“Semua manusia dilahirkan bebas dan setara dalam martabat dan hak”
Begitulah bunyi dari Universal Declaration of Human Rights (UHDR) pada pasal yang ke-1 yang diproklamirkan oleh Majelis Umum PBB pada 10 Desember 1948 lalu. Bunyi Pasal 1 dalam dokumen UHDR tersebut kini menjadi acuan dasar PBB dalam menetapkan tema peringatan hari HAM sedunia tahun 2021 yang berbunyi “Kesetaraan – Mengurangi ketidaksetaraan, memajukan hak asasi manusia”.
Tema HAM yang diambil PBB tahun ini disebut juga menyelaraskan dengan agenda tujuan pembangunan berkelanjutan (Sustainable Development Goals/SDG’s) 2030 dan dengan menggunakan pendekatan Leave No One Behind (tidak meninggalkan seorang pun) yang juga merupakan prinsip utama dari tujuan pembangunan berkelanjutan tersebut.
Secara implisit, pemilihan tema ini mengisyaratkan bahwa komitmen dunia untuk tujuan pembangunan berkelanjutan semakin kuat dalam hal menyelesaikan permasalahan-permasalahan pada aspek sosial, ekonomi, dan lingkungan dengan pendekatan yang humanis dan partisipatif.
Peluang dan Tantangan Zaman
Saat ini dunia telah memasuki era revolusi Industri jilid ke-4 atau yang dikenal dengan istilah Revolusi Industri 4.0. Perubahan dalam Dunia industri ini kemudian melahirkan perubahan-perubahan lainnya dalam berbagai aspek kehidupan manusia baik itu dalam bidang sosial, politik, dan ekonomi.
Dengan munculnya teknologi seperti Kecerdasan Buatan, Machine Learning, Big Data, dan Internet of Thing (IoT), manusia dituntut lebih adaptif, menyesuaikan dengan tuntutan zaman yang sedang dihadapi. McKinsey dalam studinya menyatakan bahwa 60% jabatan pekerjaan di dunia akan tergantikan dampak adanya otomatisasi.
Di Indonesia sendiri, masih menurut studi tersebut, sebanyak 51% lapangan pekerjaan akan hilang dampak dari adanya revolusi Industri 4.0 yang sedang kita masuki bertahap ini. Meskipun terdapat ancaman demikian, revolusi industri 4.0 juga dipercaya membawa peluang dalam mencapai tujuan SDG’s di tahun 2030.
Salah satu target dalam SDG’s adalah untuk mencapai negara tanpa kemiskinan. Dengan demikian, untuk memenuhi target tersebut di era yang semakin kompetitif ini, syarat utamanya adalah adanya SDM yang mampu memenuhi kualifikasi yang dibutuhkan untuk mengarungi dunia yang “cerdas” nantinya.
Masalah Literasi dan Kesenjangan Pendidikan
Sayangnya Indonesia masih dihadapkan pada sejumlah persoalan dalam hal kesiapan dan kematangan Sumber Daya Manusia. Permasalahan ini tercermin dalam sisi input SDM yang memiliki tingkat literasi yang rendah dan masalah yang terjadi dalam proses penciptaan SDM berkualitas melalui sektor pendidikan.
Rendahnya tingkat literasi ini dijelaskan dalam studi yang dilakukan oleh PISA dan Indeks Alibaca yang dilakukan oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud). Studi yang dilakukan oleh PISA pada 2019 lalu menunjukkan tingkat literasi Indonesia menempati posisi ke-62 Dari total 70 negara.
Survey yang lain yang dilakukan oleh Kemendikbud di tahun yang sama mengenai Indeks Aktivitas Literasi dan Membaca (Alibaca) juga menunjukkan hasil Alibaca nasional berada pada titik yang rendah. Hasil survei tersebut menunjukkan hanya 9 provinsi yang masuk kategori sedang sementara 24 provinsi lainnya menunjukkan indeks yang rendah dan satu provinsi lagi berada di titik yang sangat rendah.
Literasi merupakan Hal yang penting karena bermanfaat untuk pembangunan suatu Negara. Dengan adanya tingkat literasi yang tinggi, pemahaman masyarakat akan ilmu pengetahuan dan teknologi menjadi modal awal yang cukup untuk bersaing baik itu dalam lingkup lokal maupun global. Sebaliknya, tingkat literasi yang rendah dikhawatirkan akan menjadi hambatan bagi SDM Indonesia untuk bersaing.
Apabila kita lebih terfokus lagi, Indonesia juga masih dihantui dengan adanya kesenjangan antara desa dan kota khususnya dalam mendapatkan pendidikan yang berkualitas. Padahal pendidikan memiliki fungsi penting dalam menyiapkan generasi muda untuk memiliki kemampuan agar dapat dapat memegang peranan di masa yang akan datang (Nasution, 2014).
Menurut studi yang dilakukan oleh Arifah (2019), disimpulkan bahwa dalam hal kesempatan mendapatkan pendidikan yang berkualitas, desa memiliki kesempatan yang lebih rendah dibanding di Kota. Hal tersebut tercermin dalam tiga dimensi seperti sarana-prasarana dan tenaga pendidik, dukungan lingkungan sekitar, dan capaian prestasi.
Contoh nyata di lapangan dari kesenjangan yang ada dapat kita lihat dalam potret pendidikan saat pandemic covid-19 mengharuskan kegiatan belajar-mengajar berlangsung secara daring atau dikenal dengan istilah Pembelajaran jarak jauh (PJJ). Saat itu, bagi mereka yang terkendala gangguan jaringan harus mencari tempat tinggi atau mungkin pergi menempuh jarak yang cukup jauh agar dapat bersekolah. Atau, bagi siswa yang belum memiliki Smartphone, barangkali harus meminjam tetangganya terlebih dahulu agar dapat bersekolah.
Menghindari Terjadinya “Seleksi Alam”
Kesenjangan yang ada dalam proses input sumber daya manusia tersebut perlu disadari bersama sebagai sebuah tantangan nyata yang perlu dijawab dengan memberi perhatian terhadapnya. Akibat adanya permasalahan dalam proses input ini dikhawatirkan akan membuat Indonesia tertinggal dan tidak dapat bersaing dengan dunia global nantinya.
Terlebih lagi, kita tidak ingin kemajuan negara hanya dirasakan segelintir orang yang memiliki kesempatan sedangkan sisanya harus “gugur” akibat “seleksi alam” karena tidak mampu beradaptasi. Dengan demikian, setiap pemangku kebijakan yang ada di Indonesia harus mengupayakan agar setiap orang mendapat kesempatan yang sama dalam proses peningkatan kualitas dirinya agar dapat menyongsong dunia “cerdas” ini. Salah satu upaya tersebut adalah dengan menyetarakan kualitas pendidikan di seluruh negeri.
Kerangka kerja untuk menuju SDG’s yang dibangun haruslah didasarkan pada pemenuhan Hak Asasi Manusia berdasarkan prinsip kesetaraan dengan pendekatan yang lebih humanis, Leave No One Behind
Artikel ini bersumber dari: https://geotimes.id/opini/leave-no-one-behind/