Kala Pemuda, Perempuan, dan Tetua Adat Atur Siasat Lawan Penggusuran (Bagian 2)
Penulis : Dwianto Wibowo
  • Warga Desa MangSir (Manggroholo-Sira) saat acara Forest Defender Camp (FDC) di hutan desa Manggroholo-Sira, Distrik Saifi, Kab. Sorong Selatan, 20 September 2023. FDC diselenggarakan oleh Greenpeace bersama komunitas pemuda adat Knasaimos, Sadir Wet Yifi dan Bentara Papua. Konsolidasi dan lokakarya penjaga hutan Papua ini diikuti ratusan pemudi/a adat mulai dari Sorong, Raja Ampat, Merauke hingga Jayapura. (Project M/Dwianto Wibowo)
    Warga Desa MangSir (Manggroholo-Sira) saat acara Forest Defender Camp (FDC) di hutan desa Manggroholo-Sira, Distrik Saifi, Kab. Sorong Selatan, 20 September 2023. FDC diselenggarakan oleh Greenpeace bersama komunitas pemuda adat Knasaimos, Sadir Wet Yifi dan Bentara Papua. Konsolidasi dan lokakarya penjaga hutan Papua ini diikuti ratusan pemudi/a adat mulai dari Sorong, Raja Ampat, Merauke hingga Jayapura. (Project M/Dwianto Wibowo)

Warga dari tiap marga di Desa Sira dan Manggroholo mendapat hasil sepuluh karung sagu atau sekira 200 kg dari setiap panen. Hasil panen sagu dibagi untuk memenuhi kebutuhan pangan ratusan keluarga di dua wilayah tersebut. Sementara hasil penjualan sagu akan digunakan untuk memenuhi kebutuhan lain seperti pendidikan. 

Dian, yang juga bertugas sebagai bendahara Lembaga Pengelolaan Hutan Desa (LPHD), mengatakan bahwa saat ini lembaga adat masih terkendala pemasaran produknya. Tepung sagu menjadi produk andalan, pada permintaan pertama tembus hingga 800 kg ke Manokwari, 2019 permintaan 50 kg dari Ambon. Tahun ini, baru 36 kg dikirim ke Ambon, sedangkan eceran (2-5 kg) ke Sorong dan Manokwari. Tanpa pesanan, produk tepung dari sagu maupun pisang masih sepi pembeli.

Sebagai seorang pendidik, Dian menyadari perempuan telah menyangga beban ganda, mengurus keluarga sekaligus turut andil dalam rantai perekonomian desa. Dian berharap dengan dibentuknya kelompok perempuan di wilayah adat Knasaimos, kaum perempuan dapat semakin berdaya dan terlibat aktif di dewan adat dalam melindungi wilayah adat mereka.

Dian Wagafere (29), perempuan dari Desa Sira yang juga guru sekolah menengah pertama dan bendahara Lembaga Pengelolaan Hutan Desa (LPHD). (Project M/Dwianto Wibowo)

 

Gerakan Kolektif Perempuan Adat

Di depan dapur umum, Orpha Novita Yoshua sedang bercengkerama dengan beberapa peserta lain sambil menikmati kudapan. Perempuan muda dari wilayah adat lembah Grime Nawa ini hadir mewakili Organisasi Perempuan Adat (ORPA) Namblong, Jayapura. Perempuan adat Suku Namblong mendirikan ORPA pada 2015. Tujuan awalnya untuk mengatasi kepunahan bahasa asli serta mengadvokasi korban kekerasan seksual di kampung mereka. 

Dahulu, orang Suku Namblong dilarang menggunakan bahasa asli ketika wilayah itu dijadikan daerah operasi militer. Alibi pemerintah untuk mengantisipasi pembicaraan terkait Papua Merdeka di antara masyarakat. Saat itu banyak perempuan menjadi korban kekerasan seksual dan kaum laki-laki menjadi korban kekerasan fisik. ORPA saat ini diketuai Mama Rosita, beranggotakan sekitar 25 persen perempuan lembah Grime Nawa tetapi minim regenerasi. Rerata anggotanya telah berusia di atas 50 tahun, sedangkan generasi Orpha baru sedikit yang mau terlibat.

ORPA mendirikan sekolah adat untuk mengajarkan generasi muda lebih mengenal adat mereka. Mereka dibawa ke hutan untuk mengambil buah pohon genemo dan mengambil kulit pohonnya untuk membuat noken. Jelajah hutan itu mewajibkan mereka berkomunikasi dengan bahasa daerah. “Orangtua kami mempercayai hutan sebagai ibu, sehingga penggunaan bahasa ibu dapat menyatukan mereka dengan hutan,” kata Orpha.

Perempuan dan anak-anak suku Kna kembali  dari mengurus kebun di hutan desa Sira, desa Manggroholo-Sira, kab. Sorong Selatan, Papua Barat Daya, 21 September 2023. (Project M/Dwianto Wibowo)

Budaya patriarki di Grime Nawa melarang perempuan untuk duduk di dewan adat. Namun sejak 2020, ORPA Namblong dilibatkan untuk menolak perusahaan sawit, perempuan dapat ruang berbicara di dewan adat meskipun tetap tidak dapat memiliki kedudukan. Dalam adat, perempuan dipandang sebagai harta, sehingga saat mereka keluar dari wilayah sukunya, dapat terjadi perang suku. Namun, saat menghadapi perusahaan sawit perempuan justru bergerak di garis depan. Karena jika laki-laki yang maju langsung dituduh sebagai separatis, dan dihadapkan pada barisan polisi dan tentara. 

Masyarakat adat Lembah Grime Nawa terdiri dari Suku Kemtuk, Suku Gresi, Suku Namblong, Suku Uria, Suku Elseng, Suku Aotaba, dan Suku Tecuari. Mereka tinggal dan berpencar di lembah yang mengalir di dua sungai besar, Sungai Grime dan Sungai Nawa, di Distrik Yapsi dan Unurum Guay.

Di lembah Grime Nawa, hutan seluas 30 ribuan hektare dari Danau Sentani hingga Kerom terancam masuk wilayah konsesi perusahaan sawit. Di empat distrik ORPA melakukan konsolidasi dari kampung ke kampung, membangun usaha masyarakat seperti menjual kerajinan dan usaha pariwisata supaya mereka tidak menjual wilayah adatnya.

Mama Rosita mewakili ORPA bicara di parlemen Eropa pada 2021, sedang Orpha pada tahun 2022 mewakili organisasi ini di pertemuan COP15. Mereka menceritakan situasi Lembah Grime Nawa yang memiliki 79 jenis burung cendrawasih dan akan terancam punah jika konsesi lahan terus berlanjut.

 

Melawan Emas dan Nikel

Senasib dengan Orpha, Eduardus Tafi yang menjadi peserta Forest Defender Camp (FDC)  menceritakan persoalan di Kabupaten Tambrauw, Papua Barat. Pemuda yang mewakili komunitas Masyarakat Adat Akauwon ini tengah berupaya mempertahankan hutan di wilayah adatnya dari konsesi tambang emas dan nikel.

 Komunitas Akauwon berdiri sekitar tahun 2000-an. Komunitas ini berfokus pada advokasi pendidikan untuk masyarakat adat dengan mempelajari struktur/rumpun masyarakat adat dan melakukan pemetaan partisipatif wilayah adat.

Topografi wilayah adat Tambrauw terdiri dari pesisir, dataran rendah, dan pegunungan. Luas wilayah yang sudah terpetakan ada 90 ribu hketar yang terbagi menjadi tiga zona yaitu zona permukiman, zona hutan kelola, dan zona hutan adat. Di hutan adat, masyarakat tidak boleh ambil kayu maupun berkebun, ada tempat keramat yang sudah tercatat dengan titik koordinat.

Namun, di Kabupaten Tambrauw kini terdapat enam izin konsesi, di antaranya ada tambang emas dan nikel, meski belum beroperasi. Padahal mantan Bupati Tambrauw, Gabriel Assam, telah mengeluarkan peraturan daerah terkait masyarakat hukum adat yang menyatakan wilayah itu sebagai hutan konservasi. Surat Keputusan Bupati itu keluar setelah masyarakat melakukan pemetaan dan musyawarah adat. Melalui Samdana masyarakat adat melakukan mediasi dengan KLHK untuk mendorong pengukuhan hutan adat, namun KLHK menyatakan bahwa separuh wilayah adat sudah masuk hutan konsesi. 

“Yang membuat kita bisa kasih hancur hutan adalah faktor ekonomi, ekonomi sekarang dengan ekonomi orang tua kita dulu itu berbeda. Saya punya anak yang punya kebutuhan ekonomi yang berbeda dengan saya, saya perlu kasih sekolah dia, tapi karena saya tidak punya pekerjaan lain, tanah jadi korban,” katanya. 

Ia menyadari bahwa upaya menyelamatkan hutan adat adalah kerja bersama dengan strategi yang juga perlu disesuaikan dengan perkembangan zaman. “Butuh media sosial untuk menyatukan gerakan dan update informasi. Karena ada satu keberhasilan yang telah kami capai, kami ingin membantu juga di wilayah teman yang lain,” ungkapnya.

Di bangsal bambu berkelambu tempat peserta FDC beristirahat. Malam itu Eduardus Tafi menitipkan pesan dengan bahasa adatnya, bahasa Miyah:

 

tosi bo wa anu kuek

 pesan kepada generasi muda

tevia fo nenot ayen

 ingat hutan dan tanah adat

 touv sia u tabam

 adalah ibu bagi kita

ramu vo menam veri

 generasi muda dan kita semua

bebi ramu umsu ri huren mae 

 yang mendiami tanah adat tersebut

 

(selesai)

 

Sumber: https://projectmultatuli.org/pertarungan-di-hutan-papua-kala-pemuda-perempuan-dan-tetua-adat-atur-siasat-lawan-penggusuran/ 

Submission Agreement

Terimakasih atas  ketertarikan Anda untuk mengirimkan artikel ke BaKTINews. Dengan menyetujui pernyataan ini, Anda memberikan izin kepada BaKTINews untuk mengedit dan mempublikasikan artikel Anda di situs web dan situs afiliasinya, dan dalam bentuk publikasi lainnya.
Redaksi BaKTINews tidak memberikan imbalan kepada penulis untuk setiap artikel yang dimuat.  Redaksi akan mempromosikan artikel Anda melalui situs kami dan saluran media sosial kami.
Dengan mengirimkan artikel Anda ke BaKTINews dan menandatangani kesepakatan ini, Anda menegaskan bahwa artikel Anda adalah asli hasil karya Anda, bahwa Anda memiliki hak cipta atas artikel ini, bahwa tidak ada orang lain yang memiliki hak untuk ini, dan bahwa konten Artikel Anda tidak mencemarkan nama baik atau melanggar hak, hak cipta, merek dagang, privasi, atau reputasi pihak ketiga mana pun.

Anda menegaskan bahwa Anda setidaknya berusia 18 tahun dan kemampuan untuk masuk ke dalam kesepakatan ini, atau bahwa Anda adalah orang tua atau wali sah dari anak di bawah umur yang menyerahkan artikel.
 
Satu file saja.
batasnya 24 MB.
Jenis yang diizinkan: txt, rtf, pdf, doc, docx, odt, ppt, pptx, odp, xls, xlsx, ods.