Anda tahu “mejikuhibiniu”? Ya. Itu adalah “jembatan keledai” – cara mudah untuk mengingat jenis-jenis warna pelangi: merah, jingga, kuning, hijau, biru, nila dan ungu
Seperti “mejikuhibiniu” untuk mengingat komposisi warna pelangi, ada sebuah jembatan keledai yang digunakan untuk mengingat prinsip-prinsip BANGGA Papua. Jembatan keledai BANGGA Papua terdiri dari lima prinsip. Ke lima jari kita dapat mewakilinya: ibu jari untuk hal pertama, telunjuk untuk hal ke dua dan seterusnya. Ke lima hal itu adalah, satu: anak Orang Asli Papua, dua: empat tahun ke bawah, tiga: Rp. 200 ribu per bulan per anak, empat: untuk kebutuhan anak (peningkatan gizi dan kualitas kesehatan anak) dan lima: transfer dana ke ke rekening mama di bank.
Dengan memakai jembatan keledai ini, tujuan BANGGA Papua dapat dinarasikan secara lebih mudah, dalam kegiatan sosialisasi ke masyarakat. Misalnya dengan kombinasi prinsip 1-4, kita bisa memahami salah satu tujuan BANGGA Papua yakni memperbaiki kualitas kesehatan anak asli Papua yang berusia empat tahun ke bawah, dari ancaman gagal tumbuh otak dan fisik (stunting) karena kurang gizi yang berkepanjangan. Di dalam tujuan itu, ada titian ke latar belakang dan posisi tawar BANGGA Papua di masyarakat. Posisi tawar BANGGA Papua adalah bahwa program ini bukan hanya untuk mengatasi isu kurang gizi, ada ancaman lain yang membayangi gagal tumbuh otak dan fisik, yaitu ancaman kematian. Kematian anak balita karena kurang gizi adalah salah satu penyebab kematian utama di tanah Papua.
Jembatan keledai dalam bentuk lima prinsip ini belakangan mulai diperkenalkan dan diarusutamakan dalam pelatihan-pelatihan untuk melengkapi pelaksana sosialisasi BANGGA Papua, yang telah berlangsung beberapa kali. Dengan prinsip-prinsip ini, peserta diperkenalkan pada level komunikasi yang lebih baik dari sekedar ‘sosialisasi’. Komunikasi yang dibangun harus mencapai tahap dimana penerima pesan betul-betul memahami isi pesan. Jadi keterampilan peserta berkembang dari ‘sosialisasi’ menjadi ‘pahamisasi’.
Membangun Barisan Pewarta
Setiap pelatihan melahirkan pembelajaran baru. Semakin lama, semakin memperkaya pembelajaran bersama dalam BANGGA Papua. Dari pelaksanaan pelatihan, datang pembelajaran tentang fakta keterpencilan kampung-kampung, misalnya. Penerima manfaat BANGGA Papua adalah individu yang tinggal di kampung-kampung. Siapa yang mampu menjangkau mereka di wilayah terpencil? Siapa yang mampu menumbuhkan pemahaman mereka tentang pentingnya program? Siapa yang didengar dan dipercaya oleh masyarakat di kampung-kampung, sehingga bisa memengaruhi masyarakat agar mau meningkatkan kualitas hidup anak dan keluarganya?
Pertanyaan-pertanyaan ini menunjukkan bahwa lebih dari sekedar keterpencilan, untuk bergerak dari 'sosialisasi' ke 'pahamisasi,' dibutuhkan pembawa pesan yang tepat. Dibutuhkan pewarta atau penyuluh, yang mampu mengemas dan menjembatani informasi baru yang diperoleh dalam pelatihan, dengan fakta keseharian masyarakat ke mana para pembawa pesan ini akan pergi.
Mengingat keterbatasan sumber daya manusia di setiap Sekber BANGGA Papua untuk mengisi kebutuhan tersebut dibandingkan dengan jumlah kampung yang ada, menjadi penting untuk membangun lini pendukung untuk peran pewarta. Selain kemampuan cakupan, hal yang perlu digarisbawahi terkait 'siapa' yang dapat diharapkan menjadi pewarta BANGGA adalah soal kualitas kehadiran mereka di kampung. Sebab 'pahamisasi' tidak bisa dilakukan dengan sekali kunjungan, seperti umumnya kegiatan sosialisasi. Dibutuhkan figur yang sesuai untuk menjawab pembelajaran dalam fakta keterpencilan lokasi tinggal anak-anak yang berhak menjadi calon penerima manfaat Program BANGGA Papua.
Pada pertengahan Mei 2019 yang lalu, berlangsung pelatihan yang menyasar kader Posyandu senior, bidan Puskesmas/kampung dan tim penggerak PKK di Kabupaten Paniai. Pelatihan dengan peserta ‘khusus’ di luar anggota sekber ini, dilaksanakan berdasarkan hasil diskusi mendalam dengan tim komunikasi Sekber Kabupaten Paniai.
Dalam proses temu kenal peran pembawa pesan dalam diskusi tersebut, untuk Paniai, para pembawa pesan yang dinilai tepat adalah para kader Posyandu senior dan bidan Puskemas/kampung. Disebut 'kader senior', karena mereka sudah lama tinggal dan bekerja di 10 distrik lama/distrik tua di Paniai, jauh sebelum distrik-distrik itu dimekarkan sebagai distrik baru, atau pun menjadi wilayah kabupaten baru yang berbatasan dengan Paniai, seperti Kabupaten Intan Jaya dan Deiyai.
Selain para kader dan bidan kampung, pelatihan komunikasi ini, juga merangkul Tim Penggerak PKK yang memiliki aset sumber daya hingga ke tingkat dasawisma, yaitu kelompok yang terdiri dari 10-20 Kepala Keluarga (KK) dalam satu RT. Para kader dan bidan kampung ini tinggal bersama atau dekat dengan masyarakat yang dilayaninya. Mereka memahami dengan baik tantangan-tantangan kesehatan ibu dan anak yang ada di masyarakat. Mereka dipercaya masyarakat.
Jembatan Keledai dari Paniai
Pelatihan Komunikasi Persuasif BANGGA Papua memang didesain untuk memberi porsi yang seimbang bagi peserta untuk mempraktikkan teori-teori yang diperoleh. Tapi untuk meningkatkan level efektifitas komunikasi dari 'sosialisasi' menjadi 'pahamisasi', pewarta sendiri harus percaya pada pesan yang akan diteruskan.
Sang pewarta harus menemukan jembatan gagasan antar dua sisi yang berseberangan. Untuk melakukannya, mereka harus mengasah pengetahuan dan pengenalan mereka tentang dalam-dangkal bagian-bagian sungai, sehingga mereka dapat menyeberangkan pemahaman pada titik yang tepat.
Jembatan keledai BANGGA Papua dengan bantuan satu tangan dan jari-jemari, akan menolong siapa saja mengingat lima prinsip BANGGA Papua dan menarasikan tujuan-tujuan BANGGA Papua. Begitu pula sesi praktik pelatihan untuk para kader senior, bidan Puskesmas/kampung dan anggota TP-PKK Kabupaten Paniai, telah melahirkan jembatan-jembatan pemahaman yang sangat menginspirasi.
200.000 Rupiah Bukanlah Fokus Program
Hari terakhir pelatihan, seperti sebelumnya, ditutup dengan sesi ‘tongkat kesan’. Dalam sesi ini setiap orang diberi kesempatan menyampaikan kesan terhadap pembelajaran yang mereka peroleh dalam satu setengah hari pelatihan.
“Saya percaya, uang 200 ribu ini bisa menjadi berkat. Seperti 5 roti dan 2 ikan, yang setelah diberikan kepada 5000 orang makan kenyang, masih sisa 12 keranjang penuh,” Mama Beatrice – kader Posyandu.
Kisah 5 roti 2 ikan, dengan pengumpulan 12 keranjang sesudah semua orang makan hingga kenyang, yang disebut itu, merupakan kutipan cerita dalam kitab suci Kristiani, di mana Yesus membuat mukjizat, memberi makan 5000 orang hanya dengan 5 roti dan 2 ikan, tetapi setelah semua orang makan kenyang, dan sisa rotinya dikumpulkan, terkumpul 12 keranjang penuh.
“Saya pikir BANGGA Papua itu hanya bagi-bagi uang. Tetapi ternyata ada pengetahuan tentang bagaimana kita berikan anak-anak gizi yang baik dan bagaimana dengan memberikan gizi yang baik, kita selamatkan generasi Papua. Dua ratus ribu itu hanya penopang saja” – Vivian Gobai, Sekretaris TP-PKK.
Sungguh Jejak Cara Pikir yang Sangat Positif
Program intervensi bantuan langsung tunai cenderung akan dihadang komentar miring terkait jumlah dana, serta efektifitas dana di tangan penerima manfaat. BANGGA Papua tidak terkecuali. Dalam simulasi pada pelatihan mau pun pada uji coba sosialisasi oleh peserta pada pelatihan sebelumnya, komentar tentang dana Rp 200 ribu ini bersifat pesimis. Misalnya, “200 ribu itu sedikit, sebentar saja su habis. Tra cukup.”
Tetapi para kader Posyandu dan bidan kampung ini mampu melihat bahwa uang Rp 200 ribu, bukanlah fokus program BANGGA Papua. Fokus utamanya adalah perubahan cara pikir masyarakat agar mau memprioritaskan peningkatkan gizi dan kesehatan anak. Tidak berhenti di situ saja, tapi ada visi masa depan yang bersifat generasional dalam pemikiran yang tumbuh sepanjang proses ToT.
“Saya pikir, BANGGA Papua ini hanya bagi-bagi uang saja. Ternyata ada pengetahuan yang diberikan kepada masyarakat, yaitu tentang pentingnya gizi untuk anak, bahaya stunting yang mengancam Papua dan kesejahteraan OAP.” Seorang peserta lain mengatakan, “BANGGA Papua ini bisa menjadi berkat bagi anak-anak kami.” Mereka melihat program BANGGA Papua dari sudut pandang yang optimis.
Belajar dari Paniai
Cerita dari pembelajaran ‘jembatan keledai ala Paniai’ adalah cerita tentang kemampuan membangun jembatan pemahaman yang bersifat lokal. Kemampuan membangun jembatan penyeberangan gagasan seperti dalam frasa ‘2 ikan, 5 roti, sisa 12 bakul’ bersanding dengan frasa ‘200 ribu itu sedikit, sebentar saja su habis. Tra cukup,’ niscaya akan terbaca dan dipahami sebagai tanda telah terjadi perubahan cara pandang yang mendasar dalam merespon dukungan.
Kemampuan membangun jembatan gagasan adalah menemukan cara membuat yang kita kenal dengan nama ubi jalar dikenali sebagai 'ipere' di wilayah kaum Dani, atau 'nokta' di Paniai, kawasan kaum Mee dan Moni. Ubi jalar, ipere atau nokta adalah benda yang sama, dengan nama lokal. Demikian yang bisa kita harapkan, ketika orang yang tepat, menyampaikan pesan dengan meniti jembatan yang pas. Bahkan yang asing dan rumit, menjadi dekat. Lekat.