Produk sutra memiliki proses panjang sebelum tiba di tangan konsumen. Secara teori, proses inti dalam rantai nilai sutra Sulawesi Selatan dibagi tiga sektor, mewakili tiga tahapan besar, dimulai di sektor hulu (budi daya murbei, pengadaan telur, budidaya ulat), sektormanufaktur (pengolahan kokon, pemintalan dan pertenunan) dan sektor hilir (distribusi, penjualan, hingga ke pengguna akhir). Ketiga sektor ini saling terkait, proses di hulu berpengaruh terhadap kualitas produk. Bagaimana situasi industri sutra Sulawesi Selatan? BAPPELITBANGDA Provinsi Sulawesi Selatan bersama BaKTI, LSM Payopayo, dengan dukungan Knowledge Sector Initiative (KSI) melakukan kajian kolaborasi rantai nilai komoditas sutra Sulawesi Selatan melalui pilot program kebijakan berbasis bukti. Pilot ini ingin menunjukkan suatu siklus penyusunan kebijakan berbasis bukti, di mana suatu agenda kebijakan prioritas daerah akan didukung melalui sebuah kajian terapan yang menjadi dasar suatu kebijakan. Pilot ini didukung oleh Program Knowledge Sector Initiative (KSI) yang merupakan kemitraan antara pemerintah Australia dan Indonesia yang mendukung penggunaan bukti yang lebih baik dalam penyusunan kebijakan.
Hasil kajian rantai nilai komoditas sutra Sulawesi Selatan menemukan bukti-bukti yang valid di semua sektor. Catatan pertama yang tertuang pada tulisan ini fokus di sektor hulu budidaya ulat sutra Sulawesi Selatan. Memprihatinkan, kondisinya di ujung tanduk. Tolak ukurnya sederhana, sentra budidaya sutra terus menyusut. Tahun 1980-an, PT. Perhutani mencatat 15 kabupaten sebagai konsumen telur ulat sutra, tahun 2020 tersisa 2 kabupaten, selebihnya ‘’tutup buku’’. Terakhir Kabupaten Enrekang menyerah, budidaya ulat sutra gagal total di sana. Budidaya sutra ditinggalkan. Petani ulat sutra terus merosot, kini tersisa 74 petani, sekitar 74,67% di Kabupaten Soppeng dan 25,4% di Kabupaten Wajo. Lahan murbei menciut, kalkulasi kasarnya tidak jauh dari 65 Ha yang tersisa, sekitar 80,6% di Kabupaten Soppeng, sisanya di Kabupaten Wajo. Itupun, sebagian tumpang sari dengan tanaman pertanian yang lagi naik daun, seperti jagung pakan. Jadilah murbei, tanaman kelas dua, disisakan sebagai tanaman pagar. Merosotnya budidaya ulat sutra di Sulawesi Selatan, tidak berdiri sendiri, ada tanggung jawab pemerintah, negara dan aspek kebijakan di dalamnya, termasuk sektor swasta yang terlibat di dalamnya, dan petani sendiri sebagai pelaku inti.
Kebijakan yang Tidak Memihak
Semua pihak punya tanggung jawab, namun bila ditakar, rasa-rasanya porsi terbesar ada di pundak pemerintah. Betapa tidak, masalah budidaya ulat sutra sudah lama terjadi. Sekitar tahun 1990-an, bermula dari serangan penyakit pebrin yang memusnahkan ulat sutra lokal di Kabupaten Soppeng, lalu menjalar ke sentra-sentra budidaya ulat sutra lainnya di Sulawesi Selatan. Sayangnya masalah ini belum bisa diatasi hingga awal 2021. Dimana pengambil kebijakan? Pada sisi lain pemerintah juga yang mempopulerkan komoditas baru di sektor pertanian, dibudidayakan berdampingan dengan murbei, yang produktifitasnya membutuhkan input kimia seperti herbisida dan pestisida, musuh ulat sutra yang sensitif dengan bau. Daun murbei yang terkontaminasi pestisida kimia, menghambat pertumbuhan ulat, atau kualitas kokonnya tidak maksimal, bahkan menyebabkan kematian masif. Situasi inilah yang menimpa petani ulat di Kabupaten Enrekang, menyebabkan berhentinya budidaya ulat sutra secara total, digusur budidaya hortikultura yang berkembang masif.
Surutnya dukungan kelembagaan dalam pengelolaan sutra di sektor hulu, tidak bisa dipisahkan dari perubahan kebijakan. Realitasnya, di saat petani ulat sutra membutuhkan dukungan maksimal, fungsi badan pemerintah yang bertugas mendeteksi penyakit ulat sutra di daerah, justru dihilangkan. Belum lagi desentralisasi, urusan kehutanan beralih ke provinsi. Dua Unit Pengelola Teknis Daerah (UPTD) yang memiliki mandat yang berbeda, yaitu UPTD Persutraan Alam untuk urusan pakan (murbei) di bawah Dinas Pertanian/Perkebunan, dan UPTD Tekstil untuk mengurusi benang dilebur menjadi UPTD Tekstil. Pengalihan mandat tidak dibarengi pengalihan staf UPTD Persutraan Alam yang ahli di sektor hulu. Urusan hulu semakin terpinggirkan, ditambah lagi dengan posisi PT. Perhutani, unit usaha pemerintah di bidang kehutanan yang menyediakan telur ulat sutra untuk petani, juga berhadapan dengan dukungan manajemen kelembagaan untuk pemurnian indukan, daripada persoalan teknis menghasilkan indukan bibit F1 yang baik. Akibatnya budidaya ulat yang bertahan, sepenuhnya mengandalkan telur impor. Jumlahnya fantastis, mencapai 40.000 boks per tahun, dengan harga jual ke petani rata-rata Rp. 400.000/boks. Fasilitas breeding dan PSA Perum Perhutani Soppeng, tidak lagi efektif, personil menciut dari 120 orang menjadi 6 orang. Situasi hulu semakin terpojok, yang merupakan kendali utama industri sutra lokal Sulawesi Selatan.
Budidaya Ulat Sutra Ditinggalkan
Anjloknya budidaya ulat sutra, akibat serangan penyakit mematikan yang belum ada penawarnya, merupakan ‘pukulan’ telak bagi petani. Mereka kehilangan sumber pencaharian, dengan pengaruh ekonomi jangka panjang. Kondisi inilah yang membuat petani ulat berpaling, sebagian meninggalkannya secara total, yang lain tetap bertahan, melanjutkannya sebagai aktifitas sampingan semata.
Indikasi lain yang memperkuat asumsi semakin rapuhnya budidaya ulat sutra, adalah kondisi demografi, pelaku yang tersisa didominasi petani lanjut usia, berpendidikan rendah, dan umumnya perempuan atau sekitar 65% . Dari 74 petani aktif, sekitar 42% berumur antara 51-60 tahun, sekitar 26% pelaku berusia 61-71 tahun, sisanya sekitar 32% berusia antara 30-50 tahun. Realitas ini menunjukkan budidaya ulat ditinggalkan oleh kelompok usia muda. Laki-laki berusia muda dan berpendidikan tinggi meninggalkan sutra. Dari sisi pendidikan, sekitar 46% petani berpendidikan sekolah dasar (sebagian tidak tamat), dan hanya sekitar 5% yang pernah mengecap pendidikan pada tingkat sarjana (seluruhnya tinggal di Soppeng). Fakta ini menunjukkan regenerasi petani ulat sutra, ibarat bertumbuh seperti tanaman bambu, makin ke atas makin mengecil. Jaminan regenerasi normal hanya akan terjadi apabila ditemukan bibit ulat sutra nasional berkualitas yang adaptif, yang menguntungkan secara ekonomi. Litbang-KLHK Bogor, menyatakan sudah siap dan sudah diujicoba di Sulawesi Selatan, demikian respons Lincah Andadari dari Litbang KLHK Bogor, menanggapi masalah telur ulat sutra, pada seminar hasil kajian rantai nilai sutra yang dilaksanakan secara daring pada 9 Februari 2021 lalu.
Budidaya Ulat Sutra Mudah, Menguntungkan dan Ramah Perempuan
Memelihara ulat lebih menguntungkan, ramah petani kecil, ramah terhadap kelompok perempun, termasuk lansia, modal kecil atau tanpa modal, tidak membutuhkan lahan yang luas, petani aktif rerata luas lahannya < 1 Ha, pendapatan teratur dalam frekuensi lebih cepat, usia panen singkat, rerata 24 hari. Fakta budidaya ulat sutra ramah perempuan, termasuk yang lanjut usia, dibuktikan dengan dominasi perempuan dalam usaha budidaya ulat sutra, dari 74 pelaku aktif di Soppeng dan Wajo, sekitar 66% atau 49 adalah perempuan, dan sekitar 61% usianya diatas 50 tahun. pada umumnya single parent atau perempuan yang tidak pernah berkeluarga. Realitas ini mencerminkan budidaya ulat membantu ekonomi dan mempertahankan produktifitas perempuan, lanjut usia sekalipun. Surutnya pemeliharaan ulat sutra adalah bagian dari dinamika dalam rentang strategi penghidupan para pelaku di hulu. Petani akan kembali mengusahakan apabila tersedia telur ulat sutra berkualitas baik.
Antara Tantangan dan Harapan
Masih ada asa dibalik situasi ulat sutra yang terpuruk. Dengan adanya kebijakan ‘’mengembalikan kejayaan sutra’’ oleh Pemerintah Provinsi Sulawesi Selatan. Ada harapan industri sutra bangkit, setelah puluhan tahun tak dilirik pemerintah provinsi, ada asa industri sutra di sektor hulu selamat dari kehancuran, alokasi anggaran perbaikan sektor hulu tergolong besar, dibanding tahun-tahun sebelumnya. Anggaran ini difokuskan untuk untuk budidaya murbei dan pengadaan telur ulat impor.
Walapun, kebijakan anggaran yang besar, bukan jaminan keberhasilan, mengingat persoalan utamanya, adalah kebutuhan telur ulat sutra berkualitas. Bukan murbei, pakan masih cukup tersedia, lagi pula mudah dibudidayakan, apabila tersedia telur ulat berkualitas. Apalagi dengan impor telur ulat sutra, bukan pilihan strategis. Kebijakan impor bisa diterima untuk kepentingan jangan pendek, menyelamatkan sekitar 21.000 pelaku pengrajin sutra di Sulawesi Selatan ketika ulat lokal hancur karena pebrin pada tahun 1990-an. Bukan berarti kondisi ini dimanfaatkan untuk melanggengkan impor yang secara besar-besaran. Impor terbukti banyak lemahnya, tanpa sistem pengujian berkala, impor telur ulat bisa membuat penyakit pebrin terus mengintai, menciptakan ketergantungan tinggi, dan dikendalikan oleh importir tunggal. Wilayah distribusi eksklusif, khusus untuk petani di Soppeng, karena telur dibeli dengan anggaran pemerintah kabupaten, untuk didistribusi ke petani. Pada hal, ada peluang nasionalisasi telur ulat, menjadi industri hulu yang berpotensi sangat besar, mengingat Sulawesi Selatan memiliki kebudayaan yang kuat dengan komoditi sutra. Kebutuhan benang sutra Sulawesi Selatan antara 150-200 ton pertahun.
Menyelamatkan Industri Sutra Sulawesi Selatan dengan Kebijakan Strategis di Sektor Hulu
Budidaya ulat sutra Sulawesi Selatan membutuhkan kepedulian serius. Bila tidak, produksi sutra lokal yang sarat makna sejarah, nilai budaya akan terkubur, menyisakan catatan sejarah kelam. Untuk menyelamatkannya Sulawesi Selatan perlu mewujudkan mandiri telur ulat sutra unggulan nasional yang berkualitas. Pemerintah provinsi memfasilitasi, mendorong atau mengupayakan dan memastikan tersedianya telur ulat sutra nasional yang adaptif berkualitas, dengan jaminan keberlanjutan dan mudah diakses oleh petani. Strateginya adalah kerja sama dengan institusi penelitian di Sulawesi Selatan untuk uji adaptasi F1 unggulan Sulsel, dan kerja sama dengan Badan Litbang Kehutanan KLHK, Bogor untuk melaksanakan uji adaptasi yang berkelanjutan dalam rangka menemukan galur ulat sutra yang paling adaptif untuk Sulawesi Selatan.
Pengadaan institusi, lembaga penyedia telur ulat sutra, yang mengelola fasilitas produksi telur ulat sutra dan tenaga pendukungnya (Bertugas memelihara dan menyediakan ulat setidaknya sampai instar 3, demi memastikan produksi/kualitas kokon yang baik di tingkat petani ). Perbaikan kelembagaan, infrastruktur, dan SDM pendukung laboratorium, institusi pengelola untuk deteksi dini penyakit ulat sutra, dan pengadaan pemantauan rutin dan sistem pelaporan cepat dan mudah akses (dari petani kepada petugas/penyuluh), untuk deteksi dini penyakit ulat sutra. Pengorganisasian /penguatan kelembagaan petani ulat dan meningkatkan keterpaduan program pembinaan petani.