Industri persutraan alam memiliki tahapan produksi berjenjang sebelum tiba di tangan konsumen. Bermula dari budi daya murbei, ulat sutra di sektor hulu, dilanjutkan dengan sektor manufaktur dengan kegiatan inti adalah pemintalan dan penenunan. Proses pemintalan benang dilakukan melalui rangkaian aktivitas penting seperti memasak kokon, memintal benang dan lainnya. Situasi sektor manufaktur tak kalah memprihatinkannya. Hasil kajian kolaborasi rantai nilai komoditas sutra Sulawesi Selatan oleh BAPPELITBANGDA provinsi bersama BaKTI, LSM Payopayo dengan dukungan Knowledge Sector Initiative (KSI) kerja sama BAPPENAS dan Pemerintah Australia, mengungkap realitas terkini.
Sektor manufaktur dengan kegiatan inti pemintalan dan penenunan memiliki masalahnya masing-masing. Kualitas benang sutra Sulawesi Selatan, yang dihasilkan dari pemintalan rakyat kian sulit mengejar kebutuhan pasar, yang menginginkan produk sutra berkualitas. Indikasinya, benangnya pendek, tidak rata dan mudah putus. Beragam faktor berpengaruh, pertama adalah kualitas bahan baku (kokon) warisan dari sektor hulu, kualitasnya rendah, kuantitasnya terbatas. Inilah masalah utama yang dihadapi pemintal. Pada sektor manufaktur sendiri, masalah utamanya adalah alat pemintal yang masih tradisional, pemintalan milik rakyat belum menyesuaikan dengan standar kebutuhan industri tekstil. Sejak dulu sekali, sampai sekarang, satu-satunya sentuhan teknologi yang membanggakan adalah proses penarikan benang dari kokon ke dalam gulungan benang menggunakan dinamo listrik berkapasitas 100 VA, sebelumnya ditarik manual menggunakan alat seadanya. Di kabupaten Soppeng, sudah ada 18 unit mesin reeling atau pemintal, bantuan pemerintah. Mesin reeling mempermudah proses, namun tidak merubah kualitas benang.
Pemintalan semi otomatis milik UPT Tekstil Pemerintah Provinsi, dan milik UPTD Persutraan Dinas Perindustrian Kabupaten Wajo, dan mesin pemintal milik PT. Perhutani tidak lagi beroperasi, karena ketiadaan bahan baku yaitu kokon.
Faktor lain yang berpengaruh terhadap kualitas benang adalah proses penarikan benang dari kokon. Tahapan ini sangat penting, memerlukan teknik dan keterampilan khusus. Kesalahan menarik ujung serat benang dapat menyebabkan benang sutra sulit terurai dan putus. Setelah ujung benang ditemukan, serat benang dikaitkan pada alat peluncur dan haspel (alat penggulung benang yang terbuat dari pipa paralon berukuran 3 inci sepanjang 10 cm), setelah itu mesin reeling akan menarik serat benang hingga kulit kokon hanya menyisakan pupa (ulat dalam kokon). Apabila selama prosesnya ada benang yang putus, ujung benang harus disambung kembali dan melanjutkan pemintalan. Ciri benang berkualitas, serat benang kokon yang dipintal tidak pernah putus. Praktiknya pada usaha pemintalan rakyat, frekuensi putus benang dalam satu kokon antara 10-100 atau lebih. Produksi benang yang dihasilkan tenaga reeling dalam satu hari (sekitar 8 jam) berkisar 1,25 kg benang (raw silk), namun bisa kurang jika benang yang dipintal sering putus. Keseluruhan proses pemintalan sepenuhnya dilakukan oleh perempuan.
Inilah tantangan pada aspek pemintalan. Untuk meningkatkan kualitas benang, pilihannya adalah menata sektor hulu, untuk menghasilkan kokon berkualitas, dan dukungan alat pemintal otomatis yang sesuai standar industri. Dinas Perindustrian Provinsi Sulawesi Selatan, telah meresponsnya, dengan program pengadaan mesin pintal modern otomatis berkapasitas 200 mata pintal di Kabupaten Wajo, dan mesin pintal semi otomatis berkapasitas 80 mata pintal untuk Kabupaten Soppeng. Pengadaan mesin dialokasikan melalui APBD provinsi tahun 2021. “Satu kebutuhan sudah terjawab”, demikian H. Ahmadi Akil, MM, Kepala Dinas Perindustrian Sulawesi Selatan, merespons rekomendasi hasil kajian pada pertemuan tindak lanjut yang dilaksanakan di kantor BAPPELITBANGDA Sulawesi bersama OPD terkait di provinsi, dan tim pelaksana kajian pada awal Maret 2021.
Impor Benang
Produksi benang Sutra Sulawesi Selatan kualitasnya rendah, kuantitasnyapun terbatas, belum bisa diandalkan menopang kelangsungan industri sutra di Sulawesi Selatan. Upaya melanjutkan tenun sebagai industri dan aktivitas tradisi, oleh pengusaha tenun Wajo memilih impor dengan benang sutra asli, atau sejenis vicecose atau poliester, untuk menutup kebutuhan benang. Sayangnya, tidak ditemukan data benang impor dan kualifikasinya yang dipasok ke Sulawesi Selatan setiap tahunnya. Pastinya, produksi benang sutra Sulawesi Selatan belum layak digunakan untuk melengkapi satu dari dua jenis benang yang untuk industri tenun. Sederhananya, dalam industri tenun ada dua kategori benang, yaitu benang lusi dan benang pakan. Benang lusi, memanjang ke arah panjang kain, sementara benang pakan melintang ke arah lebar. Industri tenun membutuhkan keduanya. Untuk memenuhi kebutuhan benang lusi, pengusaha tenun terpaksa mengimpor, benang sutra lokal hanya cocok untuk benang pakan.
Penenun dan Tantangannya
Setidaknya ada dua aspek mencolok, temuan kajian ini, dinamika usaha dan sistemnya. Dinamika usaha antara lain adalah berkurangnya pesanan. Ini masalah besar bagi pengusaha tenun berskala kecil. Mereka sangat bergantung pada arus uang tunai yang cepat, menjadi pukulan dengan berkurangnya pesanan. Mengambil risiko memproduksi tanpa pesanan bukan yang baik. Harga bahan baku naik, harga jual produk tetap. Masalah ini juga dihadapi oleh pengusaha kecil yang menghadapi naiknya harga benang dengan mengurangi keuntungan. Bertambahnya saingan juga merupakan masalah sendiri. Penenun pekerja beralih menjadi mandiri. Pengusaha menyebabkan kehilangan tenaga kerja, dan menambah saingan baru. Terakhir adalah, plagiasi motif kain/sarung dalam industri tenun sutra. Namun pengusaha tidak bisa menindak pelakunya. Strategi menghadapinya adalah menjual motif yang sama dengan harga lebih rendah dari barang tiruannya.
Penenun dan Upah Rendah
Penenun, ada tiga kategorinya, penenun langganan, penenun pekerja, dan penenun mandiri. Penenun langganan bekerja di rumah sendiri, mengerjakan pesanan pengusaha sekaligus pemilik alat tenun bukan mesin (ATBM). Penenun bekerja adalah yang bekerja pada majikan, di tempat yang disediakan pengusaha, bahkan ada yang tinggal di rumah majikan. Penenun mandiri, tidak terikat pengusaha, banyak dilakoni para penenun yang memakai alat tenun tradisional (walida atau gedogan); sebagian penenun mandiri dengan ATBM. Penenun walida tidak ingin dikejar waktu oleh para pemesan, mereka akan menentukan durasi pengerjaan pesanan, mereka juga menentukan harga produk sendiri. Mereka melakukan seluruh proses penenunan setelah membeli benang sutra, sebagian mereka hanya mengerjakan kain sutra. Ketika penenun bola-bola-yang menerima pesanan dari atasan, pelan-pelan berpindah ke benang non-sutra, merekalah yang mempertahankan keberadaan tenun kain/sarung sutra asli. Mereka biasanya menenun selama satu sampai dua bulan untuk satu lembar sarung.
Inilah uniknya industri Sutra Sulawesi Selatan, dari hulu ke hilir, didominasi perempuan. Perempuan terlibat sejak di hulu, budidaya murbei dan pemeliharaan ulat. Pada sektor manufaktur hingga hilir, seluruh prosesnya dilakukan perempuan. Apalagi penenun, pasti perempuan, mereka mulai menenun tak lama setelah menyelesaikan sekolah. Di Kampung Sutra BNI, penenun berusia di atas 50 tahun umumnya hanya pernah bersekolah sampai SD, sebagian tamat dan sebagian lagi tidak. Profesi penenun sudah menjadi ‘budaya tradisional’ di Wajo. Praktik ini lazim yang dijalankan banyak anggota masyarakat, khusus perempuan, secara turun-temurun.
Realitasnya, penenun langganan dan penenun pekerja tidak mendapatkan hak-hak layaknya pekerja, sistem upah yang rendah. Upahnya dibayar berdasarkan pesanan, dengan kisaran 25 - 35 ribu rupiah per sarung, yang mereka kerjakan rerata 3 hari, apabila dikonversi dalam upah harian, jadinya 10 ribu rupiah per hari. Tidak perlu disandingkan dengan standar Upah Minimum Regional (UMR) Sulawesi Selatan, yang ditetapkan sebesar sekitar 2,8 juta rupiah per bulan pada tahun 2019. Walaupun di sisi lain mereka memiliki posisi tawar, bekerja atau tidak, menerima atau menolak order dari pengusaha, tentunya dengan konsekuensi tanpa pendapatan. ‘’Kebebasan hampa’’ penenun menempatkan perempuan sebagai korban ketidakadilan dalam hiruk pikuknya industri sutra. Berbanding terbalik dengan perannya yang sangat dominan dalam industri sutra dari hulu ke hilir. Situasi ini menunjukkan, belum adanya dukungan sistem kebijakan bagi pekerja di sektor tenun, yang merawat tradisi dan budaya Sulawesi Selatan.