Apa yang terjadi dalam insiden mahasiswa bunuh diri di Jakarta baru-baru ini?
Kepolisian masih menyelidiki motif seorang mahasiswa di Jakarta berusia 18 tahun yang mengakhiri hidupnya di pelataran gedung kampus pada awal Oktober tahun ini.
"Motif-motif terkait masalah skripsi atau apapun itu kami belum bisa memastikan," kata Kapolsek Grogol Petamburan Kompol Reza Hafiz Gumilang kepada wartawan. Sebelumnya beredar desas-desus di media sosial yang mencurigai korban dilanda persoalan skripsi dan mengalami perundungan.
Sejumlah saksi - termasuk petugas keamanan yang sempat memperingatkan mahasiswa itu agar menjauh dari tepian gedung—masih digali keterangannya. Polisi juga mengungkap, korban beraktivitas seperti biasanya sebelum kejadian: mengikuti kelas kuliah dan terlihat berkumpul bersama rekan-rekannya.
"Untuk dari barang bawaan yang ada, baik ponsel, kemudian buku catatan, maupun gadget lainnya, itu tidak ditemukan hal-hal yang mencurigakan," kata Reza. Pihak kampus mengklaim tidak ada persoalan perundungan dan skripsi.
"Ini bukan mahasiswa yang sedang skripsi. Jadi bukan karena skripsi atau proposal skripsi ditolak. Itu yang perlu diluruskan," kata pihak kampus seperti dikutip Antara. Kasus ini menjadi insiden mahasiswa bunuh diri ketiga dalam satu pekan terakhir.
Apakah ada hubungan dengan insiden bunuh diri mahasiswa lainnya?
Pertama, pemberitaan bunuh diri yang kurang sensitif sehingga berisiko membuat orang-orang yang mengalami krisis kesehatan mental meniru tindakan tersebut, kata Presiden Asosiasi Indonesia untuk Pencegahan Bunuh Diri, Dr. Sandersan Onie.
Sandy—sapaan Sandersan Onie—menyinggung teori efek Werther. Ini merupakan efek bunuh diri yang ditiru (copycat suicide) lantaran publikasi media secara luas tentang kasus bunuh diri. Biasanya kasus ini terjadi di kalangan selebriti atau tokoh terkenal lainnya yang memiliki banyak fans.
Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) mengeluarkan anjuran tentang tanggung jawab media atas pemberitaan kasus bunuh diri. Pada 2019, Dewan Pers juga mengeluarkan peraturan yang merinci pedoman pemberitaan terkait dengan tindak dan upaya bunuh diri.
Dalam aturan tersebut publikasi kasus bunuh diri tidak disarankan menjelaskan detail metode, sampai mengaitkannya pada hal-hal gaib, mistis dan takhayul. “Jika kita melaporkan atau ada berita tentang bunuh diri yang ada metodenya (cara-cara bunuh diri), ada nama tempat, ada alasannya tapi disederhanakan… Atau ada detail ada surat suicide note-nya. Itu bisa meningkatkan risiko orang lain melakukan percobaan bunuh diri,” kata Sandy.
Di sisi lain, ia juga mengutarakan soal efek Papageno di mana media juga bertanggung jawab media atas pencegahan bunuh diri. Kisah-kisah tentang harapan dan cara mengatasi kesulitan setelah krisis bunuh diri dapat memiliki dampak perlindungan bagi orang-orang yang sedang mengalami tekanan.
Kedua, isu kesehatan mental anak-anak muda semakin “kompleks”. “Ada data menunjukkan bahwa anak-anak zaman sekarang itu memang tingkat depresi yang lebih tinggi, tingkat anxiety (kecemasan) yang lebih tinggi. Kenapa? Karena memang ini dunia yang lebih kompetitif, dunia yang lebih sulit. Inflasi itu semakin meningkat dan karena dunia ini itu semakin sulit,” tambah Sandy.
Ilustrasi: bbc.com
Bagaimana gambaran fenomena bunuh diri di kalangan anak-anak muda?
WHO mencatat tiap tahun 726.000 orang melakukan bunuh diri. Angka orang yang mencoba bunuh diri jauh lebih besar dari itu. Sebanyak 73 persen dari angka bunuh diri global ini terjadi di negara berpenghasilan rendah dan menengah. Badan ini juga mencatat bahwa bunuh diri adalah penyebab ketiga kematian bagi orang berusia 15-29 tahun.
Masih berdasarkan laporan organisasi kesehatan dunia ini, pada 2019, rasio angka bunuh diri di Indonesia sebesar 2,4:100.000. Dalam laporannya, WHO mengklasifikasi perkiraan angka bunuh diri di Indonesia dengan nilai rendah.
Namun, dalam studi terbaru yang dirilis 2022, menemukan angka bunuh diri di Indonesia mungkin empat kali lebih besar daripada data resmi. Minimnya data telah menyembunyikan skala sebenarnya dari persoalan bunuh diri di Indonesia.
Di sisi lain, kepolisian Indonesia mengidentifikasi bunuh diri menyumbang kasus ‘gangguan ketertiban’ terbanyak keempat pada 2024 selain penemuan mayat, kebakaran dan orang hilang. Pusat Informasi Kriminal Nasional (Pusiknas) melaporkan periode Januari–Agustus 2024 setidaknya polisi menangani 849 kejadian bunuh diri. Ini berarti satu hari terdapat hampir 4 empat kejadian bunuh diri.
Dari data tersebut sebagian besar korban bunuh diri berusia 26-45 tahun (30,9 persen). Sementara bunuh diri yang dilakukan usia 17-25 tahun ditemukan sebanyak 75 kasus atau setara 8,8 persen. Kasus tiga mahasiswa bunuh diri dengan usia 17-25 tahun dalam satu pekan terakhir melampaui angka rata-rata dari kepolisian.
Mengapa anak-anak muda rentan depresi?
Anak-anak muda, terutama yang berstatus mahasiswa berada pada fase remaja menuju dewasa di mana mereka dituntut mandiri. Dalam sebuah penelitian merespons masa pagebluk, psikolog dari Universitas Indonesia, Dyah T. Indirasari mengungkapkan mahasiswa masuk dalam kategori ‘agak pua’" terhadap kehidupannya dibandingkan guru dan dosen. Penelitian ini dilakukan terhadap 5.817 responden yang terdiri dari guru, dosen dan mahasiswa.
Mahasiswa memiliki kecenderungan emosi negatif yang tinggi. “Hal ini mencerminkan mahasiswa rentan terhadap kecemasan, depresi, dan rasa stres yang dapat mengganggu kesehatan mentalnya,” ujar Dyah dikutip dari laman Universitas Indonesia.
Menurutnya, tingginya emosi negatif mahasiswa lantaran fase transisi dari masa remaja ke masa dewasa.
"Mahasiswa dituntut harus mampu beradaptasi dengan kebebasan yang baru dimilikinya di masa kuliah dan perubahan kondisi sosial yang mereka temui ditambah dengan kondisi pembelajaran yang sangat berbeda saat ini. Akibatnya adalah mahasiswa mengalami rasa kecemasan yang tinggi dan rentan menderita depresi,” jelas Dian.
Dalam studi lainnya, Azmul Fuady Idham dkk. melakukan penelitian terhadap 62 mahasiswa di sebuah perguruan tinggi Kota Surabaya, Jawa Timur. Hasilnya, sebanyak 36 mahasiswa (58,1%) memiliki kecenderungan ide dan upaya bunuh diri yang tinggi. Studi ini dimuat dalam jurnal psikologi ilmiah, Intuisi yang dipublikasi pada November 2019.
Dalam survei lainnya, Alvara Research Center melakukan sigi terhadap 1.520 responden di 34 provinsi Indonesia pada 2022 silam. Salah satu hasilnya menunjukkan generasi Z (kelahiran 1997-2012) memiliki tingkat kecemasan lebih tinggi dibandingkan generasi milenial dan x. BBC News Indonesia berbincang dengan sejumlah mahasiswa yang pernah berpikir untuk melakukan bunuh diri.
Sejumlah hal yang memicu mereka stress adalah jauh dari keluarga (mahasiswa rantau), tuntutan segera menyelesaikan studi dengan nilai tinggi, finansial, tugas individu kuliah, merasa tertinggal dengan teman sekelas, kampus dengan ruang publik yang minim dan lain-lain.
“Yang pertama aku lakukan itu doa. Lalu yang kedua, aku harus meyakini diriku kalau misalkan aku punya tujuan,” kata Savira seorang mahasiswa di daerah Banten, bercerita caranya keluar melewati keinginan untuk bunuh diri.
“Kalau saya, buat obatnya ya keluar saja, cari teman, ngobrol. Berarti kondisi saya itu di sini saya nggak sendirian, masih ada teman-teman yang lain. Saya juga masih bisa berjuang, menyelesaikan satu per satu (persoalan),” jelas Ihsan mahasiswa di Jakarta.
Apa yang dihadapi hari ini, seperti perubahan kurikulum di perkuliahan juga membuat tekanan baru bagi mahasiswa, kata Edward Andriyanto Soetardhio, dosen di Fakultas Psikologi Universitas Indonesia. “Kurikulum Merdeka itu untuk beberapa hal, jadi menekan mata kuliah penting, yang biasanya di-spread menjadi tujuh semester, sekarang lebih pendek. Kita hanya boleh lima semester atau bahkan empat semester… Jadi memang tingkat stresnya jadi lebih tinggi,” katanya.
Sebagian mahasiswa memiliki caranya sendiri-sendiri untuk melewati masa-masa sulit dalam hidupnya. Ilustrasi: bbc.com
Mengapa anak-anak muda punya risiko mengakhiri hidup? Faktornya, “banyak banget, kompleks banget,” kata Edward.
Pertama, keterampilan hidup dan pengaturan emosi (emotion regulation) yang tidak masuk dalam kurikulum sejak dini. Pengaturan emosi ini berkaitan dengan kemampuan seseorang mengelola dan menanggapi pengalaman emosional secara efektif.
“Jadi sebelum kita belajar soal berhitung dan yang lain-lainnya, life skills itu sudah diajarin. Apa itu problem solving (penyelesaian masalah), apa itu critical thinking (berpikir kritis), apa itu emotional regulation (pengaturan emosi) di kurikulum kita itu enggak ada,” kata anggota dari Himpunan Psikologi Indonesia (Himpsi) wilayah Jakarta.
Kedua, dukungan sosial. Menurut Edward, hari ini mahasiswa cenderung individualis karena pengaruh teknologi, khususnya gawai. “Karena semua sibuk dengan handphone-nya masing-masing, dengan gawainya masing-masing. Jadi tidak ada social support yang cukup baik antar mereka,” katanya.
Berikutnya, stigma terhadap orang-orang yang sedang menghadapi titik terendah dan punya niat untuk bunuh diri. “Kalau ketahuan orang, nanti saya dibilang orang yang buruk, orang yang tidak beriman, orang yang berdosa gitu,” kata Edward.
Terakhir, kata Edward adalah layanan konsultasi di situasi krisis yang belum optimal. BBC News Indonesia juga pernah memuat bagaimana orang-orang kesulitan mengakses layanan konsultasi melalui saluran siaga (hotline) kementerian kesehatan. Dalam hal ini, sejumlah orang yang pernah menghadapi situasi ingin bunuh diri kesulitan mengaksesnya.
Situasinya semakin sulit karena tidak semua orang yang sedang berpikir untuk bunuh diri akan mencari bantuan profesional, sebagaimana studi yang pernah dimuat Contact with primary and mental health care prior to suicide pada 2019. Riset ini menunjukkan sekitar 50-60% orang yang berpikir bunuh diri tidak mencari bantuan profesional.
Apa dampak yang ditimbulkan dari bunuh diri?
“Teman-teman terdekatnya, orang tuanya, saudara kandungnya, bahkan kampusnya mungkin ada tekanan yang mereka rasakan,” jelas Edward. Lingkaran dari korban bunuh diri apa yang disebut sebagai “mikrosistem” juga perlu mendapat perhatian.
“Jadi di teman-teman terdekatnya melihat, ‘oke dia bunuh diri, gue ikut stres, oke besok gue bunuh diri juga’. Nah itu yang kita coba tangani, itu yang coba kita cegah. Kalau dia kehilangan teman dengan bunuh diri, biasanya kedukaannya lebih buruk,” kata Edward.
Generasi Z memiliki tantangan sendiri dalam isu kesehatan mental. Ilustrasi: bbc.com
Bagaimana pencegahan dan penanganannya?
Di dunia pendidikan, pihak pengajar perlu dibekali keterampilan memahami dan menanggapi dampak trauma pada kehidupan peserta didik. Pendekatan yang disebut sebagai trauma-informed practice ini menekankan keselamatan fisik, psikologis, dan emosional bagi setiap orang dengan tujuan memberdayakan individu agar dapat kembali mengendalikan kehidupan mereka.
“Jadi bukan hanya mengejar kurikulum, ini tugas dari guru, tapi juga mengidentifikasi kira-kira muridnya mana yang butuh perhatian lebih tinggi karena mungkin punya trauma. Mungkin punya tingkat stres yang tinggi di lingkungannya. Nah itu sistem yang harus dibikin sebagai respons dari bunuh diri,” jelas Edward.
Kesadaran untuk membangun sistem pendukung di lingkup pendidikan ini harus diinisiasi institusi pendidikan itu sendiri. Sayangnya, kata Edward, tidak semua institusi pendidikan seperti universitas memiliki sistem seperti ini ataupun adanya unit khusus yang menjadi layanan bagi mahasiswa di situasi krisis.
Sementara itu, Sandersan Onie dari Black Dog Institute Australia mengatakan kondisi sistem pencegahan bunuh diri di Indonesia secara keseluruhan belum optimal. Misalnya, penggunaan BPJS Kesehatan untuk mengakses layanan psikiater harus menunggu berminggu-minggu.
Lainnya, saluran siaga yang ada di Indonesia juga belum ada yang berkelanjutan, kata Sandy. “Jadi kesimpulannya, kita harus belajar untuk saling menjaga satu sama lain,” katanya. BBC News Indonesia telah menghubungi sejumlah pejabat di Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi, Riset dan Teknologi di Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan.
Hingga berita ini diturunkan, belum ada yang memberikan komentar. Begitupun dari kementerian kesehatan. Namun, dalam sejumlah kesempatan, Kementerian Kesehatan mengkampanyekan pentingnya isu kesehatan mental kepada pelajar dan sekolah-sekolah. “Melalui tindakan kecil seperti kebaikan sederhana, percakapan terbuka dan mendengarkan tanpa menghakimi, dapat berpengaruh secara signifikan,” kata Direktur Jenderal Tenaga Kesehatan Maria Endang Sumiwi.
Informasi lebih lanjut:
Jika Anda, sahabat, atau kerabat memiliki kecenderungan bunuh diri, segera hubungi psikolog, psikiater atau dokter kesehatan jiwa di Puskesmas atau rumah sakit terdekat. Anda dapat mengakses situs Emotional Health For All jika membutuhkan bantuan.
Layanan dari Kementerian Kesehatan dapat Anda hubungi melalui nomor 119 ext 8.
Anda juga dapat menghubungi layanan 24 jam “BISA Helpline” melalui nomor WhatsApp 08113855472.