Johann Friedrich Riedel, Zendeling besar dari Jerman itu, ketika pertama kali mengunjungi Tondano, pertama-tama yang mengesankan dia adalah sebuah danau yang indah. Danau Tondano. Itu pada tahun 1831.
“Di depan kami terbentang danau biru Tondano. Dikelilingi oleh pegunungan hijau di setiap pemandangan,” ungkap Riedel ketika pertama kali melihat danau itu. Reinhold Grundemann merekam pengalaman Riedel itu dalam bukunya Johann Friedrich Riedel: ein Lebensbild aus der Minahassa auf Celebes (Gütersloh: C. Bertelsmann) terbit tahun 1873.
Riedel tampaknya menggambarkan sebuah danau yang masih bersih dan alamiah. Alam sekitar berupa perbukitan dan pegununan yang hijau tentu menambah pesona danau ini ketika dilihat orang untuk pertama kalinya.
Kira-kira seratus tahun kemudian, 1930-an, danau Tondano relatif masih menampilkan keindahan yang sama. Danau Tondano identik dengan keseluruhan nama Tondano itu sendiri.
“Jika berada di Tondano tidak pergi ke danau Tondano, sulit mengatakan sudah mengunjungi tempat ini,” tulis koresponden De Indische Courant yang dimuat pada edisi terbitan 25 Mei 1937.
Danau Tondano, seperti ditulis sang koresponden, mudah dijangkau. Danau Tondano digambarkan secara indah dan segar. Bersepeda atau berjalan kaki di sekitar danau sungguh sebuah pengalaman yang menyenangkan.
“Seseorang dapat dengan mudah berjalan atau bersepeda di tempat ini. Di sepanjang pinggiran danau orang dapat melakukan perjalanan yang menyenangkan,” jelas sang koresponden.
Di masa itu tidak banyak terlihat orang-orang berperahu atau berenang di pinggiran danau. Orang-orang Minahasa kebanyakan tinggal di lereng-lereng gunung. Jika seseorang sedang melakukan perjalanan jauh yang melelahkan, dan singgah sebentar di tepi danau ini, pasti akan merasakan kelegaan. Orang seperti, “menemukan sepotong keindahan alam yang memenuhi harapan,” tulisnya.
Laporan ini menggambarkan kehidupan orang-orang Tondano di masa itu. Disebutkan, kebanyakan mereka tinggal di lereng-lereng gunung. Rumah-rumah mereka sangat sederhana. Pada sisi lain terhampar dataran yang luas. Di bagian tertentu terdapat sawah-sawah yang ditanami padi.
Selain Tomohon, menurut laporan si koresponden, Tondano layak untuk dijadikan tempat liburan. Terdapat sungai, alun-alun dan beberapa bangunan kantor pemerintah yang indah. Sebuah hotel yang dikelola oleh orang Eropa menjadi tempat penginapan bagi mereka yang melakukan kunjungan singkat atau yang sedang dalam perjalanan.
Satu abad sebelumnya, Tondano pernah hancur karena perang hebat pada tahun 1808-1809. Ini yang disebut Perang Tondano. Tidak lama setelah perang, Inggris datang menjajah wilayah ini. Pada tahun 1806, sebelum perang kapal Inggris sudah berlabuh di pelabuhan Manado.
Eceng Gondok Kini
Belum sampai 1 abad dari tahun 1930-an itu, kini danau Tondano dalam keadaan yang sangat memprihatinkan. Eceng gondok merajelala di danau ini. Tidak diketahui dengan pasti kapan pertama kali eceng gondok didatangkan dan bertumbuh di danau ini. Sebab, eceng gondok bukanlah tanaman asli di sini.
Sebuah literatur berbahasa Belanda yang ditulis K. Kemerlieng berjudul Leerboek der Plantkunde voor Nederlandsch-indie terbit tahun 1915 menjelaskan tentang jenis tanaman ini. Kemerlieng menulis, tanaman ini bukan asli Hindia Belanda atau nusantara. Asalnya dari Amerika Selatan tetapi dapat tumbuh subur di daerah tropis macam Indonesia.
Di Indonesia, menurut Kemerlieng ketika dibawa ke sini, ia hanya dibudidayakan di Lands Plantentuin te Buitenzorg atau Taman Botani di Bogor. Sebuah gambar eceng gondok ditampilkan di bukunya itu yang diberi keterangan 1894. Dari Bogor ia kemudian menyebar melalui sungai dan hidup subur di danau-danau.
Di masa Kemerlieng menerbitkan bukunya tahun 1915, eceng gondok sudah bertumbuh di beberapa tempat secara liar dan menjengkelkan. Daya tumbuh eceng gondok sangat tinggi. Cepat sekali berkembang biak. Di Australia, kata Kemerlieng, eceng gondok telah menjadi masalah.
Kalau dulu eceng gondok diperlakukan sebagai tanaman hias, di danau Tondano kini ia adalah masalah. Pendangkalan danau, dan kerusakan ekosistem berhubungan dengan keberadaan eceng gondok yang sulit terkendali.
Entah sejak kapan tepatnya eceng gondok telah menjadi salah satu penyebab pendangkalan atau pengecilan danau ini. Majalah Tempo edisi 9 Mei 1981 melaporkan meluapnya danau Tondano. Judul beritanya memberi kesan kontras dengan memori orang-orang Minahasa tentang Danau Tondano. “Danau Tondano Tak Lagi Cantik” demikian judul majalah itu.
Faktor penyebab meluapnya Danau Tondano di tahun 1981 itu yang disebutkan adalah pengundulan hutan. Eceng gondok belum disebutkan sebagai faktor penyebab. “Hutan di sebelah timur danau yang semula menghias Pegunungan Lembean, telah disulap oleh penduduk Kecamatan Eris dan Kombi menjadi perkebunan cengkih. Hutan-hutan di Gunung Tampusu dan Lengkoan di sebelah barat danau juga nyaris punah,” tulis Tempo.
Pencemaran sungai Tondano juga sudah disebutkan sebagai salah satu masalah waktu itu. Sejak pertengahan tahun 1970, disebutkan Tempo berdasarkan wawancaranya dengan penjaga pintu air PLTA, sungai danau Tondano telah dicemari oleh sampah-sampah rumah tangga. Selain sampah-sampah rumah tangga, longsor dari Gunung Tampusu dan Lembean yang terjadi setiap musim hujan disebut sebagai penyebab endapan lumpur yang mencapai sekitar 2 meter.
“Danau Tondano kini bukan lagi danau yang cantik dan jinak. Tidak pula menjadi kebanggaan sebagaimana disebut dalam lagu-lagu rakyat Minahasa. Dulu danau ini menghasilkan ikan mujair dan payangka,” tulis Tempo di tahun 1981 itu.
Euthalia Hanggari Sittadewi dalam penelitiannya tahun 2008 menemukan bahwa luas perairan danau Tondano, jika musim kemarau 46 km2, pada penghujan 51 km2. Luas keliling, dalam kondisi normal mencapai kurang lebih 35,5 km. Pendangkalan terus terjadi di danau ini. Pada tahun 1934 kedalamannya mencapai 40 meter, tahun 1974 kedalamannya 28 meter. Tahun 1983 27 meter; tahun 1992 16 meter, dan tahun 1996 kedalaman danau 15 meter.
Sittadewi menjelaskan, pertumbuhan eceng gondok yang sangat cepat telah menutupi lebih kurang 20% dari luasan danau yang terkonsentrasi di daerah sekitar pemukiman penduduk dan perikanan tancap. Eceng gondok, tanaman lain serta fauna yang mati akan menjadi sedimen, makin lama makin stabil dan menjadi padat. Jika hal tersebut diatas tidak dikendalikan, maka kondisi trofik Danau Tondano akan segera mencapai distrofik atau kehilangan ekosistem danau (suksesi ekosistem danau),” jelas Sittadewi.
Penelitian lain menyebutkan, tahun 2006 luas sebaran eceng gondok 130,77 hektar atau 2,82%. Pada tahun 2011 meningkat menjadi 292,66 hektar atau 6,32%. Itu berarti selama periode 2006-2011 luas sebaran eceng gondok meningkat 161,89 ha dengan pertumbuhan tahunan rata-rata 32,38 hektar.
Dari 840 danau di Indonesia, 15 di antaranya dalam keadaan memprihatinkan. Dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2015-2019, terdapat 15 danau prioritas di Indonesia yang memerlukan pengawasan karena kerusakannya yang cukup parah. Salah satu Salah satunya adalah Danau Tondano.
Tahun 2009, Kementerian Lingkungan Hidup melaporkan, sejumlah danau dan waduk di Indonesia yang telah ditumbuhi oleh eceng gondok dan telah menimbulkan masalah. Di antaranya Danau Rawa Pening, Danau Toba, Danau Kerinci, Danau Limboto, Danau Tempe, Danau Tondano, Danau Sentani, Waduk Saguling, Wadukdan Bendung Curug.
Sejak zaman kolonial sungai Tondano telah dimanfaatkan untuk penyediaan listrik. Air sungai ini menggerakkan turbin-turbin PLTA. Namun dahsyatnya pertumbuhan eceng gondok memberi dampak kurang baik bagi PLTA. “Saat ini kehadiran eceng gondok telah menimbulkan gangguan pada kegiatan PLTA serta lalu lintas danau. Untuk kestabilan kegiatan PLTA, sekitar 40 kubik eceng gondok harus dikeluarkan dari Danau Tondano setiap hari,” ungkap J. Nebath K dalam laporan penelitiannya berjudul “Kelimpahan Tumbuhan Akuatik di Danau Tondano” yang dipublikasikan Oktober 2008.
Telah banyak upaya yang dilakukan oleh pemerintah dan kelompok- kelompok masyarakat untuk mengatasi penyebarluasan eceng gondok di Danau Tondano. Penelitian juga sudah banyak sekali. Baik hasilnya adalah rekomendasi cara mengatasi pertumbuhan atau bahkan usulan pemanfaatan eceng gondok sebagai alternatif menyelamatkan Danau Tondano dari pendangkalan atau kerusakan yang lebih parah. Namun tampaknya belum banyak hasil yang menggembirakan.
Artikel ini telah dimuat di: https://kelung.com/riwayat-danau-tondano-dulu-dan-kini/