Di dalam Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak, dengan tegas mengatur bahwa Anak adalah seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan. Perlindungan Anak adalah segala kegiatan untuk menjamin dan melindungi Anak dan hak-haknya agar dapat hidup, tumbuh, berkembang, dan berpartisipasi secara optimal sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi. Hak Anak adalah bagian dari hak asasi manusia yang wajib dijamin, dilindungi, dan dipenuhi oleh orang tua, keluarga, masyarakat, negara, pemerintah, dan pemerintah daerah.
Salah satunya adalah hak atas pendidikan, karena banyak anak yang telah menikah akan mengalami putus sekolah, dan hal ini dapat menyebabkan semakin sempitnya peluang bagi perempuan muda untuk memperbaiki kesejahteraannya. Dalam Undang-Undang Perlindungan Anak, usia layak menikah adalah di atas 18 tahun. Bahkan dalam Undang-Undang tersebut, pada pasal 26 ayat 1 bagian c, menegaskan salah satu tanggung jawab orang tua adalah: mencegah terjadinya perkawinan pada usia anak. Hal tersebut didasarkan dengan mempertimbangkan aspek psikologis, kesehatan, mental dan kesiapan ekonomi.
Undang-Undang Perlindungan Anak tidak didukung oleh keberadaan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan yang telah ada jauh sebelumnya, dimana dalam Undang-Undang Perkawinan batas usia menikah bagi perempuan adalah 16 tahun. Bahkan Undang-Undang Perkawinan memberi peluang untuk adanya mengajukan permohonan dispensasi nikah bagi anak yang akan menikah dibawah usia 16 tahun. Dalam realitasnya, Hakim Pengadilan Agama mengabulkan permohonan dispensasi nikah pada umumnya dengan dasar menghindari zinah.
Kondisi ini diperparah dengan tidak adanya aturan yang lebih jelas tentang batasan pemberian dispensasi bagi hakim pengadilan agama dalam memproses dan memutus permohonan dispensasi. Sehingga hakim pengadilan agama sebagai otoritas pemberi dispensasi tidak memiliki panduan dalam batas usia dispensasi, terkait persyaratan permohonan, pertimbangan dalam memberikan dispensasi dan pembuktian permohonan dispensasi.
Upaya untuk mencegah perkawinan anak terus dilakukan oleh berbagai pihak baik pemerintah maupun non pemerintah, diantaranya oleh Koalisi 18+ (delapan belas plus), yang mengajukan Permohonan Pengujian Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan terhadap UUD Negara RI Tahun 1945 ke Mahkamah Konstitusi, dimana Putusan MA Nomor 22/PUU-XV/2017 mengabulkan permohonan tersebut sebagian yaitu menyatakan pasal 7 ayat (1) usia 16 tahun Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat. Selain itu Putusan MA ini juga memerintahkan kepada pembentuk undang-undang untuk daam jangka waktu paling lama tiga tahun melakukan perubahan terhadap Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, berkenaan dengan batas minimal usia perkawinan bagi perempuan.
Tujuan Pembangunan Berkelanjutan
Diskursus tentang perkawinan anak semakin mengemuka dalam beberapa tahun terakhir dimana setelah tujuan pembangunan milinium berakhir pada tahun 2014. Perserikatan Bangsa-Bangsa merekomendasikan target khusus dalam Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (TPB) atau Sustainable Development Goals (SDGs) untuk menghapus perkawinan anak. Upaya untuk menghapus perkawinan anak merupakan respon terhadap semakin banyaknya bukti yang menunjukkan besarnya skala dan cakupan permasalahan tersebut.
Di dalam Metadata TPB/SDGs pada Tujuan 3 yaitu Menjamin Kehidupan yang Sehat dan Meningkatkan Kesejahteraan Seluruh Penduduk pada Semua Usia, target pertamanya adalah pada tahun 2030, mengurangi rasio angka kematian ibu hingga kurang dari 70 per 100.000 kelahiran hidup. Ada 3 indikator dari target ini yaitu Angka Kematian Ibu (AKI), proporsi perempuan pernah kawin umur 15-49 tahun yang proses melahirkan terakhirnya ditolong oleh tenaga kesehatan terlatih, dan persentase perempuan pernah kawin umur 15-49 tahun yang proses melahirkan terakhirnya di fasilitas kesehatan.
Sedangkan target kedua adalah pada tahun 2030 mengakhiri kematian bayi baru lahir dan balita yang dapat dicegah, dengan seluruh negara berusaha menurunkan Angka Kematian Neonatal setidaknya hingga 12 per 1000 KH (Kelahiran Hidup) dan Angka Kematian Balita 25 per 1000. Ada 4 indikator dari target ini yaitu Angka Kematian Balita (AKBa) per 1000 kelahiran hidup, Angka Kematian Neonatal (AKN) per 1000 kelahiran hidup, Angka Kematian Bayi (AKB) per 1000 kelahiran hidup. Proporsi perempuan pernah kawin umur 15-49 tahun yang proses melahirkan terakhirnya ditolong oleh tenaga kesehatan terlatih; dan persentase kabupaten/kota yang mencapai 80% imunisasi dasar lengkap pada bayi.
Target dan indikator tersebut merupakan salah satu upaya global dan nasional untuk mencegah perkawinan anak. Sehingga Rencana Aksi Daerah untuk Pencapaian SDGs di tingkat provinsi dan kabupaten/kota di Indonesia juga berkontribusi pada pencapaian tersebut melalui kegiatan dan program kerja pemerintah daerah melalui Satuan Kerja Perangkat Daerah terkait.
Dalam perkembangannya untuk merespon permasalahan perkawinan anak, beberapa Kantor Urusan Agama juga telah mulai menolak untuk mengawinkan calon pengantin yang berumur dibawah 18 tahun. Begitu pula pemerintah setempat dalam hal ini kepala desa dan lurah, telah memberikan peringatan pada orang tua bahwa perkawinan yang dilakukan merupakan pelanggaran hukum. Namun upaya ini masih bersifat temporer dan kasuistik.
Komitmen untuk menghentikan perkawinan anak menjadi tanggung jawab bersama untuk mencegah perkawinan usia anak. Peran serta masyarakat baik perorangan maupun kelompok sangat diperlukan. Pemaparan dan argumentasi urgensi pencegahan perkawinan anak yang telah diuraikan, maka penting dan perlu adanya upaya-upaya dari berbagai pihak yang berkompeten terkait dengan kewenangan perkawinan anak, baik pemerintah, non pemerintah, masyarakat, keluarga, orang tua dan bahkan anak itu sendiri. Hal ini untuk mencegah dampak yang lebih besar dan luas terhadap pihak yang mengalami perkawinan pada usia anak, khususnya perempuan. (Selesai)