Sebelum mulai membaca artikel ini, percayalah bahwa lanskap politik di Indonesia masih belum menemukan bentuk yang permanen. Seperti banyak diutarakan oleh para peneliti, sistem politik kita adalah sebuah eksperimen yang masih rentan dan berada dalam proses yang panjang.
Polarisasi menjadi salah satu ciri dalam tiga pemilu terakhir, dan tentunya menguras emosi kita. Awalnya, kita mengira hal itu bakal menjadi momentum baru bagi perjalanan demokrasi. Nyatanya tidak juga, termasuk dalam pemilu 2024 sekarang. Dan, hal yang belum lenyap dalam pesta demokrasi adalah hoaks.
***
Hoaks lama kelamaan menjadi warna dalam kontes politik. Di Indonesia, hoaks menjadi sumber masalah tetapi seringnya dijadikan senjata. Ini bisa dilacak sejak tiga peristiwa pemilihan umum (pemilu): Pemilihan Presiden 2014, Pemilihan Gubernur Jakarta 2017, dan Pemilu Presiden 2019.
Hoaks politik mengulas berbagai macam sisi untuk menyerang kandidat presiden dan wakil presiden. Tak ada batas moralnya, bahkan sampai urusan pribadi. Seperti meragukan kewarganegaraan Presiden Jokowi atau menuduh Prabowo tidak bisa mengaji.
Tujuannya adalah mengadu domba para pendukung yang mati-matian membela kedua kandidat. Meski ujung-ujungnya, keduanya melebur bersama di bawah payung kekuasaan yang sama. Mereka seolah melupakan para pendukungnya yang rela beradu mulut bahkan dengan keluarga sendiri di aplikasi berbagi pesan, WhatsApp.
Mafindo, organisasi pemeriksa fakta, menemukan sedikitnya 654 hoaks bertema politik pada Pemilu 2019. Kumpulan hoaks dan berita palsu yang telah diklarifikasi oleh Mafindo dapat ditemukan melalui situs Turnbackhoax.id. Terbaru, laporan Mafindo menemukan sebanyak 664 hoaks beredar sepanjang kuartal I tahun 2023, dengan 232 di antaranya (35%), merupakan hoaks politik.
Pada 2020, saya bersama peneliti dari Fakultas Ilmu Komunikasi Universitas Padjajaran (Unpad) memetakan hoaks di media sosial dan juga aplikasi bertukar pesan. Kumpulan hoaks dikumpulkan dengan proses scraping website dari laman Turnbackhoax.id. Kumpulan hoaks ini juga telah diklarifikasi Mafindo.
Kami memetakan tema-tema hoaks dari total 3.595 artikel periksa fakta yang dipublikasi Mafindo sejak 31 Juli 2015 hingga 23 Juli 2020.
Terdapat tujuh kategori tema pada analisis awal, yakni: “Politik” yang meliputi hoaks tentang politik, tokoh politik, pemilu, dan semua yang berhubungan dengan politik. Hoaks terkait agama, namun dalam konteks pemilu masuk kategori ini. Sementara enam kategori lainnya adalah “Agama”, “Kriminalitas”, “Ekonomi”, “Kesehatan”, “Kesehatan-COVID”, dan “Topik di luar topik-topik utama.” Namun, penelitian ini berfokus pada jenis-jenis narasi yang dimainkan pada ranah politik.
Sepanjang periode tahun itu, kami menemukan setidaknya 227 hoaks yang digunakan untuk memperkeruh perdebatan publik. Kami berfokus memetakan hoaks yang berpotensi menimbulkan konflik horizontal atau memperparah sentimen negatif atas kelompok-kelompok tertentu.
Secara lengkap, dataset mengenai hoaks ini dapat dilihat pada link berikut. Kolom ‘Konflik” menunjukkan temuan-temuan mengenai potensi konflik horizontal yang ditimbulkan oleh hoaks.
Misalnya jenis hoaks ini, “KATEGORIFITNAH: Ahok izinkan Natalan di Monas – tapi larang pengajian di Monas,” yang diperiksa Mafindo pada Juli 2015, dan kemudian dikategorikan sebagai ‘Ahok anti-Islam.’ Fokus utamanya adalah melarang pengajian di Monas, yang bisa menimbulkan konflik antardua umat beragama seiring memanasnya sentimen negatif terhadap Basuki ‘Ahok’ Tjahaja Purnama.
Kemudian hoaks ini, “KATEGORIFITNAH: Jokowi dituduh memasukkan ribuan tenaga kerja asing ke Indonesia via sebuah proyek PLTU,” yang berpotensi memperparah sentimen terhadap tenaga kerja asing, terutama yang berasal dari Cina di Indonesia.
Juga sentimen terhadap kelompok LGBT, “KATEGORIHOAKS: Didit, anak Prabowo Subianto, berkampanye untuk mendukung komunitas gay.”
Dari kategori-kategori ini, kami mengamati bahwa sebuah persona atau karakter politik ideal dari mayoritas publik adalah: pemeluk Islam Sunni, tidak radikal, tidak pula terlalu kiri atau liberal hingga melupakan Pancasila. Karakter ini pula yang dicari dalam diri seorang pemimpin.
Persona lainnya adalah seorang nasionalis yang tidak bersimpati dengan Cina dan TKA asing, berhati-hati terhadap agenda PKI, dan orang Papua yang ingin memisahkan diri dari Indonesia.
Dari daftar itu, kami mengidentifikasi hoaks juga berkelindan tentang intimidasi terhadap kelompok LGBT. Narasi dari hoaks mengarahkan bahwa para capres dan cawapres, beserta orang-orang di sekitar mereka termasuk keluarga, tidak boleh memiliki identitas seksual di luar lingkup heteronormatif.
Jualan Figur adalah Kunci, Gagasan Urusan Belakangan
Beberapa hari sebelum Pilpres 2019, peneliti ISEAS Yusof Ishak Institute, Budi Irawanto, mempublikasikan hasil temuannya yang berjudul, “Making It Personal: The Campaign Battle on Social Media in Indonesia’s 2019 Presidential Election.”
Budi menuliskan hal umum perpolitikan di Indonesia dan dinamika kampanye yang berorientasi pada persona kandidat calon Presiden dan juga personalisasi kampanye tanpa perbedaan yang signifikan pada kebijakan atau gagasan antara kandidat maupun partai.
Pada dinamika ini, kampanye kedua kubu juga termasuk melakukan serangan terhadap lawan politik sembari menonjolkan keunggulan kandidat mereka.
Dari catatan itu, terlihat bahwa masyarakat Indonesia terbiasa memilih berdasarkan karakter personal calon presiden ketimbang visi dan misi. Budi juga menggarisbawahi hampir tidak ada ruang diskusi terkait kebijakan publik. Sementara unggahan media sosial terkait kebijakan publik juga mendulang antusiasme yang lebih kecil dari warganet.
Media sosial menjadi ruang kampanye yang masif sebab masyarakat Indonesia sangat aktif di Facebook. Pada 2018, Indonesia menempati peringkat keempat pengguna Facebook terbanyak. Selain itu, kampanye via media sosial juga jauh lebih murah sehingga para calon kerap memanfaatkan efisiensi ini. Hal itu terlihat dari peningkatan kampanye politik di media sosial pada Pemilu 2019 dibanding lima tahun sebelumnya, lanjut Budi.
Sejalan dengan Budi, pada 2018, para peneliti Australian National University, Edward Aspinall, Diego Fossati, Burhanuddin Muhtadi dan Eve Warburton, ikut memetakan spektrum politik di Indonesia. Mereka melakukan hal ini untuk mengetahui perbedaan antara partai politik di Indonesia, mana yang lebih mendukung reformasi politik dibandingkan yang lain, siapa yang memihak kepentingan para pengusaha dan siapa yang berpihak pada rakyat miskin, hingga kemungkinan untuk mengkategorikan partai politik sebagai sayap kiri atau sayap kanan seperti di banyak negara Eropa dan Amerika?
Definisi “kiri” dan “kanan” memiliki pemaknaan beragam, tetapi kita dapat memahami ideologi sayap kiri yang memfokuskan peran penting negara dalam perekonomian, redistribusi ekonomi pada kelompok 99 persen, dan kebijakan sosial yang mendukung hak-hak perempuan dan kelompok minoritas. Demikian pula sayap kanan sebagai pihak yang mendukung kebijakan ekonomi yang berorientasi pasar, menentang program kebijakan sosial yang mahal untuk mengurangi kesenjangan ekonomi, dan mendukung posisi konservatif dalam isu-isu sosial demi mempertahankan nilai-nilai tradisional.
Hasil temuan Aspinall dkk., menunjukkan bahwa dalam 20 tahun demokrasi, Indonesia masih tidak bisa mengelompokkan ideologi partai politik di Indonesia. Banyak pengamat berpendapat bahwa partai-partai di Indonesia tidak punya perbedaan yang kentara dalam hal kebijakan dan ideologi. Satu-satunya perbedaan di antara mereka adalah sejauh mana Islam harus berperan dalam urusan publik.
Aspinall dkk., kemudian melakukan survei untuk mengeksplorasi bagaimana para elite politik memandang kecenderungan ideologis partai mereka dan partai pesaing. Survei dilakukan terhadap 508 anggota DPRD yang dipilih secara acak dari seluruh provinsi. Pertanyaan survei termasuk sikap para legislator terhadap demokrasi, pandangan religius mereka, latar belakang keluarga dan profesi, serta pemikiran mereka mengenai isu-isu politik saat ini.
Dari survei tersebut, secara umum, partai-partai berada di spektrum tengah, dengan situasi yang terkadang ke “kanan” dan kadang ke “kiri.”
Hanya ada satu bidang yang menghasilkan diferensiasi ideologis yang jelas dan konsisten: agama. Pada penelitian Aspinall dkk., kita bisa melihat bagaimana partai mengelompok berdasarkan pembelahan antara kelompok pluralis dan islamis.
Ketika responden yang juga pendukung partai ditanya, apakah mereka setuju semua partai politik di Indonesia memiliki ideologi yang sama? Responden yang merupakan pendukung partai Islam dan PDI-P mengatakan tidak setuju. Sementara, responden yang mendukung Golkar dan partai-partai yang dibentuk oleh mantan elite Golkar (Nasdem, Gerindra, dan Hanura), bersama dengan Partai Demokrat menjawab sepakat bahwa partai-partai di Indonesia memiliki ideologi yang sama.
Juga ketika ditanya, apakah partai mereka lebih cenderung ke Pancasila atau ideologi Islam, maka urutan dari yang paling pancasilais hingga islamis adalah PDI-P, NasDem, Golkar, Gerindra, Hanura, Demokrat, dan diikuti oleh partai yang lebih islamis; PAN, PKB, PKS, PPP.
Setahun setelah survei tersebut dipublikasikan, Eve Warburton, dalam buku “Political Polarization in South and Southeast Asia,” kemudian memerincikan karakter partai politik di Indonesia.
Dalam bukunya, PDI-P misalnya, adalah partai yang paling pluralis dan menarik dukungan dari kelompok agama minoritas, serta umat Islam yang lebih sekuler dan mereka yang mencampuradukkan agama mereka dengan agama lain.
Di ujung lain dari spektrum ideologi ada partai-partai Islam konservatif, terutama PKS, PPP, dan PAN. Konstituen mereka cenderung berasal dari komunitas Muslim kelas menengah perkotaan, dan mereka biasanya menganut versi Islam yang lebih puritan dan modernis.
Partai Islam besar lainnya, PKB, berada di tengah-tengah spektrum. PKB terkait dengan organisasi Islam terbesar di Indonesia, Nahdlatul Ulama (NU), yang orientasi tradisionalisnya telah menjadikan organisasi ini secara historis lebih toleran terhadap keberagaman agama dan budaya.
Eve juga menuliskan bahwa ujung-ujungnya, partai politik bersedia membentuk koalisi dengan berbagai partai lain, terlepas dari ideologinya, demi meraih kemenangan dalam pemilu dan berada dalam kekuasaan. Partai politik juga bersedia mendukung seorang figur, terlepas bahwa mereka mendukung aspirasi partai tersebut atau tidak.
Beberapa contohnya misal Prabowo, ketika ia begitu saja masuk koalisi Jokowi, terlepas dari populisme yang ia bentuk dari 2014.
Lalu Anies Baswedan, yang didulang sebagai gubernur dari kelompok Islam, melawan Ahok dari kelompok nasionalis. Padahal Anies merupakan lulusan Amerika, yang lalu jadi rektor di Universitas Paramadina, kampus Islam paling progresif dan sekuler di Indonesia.
Contoh terbaru adalah Kaesang Pangarep yang tiba-tiba masuk Partai Solidaritas Indonesia (PSI) dan langsung diangkat jadi ketua umum.
***
Konsekuensi dari buramnya ideologi partai dan kegemaran koalisi menjual figur adalah peta politik yang blur.
Anies Baswedan dan Muhaimin Iskandar yang didukung oleh NasDem, PKB, juga PKS. Padahal, partai itu memiliki ideologi bertabrakan, yang satu moderat, satu lagi konservatif.
Kemudian Prabowo Subianto dan Gibran Rakabuming yang didukung oleh beberapa partai moderat: Demokrat, Golkar, Gerindra, dan PAN dengan ideologi di paling kanan spektrum.
Terakhir ada Ganjar Pranowo dan Mahfud MD yang didukung oleh kombinasi partai paling sekuler, yakni PDI-P, dan salah satu partai konservatif, yakni PPP. Bukankah kombinasi pendukung Ganjar jadi malah membingungkan? Bagaimana cara menyatukan kedua partai dengan ideologi yang jauh berbeda macam ini?
Ah, iya, yang penting ‘kan menang pemilu. Urusan program bisa belakangan.
***
Kembali lagi ke spektrum politik, ideologi partai yang tidak dapat didefinisikan dan persona politik “tengah” Indonesia ini pada akhirnya menyebabkan calon pemimpin tidak pernah punya posisi politik yang jelas terhadap kelompok yang konon dicap sebagai ‘musuh’ setiap pemilu: TKA Cina, PKI, Syiah, HTI, hingga LGBT.
Hingga, pada akhirnya bagaimanapun jungkir baliknya pemeriksa fakta memerangi hoaks dan mencegah agar masyarakat tidak termakan isu atau menimbulkan konflik sesama warga, hoaks akan terus digunakan sebagai senjata politik untuk mengadu domba.
Sayangnya belum ada capres atau cawapres yang punya posisi politik yang jelas terhadap kelompok yang dianggap sebagai musuh bersama dalam narasi-narasi hoaks tadi. Jadi jangan kaget ketika setiap pemilu, kita bakal terus-terusan menemukan narasi-narasi hoaks tentang kelompok LGBT, pemimpin yang diragukan keislamannya atau dianggap terlalu radikal, pemimpin yang membawa TKA ke Indonesia, pemimpin yang dekat dengan Cina.
Suka tidak suka, narasi semacam ini sangat menggiurkan untuk dimainkan dan memanas-manasi masyarakat. Ujung-ujungnya sesama rakyat yang berkelahi membela elite politik–yang mungkin tidak peduli-peduli amat pada kita semua.
Sekitar 10 tahun lalu, masyarakat Indonesia mulai mengenal populisme agama dan sekuler yang dibentuk oleh capres dan cawapres. Setidaknya ada satu generasi yang tumbuh besar bersamanya. Generasi ini mengingat bagaimana perpecahan terjadi dan membentuk kubu-kubu masyarakat, bahkan dalam keluarga besar, demi mendukung elite politik yang mengaku paling agamis atau elite yang paling nasionalis. Meski belakangan populisme ini diobrak-abrik.
Sepuluh tahun dari sekarang, kira-kira citra apa yang akan menjadi definisi politik bangsa Indonesia? Narasi apa yang akan dimainkan oleh elite politik pada pemilu 2024 ini? Atau zaman akan berubah drastis sehingga kita punya generasi baru yang punya aspirasi politik berbeda?
Irma Garnesia adalah periset Project Multatuli yang tengah menempuh studi Master Media and Communication Science di Technische Universität Ilmenau, Jerman.
Artikel ini bersumber dari https://projectmultatuli.org/bagaimana-hoaks-menjadi-paten-dalam-citra-politik-indonesia/