Pagi-pagi, tanah masih basah. Atau tepatnya, lantai papan masih basah. Di Agats, kita tidak terbiasa bertemu dengan tanah. Di sekujur kota, papan dan beton adalah tempat berpijak. Sebagai kota yang dibangun di atas rawa, Agats memang akrab dengan papan. Kota di atas papan, kata orang. Papan yang menjadi jalan raya, menjadi lantai rumah, bahkan menjadi landasan di pelabuhan. Tempat kami berdiri pagi itu.
Matahari masih malas menunjukkan sinarnya. Masih tertutup awan kelabu. Angin sisa malam menyapa, sesekali seperti menusuk. Membuat kami harus merapatkan jaket. Saya lirik jam tangan, belum pukul 7 pagi.
Beberapa perahu fiber-atau orang menyebutnya speed boat-terparkir di pelabuhan. Terombang-ambing diempas ombak sungai yang tidak seberapa besar. Sungai di depan kota Agats ini memang lebar, mungkin genap seratus meter antar dua daratan di tepinya. Sungai itu jadi urat nadi kota Agats, ibu kota Asmat. Di atas sungai itulah ratusan kapal melintas setiap hari. Dari kapal kecil punya nelayan, speed boat dengan mesin yang lebih modern, sampai kapal Pelni yang disebut Kapal Putih. Sungai adalah jalan tol bagi orang Asmat, serta juga gudang makanan. Ikan, udang, sampai sagu yang hidup di tepiannya adalah ragam pasokan gizi buat orang Asmat. Sungai adalah pusat kehidupan orang Asmat.
Kami meninggalkan dermaga Aswan di Agats sekitar pukul 7 pagi. Melintasi sungai besar menuju muara, menuju laut lepas lalu berbelok ke arah barat laut, menuju Kabupaten Mimika.
Bukan, kami bukan mau ke Mimika tapi ke Distrik Pulau Tiga yang memang berbatasan langsung dengan Mimika. Pulau Tiga adalah salah satu distrik terluar Kabupaten Asmat. Berbatasan langsung dengan kabupaten tetangga dan lebih dekat ke Kota Timika daripada ke Agats. Di sanalah kami akan menghabiskan waktu dua malam. Tepatnya di Kampung Nakai, ibu kota Distrik Pulau Tiga.
Langit mendung sepanjang perjalanan. Matahari hanya mengintip sebentar, lalu menghilang lagi. Sesekali butiran air jatuh dari langit, membasahi kami yang sedang melintasi sungai dan lautan. Beruntung karena ombak tenang, tidak sampai menerbitkan rasa kuatir. Sesekali speed boat harus berhenti, sang supir memasang atap untuk menjaga kami tidak sampai basah kuyup. Persis seperti mobil convertible. Sayangnya, atap speed boat itu tidak terlalu tinggi dan tentu saja membuat kami merasa terkungkung dengan pandangan yang terbatas. Sang supir sampai harus lebih berhati-hati. Ketika hujan berhenti sejenak, dia pun akan berhenti dan melipat atap kembali. Tapi bila hujan kembali datang dan cukup deras, dia akan kembali berhenti dan memasang atap. Begitu terus sampai beberapa kali.
Si supir membawa kami menyusuri tepian laut Arafuru, lalu berkelok tajam di satu titik. Menyusuri sungai kecil yang di kanan-kirinya penuh dengan pepohonan. Ada rasa ngeri yang menyusup ke dada. Membayangkan di antara pepohonan itu ada buaya atau hewan buas lainnya yang mengintai, lalu di saat yang tepat melompat dan menerkam. Sepertinya saya terlalu banyak menonton film.
Speed boat masih meliuk-liuk di sungai kecil, menghindari kayu yang hanyut, atau ranting pohon yang menjorok ke sungai. Sampai akhirnya kami kembali ke sungai besar yang teduh dengan jarak ratusan meter antar tepiannya. Sudah masuk jalan raya, kata saya dalam hati.
Kemampuan mengenal jalur memang mutlak dimiliki para supir speed boat. Tidak ada tanda-tanda khusus di tepian sungai, tidak ada rambu, tidak ada papan penunjuk jalan. Semua berdasarkan ingatan saja. Salah memilih anak sungai, kami bisa-bisa malah makin jauh ke dalam hutan dan bukannya bertemu sungai besar.
Tiba di Pulau Tiga
Satu jam empat puluh lima menit setelah meninggalkan dermaga Aswa di Agats, kami akhirnya bertemu dengan dermaga kecil di tepi kampung. Kampung Nakai, ibu kota Pulau Tiga sudah di depan mata. Perjalanan panjang yang syukurnya tidak separah yang kami bayangkan. Ombak tenang, hujan pun tidak terlalu mengganggu. Ini perjalanan terpanjang kedua saya dengan speed boat setelah perjalanan ke Koroway setahun yang lalu.
Kami turun dari speed boat, menjejak tanah yang basah sebentar sebelum naik ke dermaga kayu. Beberapa pria menyambut kami, membantu mengangkat barang-barang yang kami bawa. Hanya tas pakaian dan beberapa dus berisi air mineral. Mereka membawanya ke dalam kampung, ke tempat teman-teman lain yang sudah lebih dulu datang. Kami mengikutinya.
Kampung Nakai tidak terlalu luas dan tidak ramai. Hanya ada 1 kios pendatang yang menyediakan barang-barang kebutuhan sehari-hari. Ada 1 sekolah SD di kampung itu. Kondisinya tidak terlalu buruk, tapi juga tidak terlalu bagus.
Pak Baharuddin, seorang pria asal Bulukumba berumur 42 tahun menjadi kepala sekolah di sana. Dia sudah merantau sejak tahun 90an ke Asmat dan sudah berpindah tugas beberapa kali sebelum akhirnya ditempatkan di Nakai sejak tiga tahun lalu. Dialah yang mengepalai sekolah kecil itu, dibantu empat orang guru yang dua di antaranya adalah perempuan. Murid mereka tidak terlalu banyak, bercampur antara anak-anak yang memang masih berusia SD dengan anak-anak yang sudah terlihat dewasa dan tidak sesuai dengan anak seusia dia untuk duduk di bangku SD.
Di bagian belakang kampung, sebuah Puskesmas berdiri. Puskesmas itu masih terlihat mengkilap, masih baru. Di dekatnya beberapa rumah dinas dokter dan suster berjejer. Puskesmas itu memang baru berusia setahun, karena Distrik Pulau Tiga pun memang masih tergolong muda. Seorang dokter bertugas di sana bersama beberapa suster dan bidan. Sang dokter kebetulan sedang berada di Agats ketika kami datang, tapi di rumah dinasnyalah kami dan rombongan tinggal.
Rumah kayu, seperti umumnya rumah di Asmat. Berdiri di atas tiang-tiang setinggi dua meter dari tanah. Seperti umumnya rumah di Asmat. Kami langsung menuju gereja yang jadi pusat kegiatan hari itu. Gereja itu disulap menjadi tempat pelayanan. Beberapa orang sibuk di belakang laptop, memverifikasi data yang masuk, beberapa lainnya membagikan dana bantuan, dan beberapa petugas Puskesmas memberikan layanan kesehatan di luar gereja. Bayi dan balita diberi imunisasi, ibu-ibu diberi vitamin dan obat pencegah kaki gajah. Mereka pun diberi pemahaman tentang gizi dan kebersihan. Suasana riuh dan terasa gerah. Hujan yang barusan pergi meninggalkan rasa gerah yang mengambang di udara.
Tantangan Kesehatan
“Memang masalah kebersihan masih jadi kendala di sini,” kata Mate Yyongarut, salah seorang suster senior dari Puskesmas Nakai. “Kadang ibu-ibu belum peduli untuk kasih mandi de pu anak. Tidak pernah ganti de pu baju juga. Jadi kasihan, anak-anak itu badan jadi kotor, bau dan suka sakit kulit,” sambungnya lagi.
Saya perhatikan, pada umumnya anak-anak yang ada dalam gendongan ibunya atau berlarian di antara orang-orang itu memang seperti tidak terawat. Kalau pakai standar orang kota, maka mereka sepertinya tidak pernah mandi secara teratur, pun pakaian yang mereka pakai dibiarkan begitu saja meski sudah kotor dan kusam.
“Mama, ini ko ambil sabun e. Ko kas mandi itu ko pu anak, baru itu baju cuci kalau su kotor. Ganti deng baju yang bersih,” kata seorang petugas Puskesmas kepada seorang ibu. Si ibu hanya mengangguk sambil tersenyum malu.
Seorang anak kecil, mungkin berumur sekitar 10 tahun melintas di depan saya, di tangannya ada sekotak minuman energi. “Anak-anak sini memang suka sekali minum Kuku Bima. Dulu mereka suka yang rasa anggur, tapi sekarang lebih banyak yang beli rasa jeruk,” kata pak Baharuddin sang kepala sekolah asal Bulukumba itu.
Saya meringis, membayangkan betapa tingginya risiko yang diterima anak-anak itu. Bayangkan, minuman energi dengan tingkat kafein dan glukosa yang tinggi itu dikonsumsi oleh anak-anak, secara berlebihan. Berlebihan karena mereka mengonsumsinya setiap hari, kadang dengan jumlah yang tidak masuk akal. Lebih dari satu saset per hari. Orang dewasa saja bisa menderita gangguan jantung atau penyakit lainnya bila mengonsumsi dengan takaran seperti itu, apalagi anak-anak.
“Di tempat saya sudah ada beberapa anak-anak kecil yang meninggal karena gagal ginjal. Saya pikir, itu karena konsumsi minuman energi yang berlebihan,” kata dr. William, seorang dokter muda yang bertugas di Asmat. Dia bertugas di salah satu kampung sebelah utara kota Agats, berbatasan langsung dengan Yahukimo.
Bukan Karena Miskin
Cerita-cerita seperti itu memang sudah sering saya dengar. Itu jadi tantangan kesehatan terbesar di Papua. Bukan kemiskinan, tapi pemahaman yang salah akan kesehatan dan kebersihan. Masih banyak warga yang salah memahami kalau makanan modern itu semua baik. Mereka mungkin merasakan lezatnya mie instan atau manisnya minuman berenergi. Tapi, mereka tidak tahu kalau di baliknya ada ancaman yang besar untuk mereka, untuk anak-anak mereka.