Mendampingi orang difabel yang menjadi korban kasus kekerasan membutuhkan pengetahuan dasar mengenai disabilitas dan prinsip-prinsip inklusif dalam penanganannya. Saya akan memulainya dengan sebuah cerita saat mendampingi seorang siswi netra yang mendapatkan perlakuan kekerasan verbal ketika mendaftarkan dirinya di sekolah negeri.
Cerita ini bermula di tahun 2018, Nabila, gadis buta berusia 15 tahun bertekad melanjutkan pendidikan di SMA reguler. Ia merasa telah cukup menempuh jenjang sekolah menengah pertama di Sekolah Luar Biasa. Ia mendaftar ke SMAN 11 Makassar dan lulus. Namun mengetahui Nabila adalah seorang Difabel Netra, kelulusannya ditangguhkan. Pihak sekolah beranggapan ia tidak akan mampu mengikuti pelajaran karena kebutaannya. Mereka juga khawatir keberadaan Nabila justru mengganggu siswa-siswi lainnya dalam proses belajar.
Tidak mudah menyerah, Nabila meminta tim Advokasi Pergerakan Difabel Indonesia untuk Kesetaraan (PerDIK) untuk mendampinginya. Bersama-sama, mereka menemui Kepala Sekolah SMAN 11 untuk meminta dan memberikan penjelasan terkait penolakan tersebut. Kepala sekolah memberikan respons positif terhadap diskusi yang dilakukan. Namun sayangnya beberapa guru justru sebaliknya. Mereka menganggap bahwa sekolah tersebut bukanlah tempat bagi anak buta seperti Nabila. Selain karena guru-guru yang tidak memiliki kemampuan khusus mengajar siswa difabel, fasilitas sekolah juga tidak memadai untuk itu.
Nur Syarif Ramadhan yang saat itu mendampingi Nabila, menunjukkan alat (seperti HP bicara) dan aplikasi yang dapat mendukung siswa netra dalam belajar. Syarif yang juga seorang netra juga menceritakan bagaimana ia menggunakan peralatan tersebut dalam studinya dan dalam pekerjaannya di bidang advokasi bagi hak orang difabel.
Sayangnya, pengalaman itu tidak membuat guru-guru percaya pada kemampuan difabel dalam proses belajar mengajar. Mereka tetap menganggap sekolah luar biasa adalah sekolah terbaik bagi difabel. Asumsi bahwa belajar artinya menulis dengan pena dan membaca dengan mata masih sangat kuat. Diskusi menemui jalan buntu.
Advokasi kedua dilakukan, meski kini dengan cara yang sedikit lebih tegas. PerDIK menunjukkan posisinya dalam mendukung Nabila untuk bersekolah di SMAN 11 Makassar dan meyakini kemampuannya mengikuti pelajaran. Kritikan ditujukan kepada pihak sekolah melalui media, diskusi terkait Pendidikan Inklusi dilaksanakan dengan berbagai pihak dan audiensi dengan kepala dinas pendidikan kala itu menjadi jalan-jalan yang ditempuh untuk membuka pemahaman terkait hak semua orang dalam pendidikan tanpa terkecuali. Kritikan yang akhirnya menjadi sorotan bagi pihak sekolah sehingga memutuskan menerima Nabila dengan syarat ia harus mampu menunjukkan kemampuannya dalam mengikuti pelajaran selama tiga bulan pertama.
Di sekolah, Nabila menghadapi pertarungan lain dengan berbagai hambatan di dalam lingkungan pembelajaran. Sepanjang tahun, Nabila disibukkan berjuang membuktikan diri kepada guru-guru dan teman-teman sekolahnya. Nabila bertekad untuk tidak dianggap ‘tak terlihat’ oleh yang lain. Ia mengerjakan tugas dari guru-gurunya dengan berbagai macam cara seperti mengetik lalu mencetaknya atau dengan menghafal materi di depan guru. Beberapa guru menerima, namun ada juga yang menolak dan memintanya tetap menggunakan pena, misalnya untuk tugas menggambar atau matematika.
Saat-saat seperti itulah dimulai perjuangan Nabila untuk dirinya sendiri. Meski sudah menjelaskan panjang lebar mengenai beragam aplikasi pembaca layar (JAWS, Voice over) yang digunakan difabel netra untuk membantu mereka dalam belajar dengan media HP, komputer atau laptop, namun ada kala nya advokasi itu menemui jalan buntu. Sehingga Nabila tetap membutuhkan bantuan orang lain dalam menulis atau menggambar di atas kertas putih untuk diserahkan sebagai tugas. Tentu saja ini membuat peran Nabila sebagai pelajar sedikit berkurang.
Advokasi dengan kekuatan diri sendiri terus Nabila lakukan setiap hari. Nabila juga menunjukkan bagaimana ia belajar, mengerjakan tugas dan berinteraksi dengan temannya di sekolah. Nabila bahkan membuktikan prestasinya di luar sekolah yang membuat sekolahnya bangga. Pelan tapi pasti, perspektif baru mengenai orang difabel mulai terbentuk.
Guru-guru mulai memahami kemampuan siswanya dengan menyaksikan langsung perjuangan Nabila. Tiga tahun bersekolah di SMAN 11, Nabila akhirnya lulus dan melanjutkan pendidikannya dengan mengambil jurusan Ilmu Politik di Universitas Hasanuddin. Hal yang wajar bagi setiap siswa SMA untuk melanjutkan pendidikannya ke jenjang perkuliahan. Perjalanan Nabila membuat perjalanannya menempuh pendidikan jadi lebih istimewa. Ia membuktikan kalau ia mampu bertahan bahkan berprestasi di tengah-tengah sikap prasangka dan diskriminasi di lingkungan sekolah.
Cara Pandang Disabilitas
Memahami orang difabel secara benar dapat dilakukan dengan menggunakan model-model disabilitas yang memberikan cara pandang terhadap kompleksitas dan sejarah disabilitas. Secara singkat, model-model yang dimaksud adalah sebagai berikut.
Pertama, model individual, merupakan cara pandang yang memusatkan persoalan bertumpu pada diri difabel. Model individual terdiri dari: Pertama, disabilitas sebagai penyakit adalah cara pandang yang melihat disabilitas sebagai masalah medis pada diri seseorang. Hal ini disebabkan karena adanya kerusakan atau kegagalan sistem tubuh sehingga menyebabkan keabnormalan. Kedua, disabilitas sebagai korban adalah cara pandang yang melihat disabilitas sebagai seseorang yang menderita dan mengalami kemalangan. Sehingga patut dikasihani. Ketiga, disabilitas sebagai balasan dari Tuhan adalah cara pandang yang melihat disabilitas sebagai akibat dari dosa difabel di masa lalu sehingga mendapatkan hukuman dari Tuhan.
Kedua, model sosial merupakan cara pandang yang memusatkan persoalan justru bertumpu pada aspek sosial. Bukan lagi pada individu disabilitasnya. Model sosial terdiri dari: Pertama, disabilitas sebagai fenomena konstruksi sosial adalah cara pandang yang melihat bahwa persoalan disabilitas diakibatkan oleh masyarakat. Kerap kali lingkungan sosial-lah yang menciptakan dan melanggengkan stigma atas orang difabel. Sehingga setiap solusi yang berarti harus diarahkan sebagai perubahan sosial. Disabilitas sebagai budaya sosial adalah cara pandang yang melihat bahwa kehidupan dengan disabilitas membentuk budaya tertentu yang menampilkan disabilitas sebagai identitas tertentu. Untuk dapat memahami disabilitas dan mencari jalan keluar atas persoalan yang dihadapinya, perlu memahami identitas tersebut.
Ketiga, model relasi, merupakan perpaduan antara pendekatan individual (khususnya medik, tubuh dan psikis) dengan pendekatan sosial yang menuntun kita untuk memahami keduanya sebagai satu totalitas yang dihadapi orang difabel. Pendekatan relasional disabilitas ini yang memandu dunia menuangkan prinsip-prinsip disabilitas ke dalam dokumen konvensi Hak-Hak Disabilitas atau dikenal dengan nama The United Nations Convention on the Rights of Persons with Disability (UNCRPD).
Dalam kasus Nabila, model sosial disabilitas merupakan cara pandang yang memungkinkan proses advokasi terhadapnya dapat terjadi dan menggeser pandangan berbasis individual yang membuat guru-guru menolak keinginan Nabila mengambil haknya atas pendidikan yang setara. Bahkan secara lebih kuat, kita bisa menggunakan UNCRPD untuk membuktikan bagaimana negara melalui sekolah melanggar hak seseorang untuk meraih pendidikan dengan kualitas terbaik. (Selesai)