“Ko jangan main-main di luar, nanti ko kena Corona,” kata seorang anak kecil berumur sekitar lima tahun kepada temannya. Anak itu beranama Aya, anak pemilik kos tempat saya tinggal di Jayapura. Dia dengan fasihnya menyebut Corona meski saya tidak terlalu yakin dia tahu apa itu Corona. Tapi yang jelas, pemberitaan yang masif tentang virus Corona dan mungkin wanti-wanti dari orang tuanya sangat menancap di kepalanya.
Sejak akhir tahun 2019 lalu, virus COVID-19 atau yang juga kerap disebut Corona mulai merebak dari Wuhan, Republik Rakyat Tiongkok. Dari Wuhan, menyebar dengan cepat ke berbagai negara termasuk Indonesia. Awal Maret 2020, suspek pertama dari Indonesia akhirnya ditemukan juga. Dan penyebaran virus ini kemudian tinggal menunggu waktu. Indonesia yang awalnya seperti yakin kalau tidak akan terjangkit COVID-19 tiba-tiba sadar kalau virus itu sudah ada di depan pintu.
Pemerintah Provinsi Papua langsung merespons masifnya pergerakan virus ini. Tanggal 26 Maret 2020, Gubernur Papua, Lukas Enembe langsung memerintahkan menutup semua akses bandara dan pelabuhan di 29 Kabupaten/Kota di Papua. Tidak boleh ada orang masuk dan keluar. Penerbangan antar daerah dalam Provinsi Papua juga ditutup. Perpindahan orang dibatasi. Bandara dan pelabuhan hanya dibuka untuk barang atau kargo, itupun dengan pengawasan yang ketat.
Perintah ini menyusul munculnya temuan pasien positif COVID-19 di Papua dari Kabupaten Merauke sekitar pertengahan bulan Maret 2020. Keputusan Papua untuk mengunci diri mereka dan membatasi dengan ketat pergerakan manusia masuk dan keluar harusnya bisa dimaklumi. Papua tidak punya fasilitas kesehatan sebagus provinsi lain di Indonesia. Jumlah tenaga kesehatannya pun tergolong minim, tidak berimbang dengan jumlah warga. Selain itu, sebagian warga Papua juga punya masalah di pengetahuan. Mereka tidak akan bisa langsung paham bahayanya virus ini. Tambahan lagi, orang Papua itu sangat komunal. Mereka tidak bisa hidup sendiri-sendiri. Selalu bersama dengan kawanannya. Ini menjadi sarana paling nyaman buat virus COVID-19 menyebar.
Jadi, meski Mendagri Tito Karnavian secara terang-terangan menyatakan tidak setuju dengan keputusan menutup pintu masuk-keluar Papua, tapi Lukas Enembe jalan terus. Tanggal 9 April, penutupan itu bahkan diperpanjang sampai 6 Mei 2020. Ketika akhirnya meninggalkan Papua di akhir bulan September 2020, saya harus memenuhi beragam syarat. Pertama tentu saja syarat hasil tes minimal rapid test yang hasilnya negatif atau non reaktif. Lalu, sebagai orang yang tidak ber-KTP Papua saya harus menandatangani pernyataan tidak akan kembali ke Papua dalam kurun waktu satu tahun atau sampai pandemi selesai.
Gerak Cepat Tiap Kabupaten
Kabupaten-kabupaten di Papua juga tidak tinggal diam melawan penyebaran COVID-19. Tiap-tiap kabupaten mengalokasikan dana dan tenaga untuk membuat gugus tugas yang bergerak cepat. Sosialisasi sampai aturan dibuat, termasuk aturan untuk menjaga jarak dan tidak berkumpul.
“Pasar itu sekarang cuma sampai jam dua saja. Abis itu disuruh bubar, ada polisi sama Satpol PP yang jaga,” kata Eli Yogi, sekretaris Bappeda Kabupaten Paniai yang saya kontak lewat telepon.
“Berat juga pak, soalnya kita orang Papua ini kan kalau ketemu tidak baik kalau tidak salaman. Biasa baku peluk-peluk juga kalau ketemu teman,” sambungnya lagi.
Iya sih, setahu saya orang Papua itu memang hangat bila bertemu teman. Selain jabat tangan erat, mereka juga kerap saling rangkul dengan hangat. Kebiasaan ini pasti susah dilarang, meski kondisinya seperti sekarang. Belum lagi soal pasar. Pasar di daerah pegunungan selalu jadi tempat berkumpul warga meski mereka tidak berbelanja. Sekadar bertemu kenalan, lalu mengobrol sepanjang hari. Seperti kita orang kota yang ke mall.
Tidak heran kalau usaha untuk mengurangi keramaian dan interaksi sosial memang tergolong berat.
Paniai setahu saya sudah bergerak cukup cepat juga untuk melakukan sosialisasi menangkal COVID-19. Pemerintah daerah membuat beberapa poster berisi sosialisasi kebersihan yang dipasang di tempat strategis, begitu juga dengan petugas yang sesekali berkeliling memantau. Bupati Paniai sendiri yang aslinya memang seorang pilot, bahkan sudah menyiapkan pesawat pribadinya untuk mengantar bantuan alat kesehatan ke daerah pegunungan bila dibutuhkan. Dan dia bersedia menyupirinya sendiri.
Kondisi ini sempat memaksa Paniai menghentikan beragam kegiatan, termasuk pencairan dana BANGGA Papua yang awalnya direncanakan dilaksanakan di bulan Maret 2020. Pencairan dana itu akhirnya baru bisa dilaksanakan di bulan Oktober 2020, itupun dengan protokol kesehatan yang ketat dan pembatasan jumlah penerima dana per hari.
Pembatasan Aktivitas
Kota Jayapura lewat arahan dari Walikota Jayapura juga langsung memberlakukan pembatasan sosial. Rumah makan, toko, dan semua kegiatan perekonomian sempat diminta tutup mulai pukul 17:00 WIT. Warga dilarang berkumpul, dan dianjurkan untuk tetap di rumah. Imbauan ini sudah mulai dijalankan sejak awal bulan April 2020.
“Kita mau tutup pak,” kata seorang penjaga warung makan yang saya sambangi di sore hari di bulan April. “Kalau malam ada petugas yang jalan keliling. Kalau masih ada yang buka, disuruh tutup,” sambungnya lagi.
Di malam hari, Jayapura sudah seperti kota mati. Tidak ada aktivitas di luar rumah, semua toko dan warung tutup.
Ketika memasuki bulan Ramadan tahun 2020, pembatasan sosial di Kota Jayapura bahkan semakin diperketat. Semua aktivitas di luar ruangan hanya dibatasi sampai pukul 14:00 WIT saja. Selebihnya seluruh warga disuruh kembali ke rumah masing-masing. Hal ini membuat saya yang berpuasa di Jayapura dengan status anak kos harus menyiapkan makanan untuk berbuka puasa sebelum jam 14:00 WIT. Lewat dari jam tersebut bisa dijamin tidak akan ada lagi pedagang makanan yang berjualan.
Sesekali juga saya melihat ada rombongan polisi dan Satpol PP yang berkeliling dengan mobil dan pengeras suara. Mereka mengingatkan warga untuk tidak berkerumun dan kembali ke rumah setelah batas waktu tiba.
“Saya pernah dihadang polisi di jalan, disuruh balik. Padahal itu saya baru pulang kantor karena lembur. Untung saya bisa kasih lihat tanda kalau saya kerja di bank, barulah saya dibiarkan lewat,” kisah Hans, seorang kawan yang bekerja di sebuah bank pemerintah di Jayapura.
Pembatasan yang sama juga dilakukan salah satunya oleh Kabupaten Asmat. Kabupaten di bagian selatan pulau Papua itu sempat memberlakukan pembatasan sosial dengan maksimal kegiatan luar ruang pukul 17:00 WIT. Pasalnya, pada bulan November 2020 jumlah penderita COVID-19 di Kabupaten Asmat meningkat pesat. Hingga tanggal 20 November 2020, jumlah penderita COVID-19 di Kabupaten Asmat mencapai angka 94 orang dengan 22 orang di antaranya dirawat, 71 orang sembuh, dan 1 orang meninggal dunia.
Kondisi itu membuat pemerintah Kabupaten Asmat mengambil langkah membatasi aktivitas warga di dalam kabupaten, dan aktivitas masuk-keluar warga. Untuk sementara, Kabupaten Asmat ditutup. Orang tidak bisa masuk dan keluar.
Hampir Setahun Setelah Pandemi
Sampai hari ini, semua pemerintah daerah di Indonesia bahkan pemerintah negara-negara di dunia masih berkutat dengan masalah pandemi COVID-19. Belum ada lagkah yang benar-benar efektif untuk mengurai benang kusut pandemi COVID-19.
Di sisi lain, gesekan antara kebutuhan ekonomi dan kebutuhan mengontrol penyebaran virus masih juga terjadi. Membatasi ruang gerak ekonomi warga demi membatasi penyebaran virus sejatinya adalah langkah paling efektif. Tapi, namanya kebutuhan perut tentu sulit untuk dibatasi. Tidak semua orang bisa tetap bekerja dari rumah atau bisa tetap mendapatkan penghasilan hanya dengan tinggal di rumah. Papua sedikit beruntung karena pertumbuhan ekonomi mereka tidak sebesar provinsi lain, seperti Sulawesi Selatan misalnya. Jadi ketika pembatasan aktivitas ekonomi diberlakukan, mereka juga tidak terlalu merasakan dampaknya. Saya sulit membayangkan hal yang sama diberlakukan di Kota Makassar karena saya yakin dampaknya akan sangat terasa.
Hampir setahun sudah pandemi COVID-19 menyambangi Indonesia. Usaha untuk melawannya terus dilakukan oleh beragam pihak, tapi jumlah penderita juga semakin besar. Khusus untuk Papua, sampai tanggal 8 Februari 2021 tercatat sudah ada 11.481 orang yang terkonfirmasi positif COVID-19. Dari jumlah itu 8.775 orang dinyatakan sembuh, dan 196 orang meninggal dunia. Jumlah yang cukup memprihatinkan.
“Sekarang orang-orang sudah santai, sudah banyak yang keluar tidak pakai masker,” kata Dewi Malik seorang teman yang masih bekerja di Jayapura. Kondisi ini tentu tidak hanya terjadi di Jayapura, tapi hampir di semua kota di Indonesia. Warga sudah mulai lengah dan mulai tidak peduli lagi pada penyebaran COVID-19. Entah karena memang menganggap enteng, atau karena sudah merasa bosan dengan segala kungkungan.
Hampir setahun pandemi COVID-19 dan kita hanya bisa berharap pandemi ini segera berakhir. Sampai obat benar-benar tiba, hal yang bisa kita lakukan hanya menjaga diri dengan tetap mengikuti protokol kesehatan yang sudah ditetapkan. Tidak ada cara lain yang bisa dilakukan, karena virus ini memang ada dan sangat berbahaya bila salah penanganan.
Penulis adalah seorang blogger di https://daenggassing.com yang pernah bekerja dan tinggal di Papua. Bisa dihubungi di email: ipul.ji@gmail.com