Apakah itu Kota HAM? Kota HAM adalah kota yang menerapkan hak asasi manusia termasuk perempuan dan kelompok marginal untuk para penghuni kotanya


Istilah hak asasi manusia atau HAM tentu sudah akrab di telinga kita. Bagaimana dengan Kota HAM? Apa sebenarnya yang dimaksud dengan Kota HAM? Apa yang membuat sebuah kota layak disebut sebagai Kota HAM?
Kota Hak Asasi Manusia atau Kota HAM sebagai sebuah konsep sebenarnya sudah dikenal sejak lama. Namun implementasi dari konsep tersebut menjadi sebuah gerakan global yang meletakkan penghormatan, perlindungan dan pemenuhan hak asasi manusia oleh pemerintah daerah baru berlangsung pada satu dekade terakhir.

Di tingkat global, gerakan ini diprakarsai oleh pemerintah Kota Metropolitan Gwangju di Korea Selatan dengan menggelar Forum Kota HAM Sedunia sejak 2011. Gerakan global ini mendapatkan pengakuan dan dukungan dari PBB yang pada 2013 mengeluarkan Resolusi Dewan HAM PBB No. 24 tahun 2013 mengenai peran pemerintah daerah dalam penghormatan dan perlindungan HAM.

Apa itu Kota HAM?
Merujuk pada buku Panduan Kabupaten dan Kota Ramah Hak Asasi Manusia, gagasan tentang Kota HAM didasarkan pada pengakuan terhadap kota sebagai pemain kunci dalam pemajuan dan perlindungan hak asasi. Secara umum mengacu pada sebuah kota yang pemerintah dan penduduknya, secara moral dan hukum, diatur dengan prinsip-prinsip hak asasi manusia.

Konsep ini diluncurkan pada tahun 1997 oleh Gerakan Rakyat untuk Pendidikan HAM, sebuah organisasi internasional non profit yang bergerak di bidang pelayanan. Konsep ini dikembangkan lebih lanjut, terutama sebagai sebuah konsep normatif, oleh Forum Kota Hak Asasi Manusia Dunia yang berlangsung setiap tahun di kota Gwangju, Korea Selatan.

Sebenarnya tidak ada konsensus yang tetap mengenai definisi Kota HAM. Namun kita bisa belajar dari berbagai pengalaman baik yang menjadi rujukan masyarakat internasional. Seperti gambaran tentang kota HAM yang diuraikan oleh Gerakan masyarakat untuk pendidikan HAM yang menjadi salah satu motor dari advokasi Kota HAM.

“Kota atau komunitas yang terdiri dari mereka yang menginginkan kerangka kerja hak asasi manusia menjadi pengarah bagi pembangunan kehidupan komunitas. Persamaan dan nondiskriminasi merupakan nilai-nilai dasar. Berbagai upaya dilakukan untuk mengatasi rasa takut, dan pemiskinan. Sebuah kota yang memberi akses pada pangan, air bersih, perumahan, pendidikan, pelayanan kesehatan, dan pekerjaan yang cukup memenuhi kebutuhan hidup. Bukan sebagai hadiah melainkan sebagai bentuk realisasi hak asasi manusia,” (PDHRE, 2007).

Sementara Deklarasi Gwangju tentang Kota Hak Asasi Manusia yang disahkan pada tanggal 17 Mei 2011 mendefinisikan kota HAM sebagai sebuah komunitas lokal maupun proses sosial politik dalam konteks lokal. HAM memainkan peran kunci sebagai nilai-nilai fundamental dan prinsip-prinsip panduan. Konsep kota HAM juga menekankan pentingnya memastikan partisipasi luas dari semua aktor dan pemangku kepentingan, terutama kelompok marginal dan rentan.

Dalam konteks Indonesia, pengembangan konsep kota HAM dirintis oleh INFID bersama Komnas HAM dan ELSAM. Lembaga tersebut melakukan advokasi pelembagaan konsep kota HAM dengan menggandeng pemerintah pusat dan daerah untuk memastikan pemenuhan kewajiban HAM oleh pemerintah kabupaten atau kota sebagai unit pemerintahan yang paling dekat dengan warga.

Selanjutnya sejak 2014 berlangsung Konferensi Pengarusutamaan Kabupaten/Kota HAM. Kegiatan ini merupakan forum untuk bersilaturahmi, bertukar pengetahuan, ide, dan berbagi pengalaman tentang praktik-praktik nyata yang telah berhasil diterapkan dalam membangun kabupaten/kota yang selaras dengan nilai-nilai HAM. Agenda tahunan ini diselenggarakan oleh Komnas HAM, INFID, dan Kantor Staf Presiden (KSP).

Kota HAM Melindungi Kelompok Rentan yang Inklusif Harus Libatkan Penyandang Disabilitas
Penyandang disabilitas adalah mereka yang memiliki keterbatasan fisik atau sensorik atau intelektual atau mental dalam jangka waktu yang lama dan karena keterbatasannya itu menimbulkan hambatan dalam berinteraksi dengan masyarakat dan kesulitan untuk berpartisipasi secara penuh. Karenanya diperlukan adanya akomodasi dan aksesibilitas agar penyandang disabilitas dapat berpartisipasi secara penuh seperti masyarakat lainnya yang tanpa disabilitas.

Aksesibilitas harus dibangun sesuai dengan kebutuhan penyandang disabilitas. Sehingga aksesibilitas seharusnya membuat para penyandang disabilitas bisa menikmati pembangunan, dan segala fasilitas, termasuk sarana dan prasarana publik yang ada di kota.
Namun sayangnya yang sering terjadi adalah sekalipun sudah tersedia fasilitas bagi penyandang disabilitas tetapi fasilitas tersebut tidak dapat digunakan dengan baik. Misalnya sudah tersedia guiding block tetapi ternyata putus di tengah jalan atau justru menjadi tempat parkir motor atau gerobak dagangan sehingga membuat teman-teman disabilitas yang menggunakan jalur tersebut menjadi terganggu atau tidak nyaman.

Begitu juga dengan tangga. Ada tangga tetapi curam sehingga teman-teman disabilitas pengguna kursi roda membutuhkan bantuan orang lain untuk melewati ram tersebut.

Lalu akomodasi yang layak. Akomodasi yang layak itu harus disesuaikan dengan kebutuhan penyandang disabilitas yang beragam karena setiap penyandang disabilitas mempunyai latar yang berbeda. Bagi Mahreta misalnya, sebagai tuna netra sejak kecil dia merasa cocok dengan braille. Tetapi bagi mereka yang baru menjadi tuna netra setelah dewasa, mungkin tidak terlalu clear dengan braille, jadi mereka lebih cocok dengan screen reader, dsb.

Pada dasarnya penyandang disabilitas adalah bentuk dari keragaman yang ada. Sama seperti tinggi badan, warna kulit, dan bentuk rambut yang beragam, penyandang disabilitas juga demikian. Ada penyandang disabilitas yang berjalan dengan menggunakan kursi roda atau alat bantu, ada yang melihat dengan menggunakan screen reader ataupun perabaan, ada juga yang berkomunikasi dengan bahasa isyarat.

Soal keragaman kebutuhan penyandang disabilitas ini juga tidak selalu bisa dijawab oleh teknologi karena ada faktor lain yang menghambat. Sebagai seorang disabilitas ganda, pengguna alat bantu dengar di telinga kiri kanan, ia tidak bisa mengakses komunikasi dengan baik pada saat tidak bisa melihat gerak bibir. Sementara pandemi membuat orang menggunakan masker ketika berkomunikasi. Banyak penyandang disabilitas menggunakan live transcript, aplikasi di handphone untuk mengubah suara menjadi tulisan. Tetapi aplikasi selalu bermasalah pada saat sound system bergema. Begitu juga alat bantu dengar yang ia gunakan, menjadi tidak berfungsi dengan baik jika ada gema.

Contoh lain, banyak masyarakat yang berpikir bahwa untuk penyandang disabilitas tuli yang dibutuhkan adalah bahasa isyarat. Ketika sudah ada juru bahasa isyarat artinya sudah selesai padahal tidak demikian karena disabilitas tuli juga beragam.
Begitu juga dengan penyandang disabilitas yang memiliki hambatan pemusatan perhatian atau hambatan untuk menangkap informasi. Ketika melihat orang berbicara di layar, ia akan terbantu jika ada teks. Sayangnya fasilitas running text tidak selalu tersedia.

Selain itu desain kota yang smart sering kali juga meninggalkan penyandang disabilitas. Teknologi yang digunakan sangat tinggi tetapi hal-hal sederhana yang bisa dimasukkan dalam teknologi agar penyandang disabilitas bisa mengakses itu tidak dilakukan. Untuk itu menurut Dante proses pembangunan kota harus melibatkan penyandang disabilitas.

Hal lain yang juga penting adalah memutus stigma terhadap penyandang disabilitas. Dante menuturkan pelanggaran HAM dan kekerasan terjadi karena stigma terhadap penyandang disabilitas masih tinggi. Karena itu Kementerian Keagamaan bisa memberikan layanan untuk memutus stigma. Misalnya dengan memberikan pesan-pesan kepada calon pengantin jika nanti punya anak bisa jadi anaknya disabilitas, bisa jadi anaknya berteman dengan anak lain yang disabilitas, dll. Artinya pemahaman atau perspektif kita terhadap penyandang disabilitas harus ditumbuhkan.

Artikel ini bersumber dari https://www.konde.co/2023/04/apa-itu-kota-ham-sudahkah-warga-minoritas-jadi-bagian-dari-kota-ham.html/ 
 

Submission Agreement

Terimakasih atas  ketertarikan Anda untuk mengirimkan artikel ke BaKTINews. Dengan menyetujui pernyataan ini, Anda memberikan izin kepada BaKTINews untuk mengedit dan mempublikasikan artikel Anda di situs web dan situs afiliasinya, dan dalam bentuk publikasi lainnya.
Redaksi BaKTINews tidak memberikan imbalan kepada penulis untuk setiap artikel yang dimuat.  Redaksi akan mempromosikan artikel Anda melalui situs kami dan saluran media sosial kami.
Dengan mengirimkan artikel Anda ke BaKTINews dan menandatangani kesepakatan ini, Anda menegaskan bahwa artikel Anda adalah asli hasil karya Anda, bahwa Anda memiliki hak cipta atas artikel ini, bahwa tidak ada orang lain yang memiliki hak untuk ini, dan bahwa konten Artikel Anda tidak mencemarkan nama baik atau melanggar hak, hak cipta, merek dagang, privasi, atau reputasi pihak ketiga mana pun.

Anda menegaskan bahwa Anda setidaknya berusia 18 tahun dan kemampuan untuk masuk ke dalam kesepakatan ini, atau bahwa Anda adalah orang tua atau wali sah dari anak di bawah umur yang menyerahkan artikel.
 
Satu file saja.
batasnya 24 MB.
Jenis yang diizinkan: txt, rtf, pdf, doc, docx, odt, ppt, pptx, odp, xls, xlsx, ods.