“Krisis iklim itu global, tetapi dampaknya lokal dan tidak seragam,” saya ingat kutipan itu dari salah satu kursus mengenai krisis iklim dari United Nation Climate Change Learning Partnership (UNCC). Dalam masalah kesehatan, WHO mengistilahkan hal tersebut dalam kalimat: “Unequal distribution of climate health risk.” Saya menemukan gagasan serupa disampaikan di salah satu sesi diskusi yang diselenggarakan CISDI dalam rangkaian Primary Health Care (PHC) Forum pada 13/10/2023 lalu. Forum tersebut merupakan wadah diskusi dan berbagai praktik baik untuk para pelaku transformasi layanan kesehatan primer.
Sesi dibuka dengan sebuah pertanyaan: mengapa beberapa area di Asia itu lebih rentan terhadap krisis iklim dibandingkan wilayah lainnya? Ada beberapa jawaban. Pertama, ada beberapa negara di Asia yang secara geografis sangat berisiko terhadap perubahan iklim. Misalnya, negara-negara kepulauan di Pasifik yang kian hari kian terancam tenggelam karena kenaikan muka air laut.
Kedua, negara-negara berkembang di Asia kebanyakan belum memiliki sistem dan infrastruktur yang disiapkan untuk menghadapi risiko bencana akibat krisis iklim. Ketiga, dengan populasi raksasa, ketimpangan sosial dan ekonomi meninggalkan beberapa kelompok masyarakat–seperti masyarakat adat–yang harus menghadapi risiko berlapis akibat krisis iklim tanpa dukungan memadai. Beberapa hal tersebut membuat Asia menjadi rentan terhadap risiko krisis iklim yang kian hari semakin nyata. Lantas, apa hubungan persoalan-persoalan tersebut dengan layanan kesehatan primer?
Krisis Iklim dan Wabah
Ada segudang bukti yang menunjukkan bahwa krisis iklim dapat menjadi pemicu perkembangan dan penyebaran penyakit menular. Artinya, risiko wabah semakin tinggi akibat krisis iklim. Negara-negara dengan iklim tropis seperti di Asia akan menghadapi peningkatan risiko malaria, demam berdarah, dan penyakit lain yang ditularkan oleh vektor yang dipicu perubahan iklim. Risiko ini sudah terjadi dalam beberapa kasus.
Di Pakistan misalnya, penyebaran kolera amat ditentukan oleh musim yang kini dipengaruhi perubahan iklim. Pada awal 2022, Pakistan dilanda banjir ekstrem. Banjir tersebut menambah beban layanan kesehatan akibat banyaknya korban. Namun, bukan hanya itu, banjir dan hujan ekstrem memanjakan Vibrio cholerae untuk berkembang dan mewabah.
Menariknya, hal serupa terjadi di saat Pakistan mengalami gelombang panas ekstrem di tahun yang sama. Akibat kekeringan yang terjadi di beberapa area, masyarakat terpaksa mengkonsumsi air dengan kualitas buruk yang menjadi tempat hidup bakteri penyebab kolera. Menjelang akhir 2022, diperkirakan ada sekitar 2000 kasus kolera yang terkonfirmasi.
Persoalan seperti ini memerlukan peningkatan kewaspadaan dan upaya pencegahan di tingkat layanan kesehatan primer bukan hanya di Asia tetapi juga di negara belahan bumi Selatan lain. Terutama untuk mencegah dan mengatasi penyakit menular yang risikonya meningkat karena krisis iklim.
Penyakit Tidak Menular
Banyak bukti yang menunjukkan hubungan antara peningkatan morbiditas dan mortalitas akibat penyakit tidak menular (PTM) dengan cuaca ekstrem seperti gelombang panas dan banjir. Misalnya, gelombang panas terbukti berisiko menyebabkan penyakit kardiovaskular seperti stroke.
Di Indonesia misalnya, Terdapat data yang menunjukkan bahwa jumlah pasien yang datang ke Puskesmas untuk konsultasi terkait PTM (diabetes, penyakit pernapasan dan kardiovaskular) meningkat pada saat rata-rata temperatur harian meningkat. Artinya, krisis iklim yang menyebabkan pemanasan temperatur berisiko meningkatkan beban untuk layanan kesehatan primer. Ini perlu dipertimbangkan dan dipersiapkan mengingat hingga saat ini laju pemanasan global tidak kunjung melandai.
Selain berdampak langsung pada kemunculan PTM, menurut WHO, bencana akibat krisis iklim juga berisiko menjadi tantangan hebat untuk pemenuhan kebutuhan pangan dan gizi masyarakat. Ketika terjadi cuaca ekstrem seperti gelombang panas dan peningkatan curah hujan, timbul masalah kekeringan dan banjir yang berdampak pada komunitas petani dan nelayan.
Hal tersebut memengaruhi sejumlah aspek, mulai dari hasil panen, aktivitas pertanian, hingga jumlah pasokan pangan yang tersedia. Dalam kondisi seperti ini, di negara-negara berkembang di Asia, akan ada banyak kelompok masyarakat miskin dan rentan yang akan kesulitan mengakses kebutuhan pangan harian. Tentu saja persoalan ini juga akan menjadi tantangan berat bagi sistem layanan kesehatan yang ada.
Kelompok Marjinal dan Rentan
Krisis iklim semakin menonjolkan dimensi ketidaksetaraan. Bukan hanya persoalan “yang miskin” dan “yang sejahtera”. Wilayah bumi Selatan, memiliki keragaman populasi kelompok masyarakat. Di antara mayoritas masyarakat yang sudah bermukim di area perkotaan modern, terdapat sejumlah populasi masyarakat adat yang seringkali terabaikan.
Dalam sesi pembahasan hari itu, saya mendengarkan cerita dari perwakilan masyarakat adat Dayak Iban di Kalimantan Barat.
Salah satu pesan yang saya tangkap adalah dalam situasi sehari-hari saja, beberapa kelompok masyarakat memiliki akses yang amat terbatas terhadap layanan kesehatan primer. Sementara tabib-tabib tradisional mereka di kampung juga terancam kesulitan mengakses tanaman obat (ethnomedicine) karena laju deforestasi. Demi mendapatkan pengobatan layak, beberapa dari mereka mesti menempuh perjalanan berjam-jam hingga berhari-hari untuk mendatangi puskesmas dalam kondisi normal.
Dalam cuaca ekstrem tertentu, aksesnya bisa terputus sama sekali. Risiko kejadian semacam itu akan meningkat di tengah dampak krisis iklim. Tentu saja ini adalah tantangan bagi layanan kesehatan; bagaimana agar layanan kesehatan tetap aksesibel di tengah ancaman bencana-bencana akibat krisis iklim. Lantas apa solusi yang dimunculkan atas persoalan-persoalan di atas?
Sumber:
https://tulodo.com/2023/12/18/bagaimana-krisis-iklim-memengaruhi-layanan-kesehatan-primer-potret-dari-belahan-bumi-selatan-bagian-1/