Irigasi merupakan komponen penting dalam menunjang pembangunan pertanian di Indonesia. Ketersediaan air irigasi yang cukup merupakan salah satu faktor yang menentukan tingkat produktivitas hasil pertanian. Di Indonesia, kebutuhan penggunaan air untuk irigasi paling besar dibandingkan dengan kebutuhan konsumsi air lainnya. Kebutuhan air irigasi diperkirakan sekitar 80% dari total konsumsi air. Kebijakan Pengelolaan Irigasi telah dibagi berdasarkan kewenangan antara pemerintah pusat, provinsi dan kabupaten. Berdasarkan Peraturan Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat Nomor 14/PRT/M/2015 tanggal 21 April 2015, luas potensial daerah irigasi yang menjadi kewenangan Provinsi Sulawesi Selatan secara keseluruhan adalah 105.666 Ha yang terbagi atas 38 Irigasi permukaan, 2 irigasi rawa dan 27 irigasi tambak. BPS tahun 2018 menunjukkan bahwa luas lahan sawah di provinsi Sulawesi Selatan sebesar 649.190 Ha dan 60,19 % diantaranya merupakan lahan sawah beririgasi.
Pengelolaan irigasi menjadi hal yang penting dalam mendukung produktivitas pertanian di Provinsi Sulawesi Selatan. Irigasi memerlukan investasi yang besar untuk membangun sarana dan prasarananya, operasional dan pemeliharaannya, sehingga perlu dilakukan pengelolaan yang baik dan tepat agar penggunaan air irigasi memberikan rasa keadilan bagi masyarakat pengguna air irigasi. Salah satu lembaga yang sangat berperan di tingkat masyarakat khususnya dalam pengelolaan irigasi adalah P3A/GP3A/IP3A yang memiliki wewenang dan tanggung jawab dalam pengelolaan irigasi di petak tersier dan berpartisipasi pada jaringan sekunder dan primer. Namun kemampuan P3A/GP3A/IP3A dianggap masih rendah dalam mendukung pengelolaan irigasi yang berkelanjutan.
Kabupaten Soppeng adalah salah satu daerah penghasil beras terbesar setelah Sidrap dan Pinrang di Provinsi Sulawesi Selatan. Luas lahan pertanian di Kabupaten Soppeng adalah 97.971,99 Ha dan 29,72% merupakan lahan persawahan atau sebesar 29.124,86 Ha. Lahan pertanian sawah berupa lahan sawah irigasi mencapai 24.391,72 hektar dan sawah tadah hujan seluas 4.733,14 hektar. Salah satu Daerah Irigasi Kewenangan Provinsi yang terdapat di Kabupaten Soppeng adalah adalah daerah Irigasi Salobunne. Daerah irigasi ini telah memiliki kelembagaan di tingkat petani pengguna air, namun keaktifannya dalam pengelolaan irigasi secara partisipatif belum optimal. Olehnya itu perlu menyusun strategi perencanaan yang partisipatif dalam mendorong keterlibatan P3A/GP3A/IP3A dalam pengelolaan irigasi pada petak tersier sesuai kewenangan yang dimilikinya. Proses ini dimulai dengan pelaksanaan FGD yang dilakukan di Desa Tellulimpoe Kelurahan Attang Salo Kecamatan Marioriawa, Kabupaten Soppeng yang pesertanya berasal dari perkumpulan petani pemakai air (P3A), Unsur Pemerintah Desa, Tokoh Masyarakat, tenaga pendamping masyarakat, serta stakeholders lainnya.
Pelaksanaan FGD diawali dengan mengidentifikasi permasalahan yang muncul melalui informasi yang disampaikan oleh peserta FGD. Permasalahan yang teridentifikasi dikelompokkan menjadi 6 aspek , yaitu (1) aspek kondisi umum Daerah Irigasi, (2) Aspek Sosial Ekonomi, (3) Aspek Teknis Irigasi, (4) Aspek Kelembagaan, (5) Aspek Usaha tani, dan (6) Aspek Potensi Sumber Daya Lokal.
Adapun rincian permasalahan Pengelolaan Daerah Irigasi (DI) Salobunne di Kabupaten Soppeng yang teridentifikasi dalam FGD disajikan pada tabel 1.
Berdasarkan hasil identifikasi permasalahan pengelolaan irigasi, selanjutnya dilakukan perangkingan untuk menentukan prioritas permasalahan berdasarkan kriteria mendesak, masalah utama, kepentingan umum, ketersediaan potensi, menambah penghasilan. Berdasarkan rumusan identifikasi masalah dan perangkingan permasalahan yang telah disepakati dalam FGD, selanjutnya dilakukan perumusan alternatif kebijakan untuk menjawab permasalahan yang dilakukan berdasarkan kesepakatan antara tim Teknis (UPT Irigasi) dan Stakeholder yang difasilitasi oleh Tim Pendamping Masyarakat. Terdapat 5 permasalah utama yang sifatnya mendesak dan berpengaruh penting terhadap aktivitas pertanian bagi masyarakat pengguna air irigasi pada DI Salobunne, yakni Kehilangan air pada Bendung & saluran irigasi tinggi; Lantai saluran Sekunder Lompo masih konstruksi tanah (BB5-BL1); Saluran sekunder (BB8 – BB9) dan ( BK2 – BT2) masih konstruksi tanah; Sebagian besar saluran tersier masih berupa saluran tanah kondisi tanah; dan Kurangnya pengetahuan petani tentang pengolahan hasil panen. Alternatif kebijakan dalam menanggulangi permasalahan utama tersebut adalah Rehabilitasi Bendung dan saluran irigasi ; Rehabilitasi Lantai saluran Sekunder Lompo masih konstruksi tanah (BB5-BL1); Rehabilitasi Saluran sekunder (BB8 – BB9) dan ( BK2 – BT2); Pembuatan saluran tersier permanen; dan Pendampingan dan pelatihan petani dalam pengolahan hasil panen.
Alternatif kebijakan yang dihasilkan dari proses FGD dalam menyelesaikan permasalahan pengelolaan irigasi pada Daerah Irigasi Salobunne diharapkan dapat menjadi bagian dalam proses perencanaan pembangunan tahapan perencanaan mulai dari musrenbang tingkat desa hingga musrenbang provinsi, mengingat bahwa daerah Irigasi Salobunne merupakan Daerah Irigasi Kewenangan provinsi. Pada akhirnya, alternatif kebijakan ini diharapkan dapat meningkatkan produktivitas hasil pertanian dan berdampak pada peningkatan kesejahteraan masyarakat di Kabupaten Soppeng.