Gelisahnya jadi Perempuan di Lombok: Dari Catcalling ke Femisida
Penulis : Ayu Riska Amalia
  • Dok.Yayasan BaKTI
    Dok.Yayasan BaKTI

Dalam budaya patriarki, perempuan yang berpikir dianggap melawan dan yang bersuara disebut berisik. Melihat situasi hari ini, saya ingin sedikit  bersuara tentang  gelisahnya menjadi perempuan di Lombok. 

Saat berselancar di media sosial, perhatian saya terhenti pada sebuah video; tubuh seorang mahasiswi tergeletak tak bernyawa di pantai yang terkenal dengan pesonanya. Ironisnya, inilah potret paling jujur tentang dua wajah Lombok yang sering muncul di media. Tempat wisata yang nyaman di mata, namun tidak aman bagi wanita. Hampir setiap hari terdengar berita seorang siswi yang dilecehkan gurunya, istri dipukuli suaminya dan  anak yang dinodai keluarga terdekatnya. 

Komnas perempuan mencatat setidaknya terdapat 976 kasus kekerasan seksual di Nusa Tenggara Barat selama periode 2024-2025. Dari catcalling, pelecehan seksual, hingga femisida (pembunuhan dilakukan kepada perempuan karena dia Perempuan) menjadi kenyataan sehari-hari. Perempuan seakan tidak punya ruang aman: di jalan disiuli, di rumah pun dipukuli. 

Femisida yang mengkhawatirkan

Sebulan terakhir, Lombok diresahkan sederet kasus pembunuhan. Perempuan berinisial N (27) ditemukan tewas dicor oleh kekasihnya di Lombok Barat. Hanya beberapa minggu sebelumnya, seorang karyawati bandara berinisial BMPF (28) dibunuh suaminya di Lombok Tengah. Seolah tidak berhenti disitu, baru-baru ini mahasiswi berinisial MV (19) ditemukan di pantai Nipah Lombok Utara, dan  otopsi mengindikasikan adanya kekerasan seksual.  

Deretan kasus pembunuhan terhadap perempuan ini bukanlah anomali, melainkan hasil eskalasi kekerasan yang dinormalisasi oleh lingkungan sosial. Liz Kelly menggunakan teori Continuum of Sexual Violence untuk menjelaskan bahwa setiap bentuk kekerasan saling terhubungKetika kekerasan yang lebih ringan dinormalisasi, maka ia kerap meningkat menjadi kekerasan-kekerasan lainnya. Femisida merupakan puncak dari pola kekerasan panjang pada perempuan dan sebagian besar  kekerasan ini dilakukan orang terdekat

Seperti halnya kasus kekerasan berbasis gender di berbagai belahan dunia, tingginya angka kekerasan di Lombok tidak dapat dijelaskan dengan satu faktor saja. Johan Galtung dalam Peace by Peaceful Means (1996) menjelaskan ada banyak faktor yang berperan dimana sistem sosial dan budaya menciptakan kondisi yang mengekang dan merugikan perempuan. Dalam konteks ini, budaya patriarki, tafsir agama yang bias, ketimpangan ekonomi, penegakan hukum yang lemah, dan kegagalan negara dalam berbagai aspek kehidupan masing-masing memiliki andil.

Budaya dan Agama

Saya bertanya-tanya, mengapa di mana nilai agama sangat dijunjung tinggi, pelecehan terhadap perempuan justru berada pada angka yang sangat mengkhawatirkan. Namun demikianlah adanya jika agama ditafsir dengan kamus patriarki hanya untuk menguntungkan kaum dominan. Foucault menegaskan dalam bukunya Discipline and Punish (1975), bagaimana kuasa muncul melalui mekanisme pengetahuan, norma, dan ritual yang membentuk kepatuhan. Kasus “Walid Lombok” adalah contoh bagaimana otoritas religius dipakai untuk menormalisasi kekerasan seksual dan dalam relasi kuasa yang timpang, korban bisa saja kehilangan ruang berpikir kritisnya. 

Dari sisi budaya, terdapat pola familiar yang ditemukan di tatanan masyarakat patriarki. Perempuan dinikahkan di usia yang muda hingga kehilangan akses pada pendidikan, dibatasi pada pekerjaan rumah tangga, tidak bekerja, lalu bergantung secara finansial pada suami. Alhasil, saat mereka mengalami kekerasan, sangat sulit untuk keluar karena tidak mandiri secara ekonomi dan masyarakat justru menghukum.  Belum lagi, korban kekerasan dibungkam oleh sistem, sehingga lebih mudah diam menanggung luka, daripada berhadapan dengan stigma sosial dan penghakiman masyarakat kita. Jangankan di masyarakat luas, di lingkungan akademik saja seringkali pelecehan seksual dibalut candaan dilayangkan pada perempuan dan reaksi kemarahan dianggap ‘merusak suasana’. Sungguh tidak mudah menjadi perempuan. 

Negara yang turut serta

Lahirnya Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS) setelah 38 tahun meratifikasi Konvensi CEDAW, terbilang lambat jika dibandingkan dengan negara tetangga, Filipina, yang sudah mengesahkan Anti-Rape Law sejak 1997 dan Anti-Sexual Harassment Act (1995). Undang-Undang ini merupakan perwujudan kewajiban internasional Indonesia dan menjadi tonggak kemajuan hukum terhadap perlindungan Perempuan. Namun pasca disahkannya, kekerasan seksual di Indonesia masih saja tinggi. Aturan turunan seperti Peraturan Pemerintah sudah diterbitkan, namun efektivitas di lapangan masih menghadapi kendala. 

Peraturan Pemerintah Nomor 29 Tahun 2025 Dana Bantuan Korban Tindak Pidana Kekerasan Seksual (DBK-TPKS) misalnya, belum secara lengkap menjabarkan mekanisme eksekusi restitusi yang bisa menjadi beban administratif dan melemahkan perlindungan yang dijanjikan UU TPKS. Selain itu, Peraturan Pemerintah Nomor 30 Tahun 2025 masih terkendala teknis dan implementasi yang timpang di daerah. 

Meski DPR sudah meloloskan UU TPKS, mereka terlihat masih kurang serius di tahap pengawasan dan anggaran, belum seserius memastikan kenaikan gaji dan tunjangannya. Sehingga, regulasi ini masih mandek pada tataran normatif dan belum menyelesaikan permasalahan di tingkat akar rumput, seperti di NTB. 

Negara di bawah CEDAW memiliki positive obligation: to respect, to protect, and to  fulfil hak  atas kesetaraan  serta menghapus diskriminasi terhadap Perempuan. Artinya, Indonesia tidak hanya wajib menyusun regulasi, tapi juga memastikan hukum itu bekerja dan berjalan efektif. Sehingga apabila kelalaian negara dalam menyediakan  instrumen yang menjamin pelaksanaan berjalan efektif melanggengkan kekerasan berbasis gender, maka negara juga dianggap melakukan pelanggaran terhadap HAM itu sendiri. Hal ini dapat digolongkan sebagai kekerasan yang dilakukan negara (state violence). 

Regulasi yang masih tersandera patriarki

Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga sudah disahkan sejak dua dekade yang lalu sebagai regulasi dekonstruksi patriarki di lingkungan rumah tangga. Namun pada kenyataannya aparat penegak hukum di daerah, termasuk di Pulau Lombok,  masih kerap menganggap KDRT sebagai ‘aib keluarga’ yang sebaiknya tidak diproses hukum, melainkan diselesaikan lewat rujuk. Pemandangan ini tidak perlu terjadi jika implementasi undang-undangnya diperkuat dengan  penerapan SOP yang tegas dan tidak hanya garang di atas kertas, supaya kekerasan ini tidak lagi dianggap  urusan rumah tangga dan tidak ada lagi komentar yang tidak sensitive dan nirempati. Sebab KDRT dapat membuat korban bertahan dalam sebuah relasi berbahaya hingga kekerasan terjadi dalam berbagai bentuk dan meningkat. 

Selain itu, meskipun Undang-Undang Perlindungan Anak  telah melarang pernikahan anak, pernikahan anak masih terus dijalankan dan dilegitimasi atas nama adat dan agama. Data Lembaga Perlindungan Anak Provinsi Nusa Tenggara Barat dan UNICEF (2025) menunjukkan tingginya praktik ini di Lombok dengan 29,9% di Lombok Tengah, 21% di Lombok Timur, dan 19% di Lombok Utara, di lima desa masing-masing, lebih tinggi dibandingkan prevalensi rata-rata provinsi (17.32%). Juga, walau usia minimal perkawinan dinaikkan melalui Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2019, dispensasi masih terlalu mudah diberikan Pengadilan Agama setempat. Padahal pernikahan anak dapat menciptakan relasi kuasa yang sangat timpang, sehingga kekerasan terjadi sejak usia belia.  

Bentuk kekerasan di atas, hanya sekelumit dari permasalahan yang dihadapi Perempuan di Lombok. Untuk menghapuskan kekerasan terhadap perempuan negara harus memastikan keberadaan undang-undang, aturan turunan, instrumen teknis hingga mekanisme lapangan yang menjamin penghormatan, perlindungan dan pemenuhan hak perempuan benar-benar direalisasikan, serta, yang tidak kalah pentingnya, melepaskan masyarakat  dari jerat patriarki. Sangat disayangkan jika daerah wisata yang diberkahi dengan panorama indah dan masyarakat ramah, masih membuat perempuannya resah. Perubahan sangat mungkin dilakukan jika negara serius menjalankan kewajibannya terhadap hak-hak perempuan dan masyarakat tidak lagi melihat kesetaraan sebagai ancaman. Seperti perempuan Indonesia pada umumnya, perempuan di Lombok berhak merasa aman, bukan lagi gelisah mendapatkan catcalling di jalan-jalan dan femisida yang kerap menjadi berita. 

 

Info Lebih Lanjut:

Penulis adalah Dosen Pengajar HAM dan Humaniter Internasional; Ketua Pusat Kajian: Center for Cyber Law and Digital Justice, FHISIP, Universitas Mataram.

Tulisan ini merupakan versi revisi dari yang sebelumnya telah terbit di Lombok Post Online pada Senin, 1 September 2025.

 

Submission Agreement

Terimakasih atas  ketertarikan Anda untuk mengirimkan artikel ke BaKTINews. Dengan menyetujui pernyataan ini, Anda memberikan izin kepada BaKTINews untuk mengedit dan mempublikasikan artikel Anda di situs web dan situs afiliasinya, dan dalam bentuk publikasi lainnya.
Redaksi BaKTINews tidak memberikan imbalan kepada penulis untuk setiap artikel yang dimuat.  Redaksi akan mempromosikan artikel Anda melalui situs kami dan saluran media sosial kami.
Dengan mengirimkan artikel Anda ke BaKTINews dan menandatangani kesepakatan ini, Anda menegaskan bahwa artikel Anda adalah asli hasil karya Anda, bahwa Anda memiliki hak cipta atas artikel ini, bahwa tidak ada orang lain yang memiliki hak untuk ini, dan bahwa konten Artikel Anda tidak mencemarkan nama baik atau melanggar hak, hak cipta, merek dagang, privasi, atau reputasi pihak ketiga mana pun.

Anda menegaskan bahwa Anda setidaknya berusia 18 tahun dan kemampuan untuk masuk ke dalam kesepakatan ini, atau bahwa Anda adalah orang tua atau wali sah dari anak di bawah umur yang menyerahkan artikel.
 
Satu file saja.
batasnya 24 MB.
Jenis yang diizinkan: txt, rtf, pdf, doc, docx, odt, ppt, pptx, odp, xls, xlsx, ods.