Peneliti UGM menemukan tiga rintangan inklusi yang membuat perempuan kerap ditinggalkan dalam program-program pembangunan. Adakah jalan keluar?
Tak ada seorang pun yang tertinggal, demikian idealnya ketika prinsip inklusi dipakai dalam program pembangunan. Realitanya, Ibu N di Makassar justru semakin jauh dan terpinggirkan. Meski sehari-hari menyiapkan kebutuhan melaut dan mengelola hasil tangkapan suami, ia tidak diakui sebagai nelayan. Ia juga dianggap tak berhak mendapatkan Kartu Tanda Nelayan. Karenanya, N tidak dapat mengakses program pemberdayaan dan pinjaman dana untuk nelayan.
Sebelas dua belas dengan Ibu N, Ibu B yang sempat menjadi komandan satuan tentara dalam Gerakan Aceh Merdeka, tidak masuk dalam daftar penerima bantuan pasca Perjanjian Helsinki. Ia pun sempat tidak masuk dalam daftar keluarga penerima bantuan lain, mengingat tidak lagi bersuami dan memiliki ayah. Ketika akhirnya menerima bantuan, bentuknya adalah kain baju. Padahal yang utama dibutuhkannya adalah penanganan trauma kekerasan seksual dan modal usaha.
Mengapa kebijakan, program, dan bantuan pembangunan hingga hari ini belum dapat memuliakan kehidupan semua orang, termasuk perempuan, meski sudah bertajuk inklusi? Adakah jalan keluar?
Mencoba menjawab pertanyaan di atas, tim peneliti Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Gadjah Mada (FISIPOL UGM) melakukan analisis GEDSI (gender equality, disability, and social inclusion) di tiga provinsi, yaitu Aceh, DI Yogyakarta, dan Sulawesi Selatan. Berdasarkan wawancara terstruktur dengan 83 narasumber, diskusi kelompok, dan analisis konten media massa, ditemukan tiga tantangan besar dalam kerja-kerja inklusi.
Yang Dieksklusi, yang Harus Menginklusi
Pertama, eksklusi sering dipandang sebagai akibat dari ketidakmampuan individu di kelompok minoritas, alih-alih ketidakmauan sistem atau lembaga yang didominasi mayoritas untuk menginklusi. Dalam kasus di atas, Ibu N tereksklusi karena dianggap tidak mampu bekerja sekeras nelayan laki-laki, sedangkan Ibu B tereksklusi karena dianggap tidak mampu menjalankan peran kombatan dan kepala keluarga sebagaimana para laki-laki. Di sini, cara pandang “salah perempuan itu sendiri, mengambil peran laki-laki” lebih dominan daripada cara pandang “ada yang salah dari sistem ini, sehingga ada individu yang dirugikan.”
Akibatnya, beban inklusi lebih berat ditimpakan kepada individu yang tereksklusi, bukan kepada sistem yang mengeksklusinya. Individu inilah yang diharapkan melakukan capacity building, membuat coping mechanism, dan menjadi champion, bukan sistemnya yang dituntut berubah. Inisiatif di kalangan pemerintah dan kelompok mayoritas guna mendorong inklusi pun cenderung dilihat sebagai bentuk “kebaikan”, bukan “kewajiban” mereka terhadap sesama warga. Emosi yang mendasarinya adalah “kasihan” terhadap kekurangan individu lain, bukannya “ikut marah” karena kerugian yang disebabkan oleh sistem.
Tak heran, model inklusi yang jamak ditemukan adalah yang “nyaman” bagi negara dan kelompok mayoritas, atau inclusion on the majority’s term. Contohnya, meski fasilitas umum ramah disabilitas banyak dibangun di berbagai kota di Indonesia, kemanfaatannya tidak optimum. Mulai dari ubin taktil yang justru mengarahkan disabilitas netra menabrak tiang listrik atau terperosok lubang galian, ram yang sudut kemiringannya justru menyulitkan atau membahayakan pengguna kursi roda, hingga standar kurikulum Sekolah Luar Biasa (SLB) yang lebih rendah dari sekolah pada umumnya, sehingga teman-teman disabilitas justru lebih sulit bersaing mencari lapangan kerja yang memungkinkan mereka hidup mandiri.
Redistribusi dan Representasi, Tanpa Rekognisi Bermakna
FISIPOL UGM mendudukkan inklusi sebagai proyek kewargaan. Di sini, inklusi sebagai upaya pemenuhan hak-hak kewargaan, yang dilakukan melalui pengakuan status kelompok marginal sebagai manusia yang utuh dan warga negara yang setara (rekognisi), penyetaraan akses terhadap layanan dasar dan sumber daya ekonomi (redistribusi), serta peningkatan keterwakilan mereka dalam proses pembuatan keputusan (representasi).
Dalam hal redistribusi, pemerintah dan masyarakat telah melakukan aneka inisiatif guna memastikan pemerataan akses pembuatan surat kependudukan, kesempatan pendidikan, layanan kesehatan, fasilitas ramah disabilitas, serta bantuan sosial untuk keluarga miskin. Begitu juga dalam hal representasi.
Selain aneka inisiatif memenuhi kuota 30 persen perempuan di lembaga-lembaga eksekutif dan legislatif, ada upaya mengundang wakil dari kelompok-kelompok perempuan, pemuda, disabilitas, adat, dan sebagainya, dalam forum-forum konsultasi maupun pengambilan keputusan. Lalu di mana masalahnya?
Banyak inisiatif redistribusi dan representasi tidak didasarkan pada rekognisi yang bermakna. Bantuan kain baju (redistribusi) yang diterima Ibu B misalnya, tidak didasarkan pada pengakuan akan kesetaraan perannya dengan kombatan dan kepala keluarga laki-laki, maupun pengakuan akan kebutuhannya untuk sintas dari kekerasan seksual di tengah perang maupun di ranah domestik.
Pun, undangan rapat desa (representasi) yang diterima Ibu N, tidak didasarkan pada pengakuan bahwa suara dia sama pentingnya dengan para laki-laki di desanya. Di sini, aparat desa tidak melihat ada yang salah dengan menyelenggarakan rapat desa di malam hari, pun para laki-laki tidak merasa perlu mengambil alih peran domestik para perempuan di malam hari, supaya Ibu N dan perempuan lain dapat berpartisipasi dalam rapat desa.
Abai terhadap Interseksionalitas
Penting diingat, eksklusi dialami oleh individu yang berbeda dengan cara yang berbeda, sesuai irisan aneka identitasnya sekaligus, termasuk gender, ras, etnisitas, agama, disabilitas, usia, kelas sosial, dan sebagainya. Dengan kata lain, tidak semua perempuan merasakan pembatasan yang sama. Tak semua kawan-kawan disabilitas mengalami diskriminasi serupa. Tidak semua penghayat kepercayaan dipinggirkan dengan cara yang sama. Tidak semua orang miskin menerima bentuk marginalisasi yang sama. Pun, tak semua mantan kombatan merasakan trauma yang sama, dan seterusnya.
Dalam hal kekerasan seksual misalnya, perempuan cenderung lebih rentan daripada laki-laki. Akan tetapi, bentuk dan tingkat kerentanan perempuan yang satu berbeda dengan perempuan lainnya, tergantung irisan identitas keperempuanannya dengan identitas lain. Penelitian kami menunjukkan, perempuan disabilitas bisu dan psikososial sangat rentan menerima pelecehan dari anggota keluarga atau pengurus asrama, mengingat ketergantungan mereka yang tinggi terhadap caregiver dan sulitnya kesaksian mereka diterima secara serius di muka hukum.
Guna memenuhi kebutuhan ekonomi keluarga, Ibu N dan perempuan nelayan lain terkadang bekerja serabutan membantu di toko atau keluarga lain. Ini membuat mereka terpapar pada pelecehan seksual oleh yang mempekerjakan mereka.
Saat perang GAM-RI, Ibu B dan perempuan Aceh lain rentan menerima kekerasan seksual sebagai strategi dari aparat keamanan maupun sebagai pelampiasan post traumatic stress disorder dari keluarga mereka.
Saat terjadi kerusuhan di beberapa kota besar di Indonesia pada akhir 1990-an, perempuan Tionghoa kelas pekerja rentan terhadap pemerkosaan. Adapun remaja perempuan di Yogyakarta rentan mengalami kekerasan seksual dalam konteks pernikahan dini, terutama menyusul kehamilan yang tidak diinginkan.
Di sinilah pentingnya menggunakan lensa interseksionalitas (Crenshaw 1989). Secara harfiah, istilah ini diturunkan dari kata “intersect” (irisan) dan “intersection” (persimpangan). Lensa ini mengingatkan kita, karena eksklusi dialami oleh individu secara interseksional, maka kerja inklusi tidak dapat dilakukan secara sektoral.
Menerbitkan Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual, menyalurkan modal usaha kepada perempuan, memastikan remaja putri tidak putus sekolah saja tidak cukup. Sebab, masing-masing cenderung menyasar satu kelompok identitas, tanpa memperhatikan irisan identitas tersebut dengan yang lain. Jangankan mengurai kerumitan persoalan yang ada, pendekatan sektoral bahkan berpeluang mengeksklusi beberapa pihak berdasarkan irisan identitas yang dimilikinya.
Sumber:
https://magdalene.co/story/hambatan-inklusi-perempuan/