata Shinta.
SEJUK juga mulai mempertimbangkan penggalangan dana publik sebagai alternatif pendanaan. Menurut Alex, media sosial mereka, yang termasuk dalam delapan media paling banyak dilihat Gen Z dan Milenial menurut IDN Research Institute, bisa dimanfaatkan untuk kampanye pendanaan publik. “Kami sedang memikirkan apakah bisa menjalankan crowdfunding melalui media sosial,” ujarnya.
Sumber:
https://magdalene.co/story/pembekuan-usaid-dampak-lsm-indonesia/