“Kalau hujan deras turun, saya tidak berani keluar rumah. Suaranya terlalu bising, saya kehilangan arah,” tutur seorang difabel netra di Makassar. Baginya, gemuruh hujan membuat pendengarannya tidak berfungsi dan menghambat mobilitasnya.

Di Maros, seorang perempuan difabel bertubuh kecil terjebak di rumah panggung bersama kakak dan keponakannya yang juga seorang difabel, ketika banjir mencapai setinggi dada orang dewasa. Tim penyelamat lebih dulu mengevakuasi pasien puskesmas dan hewan ternak. Ia hanya bisa menunggu, dengan rasa cemas yang menumpuk seiring air yang kian naik.

Kisah-kisah semacam ini menggambarkan kenyataan bahwa krisis iklim memang menimpa semua orang, tetapi difabel menanggung beban lebih berat. Kerentanan mereka berlapis, dari akses informasi, mobilitas, hingga kebutuhan dasar. Ironisnya, kelompok besar ini justru jarang masuk dalam peta kebijakan iklim dan kebencanaan di Indonesia.

Menurut data Badan Pusat Statistik (BPS), ada sekitar 22,9 juta difabel di Indonesia atau hampir 8,5 persen dari total penduduk. Artinya, satu dari dua belas orang Indonesia adalah difabel.

Namun, meski jumlahnya signifikan, keberadaan mereka sering tak tercermin dalam rencana adaptasi iklim maupun penanggulangan bencana. Dokumen perencanaan nasional maupun daerah kerap disusun dengan pendekatan “seragam,” tanpa memperhitungkan kebutuhan spesifik difabel. Padahal, menutup mata pada mereka berarti mengabaikan hampir sepersepuluh warga negara.

Hidup Sehari-hari dalam Bayang Bencana

Dari Mei hingga Juli 2025, saya berbincang dengan sejumlah komunitas difabel di Makassar. Cerita yang muncul menegaskan betapa perubahan iklim telah menyulitkan kehidupan sehari-hari mereka.

Di musim kemarau, persoalan utama adalah air bersih. Banyak difabel harus membeli air galon dengan harga tinggi. Bantuan pemerintah, kalau pun ada, sering datang terlambat. Bagi difabel netra, sekadar membeli air saja memerlukan bantuan orang lain karena keterbatasan mobilitas. Ketergantungan semacam ini membuat mereka semakin rentan ketika bantuan tidak merata.

Saat banjir melanda, masalah bertambah. Difabel fisik menghadapi risiko jatuh ketika berjalan di jalan yang tergenang. Difabel netra kehilangan orientasi karena suara hujan menutup kemampuan pendengaran mereka. Difabel tuli sulit mengakses informasi darurat karena sebagian besar disiarkan lewat pengeras suara atau radio.

Hal-hal yang bagi sebagian orang dianggap ‘sekadar bencana’ berubah menjadi krisis berlapis bagi difabel. Mereka menghadapi hambatan fisik, sensorik, dan sosial secara bersamaan.

Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) mencatat 3.472 kejadian bencana sepanjang 2024, sebagian besar berupa banjir, cuaca ekstrem, dan kekeringan. Angka ini menunjukkan tren bencana yang semakin sering terjadi dan meluas.

Namun di balik angka besar itu, tidak ada data khusus tentang difabel seperti mengenai berapa yang terdampak, bagaimana mereka dievakuasi, atau apa kebutuhan mereka setelah bencana. Tanpa data ini, sulit berharap ada kebijakan yang benar-benar melindungi.

Selain ancaman langsung berupa banjir dan kekeringan, difabel juga menghadapi risiko kesehatan yang meningkat. Alat bantu seperti kursi roda dan tongkat sulit dijaga kebersihannya ketika rumah tergenang. Ketika listrik padam berjam-jam, perangkat komunikasi dan alat bantu mobilitas difabel netra ikut lumpuh. Kondisi ini membuat mereka semakin terisolasi di saat paling genting.

Beban Tambahan bagi Perempuan Difabel

Krisis iklim memperburuk ketidaksetaraan gender, terutama bagi perempuan difabel. Kebutuhan air mereka lebih banyak terutama saat menstruasi, melahirkan, dan merawat anak. Dalam antrean air bersih, mereka sering kalah oleh laki-laki yang lebih kuat membawa jeriken. Banyak yang terpaksa membayar orang lain untuk mengangkut air, menambah beban ekonomi keluarga.

Pada puncak El Niño 2023, BMKG mencatat kekeringan berkepanjangan yang memengaruhi 23.451 hektar sawah, dengan hampir 7.000 hektar di antaranya gagal panen. Dampak ini bukan hanya soal pangan, tapi juga kesehatan masyarakat. Kementerian Kesehatan melaporkan lebih dari 210 ribu kasus demam berdarah sepanjang 2024 dengan lebih dari seribu kematian. Perubahan pola musim, banjir, dan genangan menjadi ladang subur bagi penyakit lingkungan.

Dalam situasi seperti ini, perempuan difabel berada di posisi paling rentan. Mereka memikul beban ganda yaitu menjaga diri sendiri dan mengurus keluarga di tengah keterbatasan akses.

 

Resiliensi yang Dipaksa

Meski dihadapkan pada kondisi sulit, banyak difabel menemukan cara untuk bertahan. Seorang difabel netra menyimpan daftar nomor depot air untuk memastikan akses ketika kemarau panjang. Difabel fisik lain menyiapkan stok beras untuk menghadapi paceklik. Ada pula yang mengubah jam kerja agar tidak kepanasan di rumah berdinding seng.

Namun resiliensi ini bukan hasil dukungan sistem, melainkan keterpaksaan. Mereka terpaksa tangguh karena tak ada pilihan lain. “Menjadi difabel berarti otomatis harus tangguh,” ujar seorang perempuan difabel dari Persatuan Tunanetra Indonesia Sulawesi Selatan. Kalimat itu lebih mencerminkan kritik daripada kebanggaan.

Ironisnya, landasan hukum sebenarnya cukup jelas. Undang-undang Nomor 8/2016 menjamin kesetaraan hak penyandang disabilitas. Peraturan Kepala BNPB Nomor 14/2014 bahkan mewajibkan pembentukan Unit Layanan Disabilitas (ULD) di tingkat daerah. Di tingkat iklim, Indonesia memiliki Rencana Aksi Nasional Adaptasi Perubahan Iklim (RAN-API).

Sayangnya semua kerangka hukum itu masih jauh dari implementasi.

Pemetaan difabel belum menjadi bagian dari rencana kontinjensi bencana. Sistem peringatan dini masih tak aksesibel bagi Tuli maupun Netra. Begitu pula akses untuk mendapatkan air dan sanitasi yang higienis masih belum mempertimbangkan kebutuhan khusus difabel. Akibatnya, meski sudah ada aturan, difabel tetap menjadi kelompok paling rentan ketika bencana melanda.

Jika dilibatkan secara serius, organisasi difabel bisa menjadi mitra strategis pemerintah. Mereka memiliki jaringan komunitas hingga tingkat desa yang bisa digunakan untuk menyebarkan informasi iklim dan bencana. Sayangnya, kemitraan semacam ini jarang dibangun secara sistematis. Program yang ada sering berhenti di proyek jangka pendek, bukan integrasi jangka panjang dalam pembangunan daerah.

Indonesia juga sudah menyatakan komitmen di level global dengan meratifikasi Sendai Framework for Disaster Risk Reduction 2015–2030. Kerangka itu jelas menekankan pentingnya inklusi difabel di seluruh siklus pengurangan risiko bencana. Tetapi di tingkat daerah, penerjemahannya masih jauh tertinggal.

Pengalaman komunitas difabel seharusnya menjadi alarm bagi kita semua. Krisis iklim tak bisa dihadapi dengan pendekatan seragam. Resiliensi difabel tidak boleh lagi lahir dari keterpaksaan, tetapi dari sistem kebijakan yang adil dan inklusif.

 

Ada empat langkah mendesak yang bisa dilakukan. Pertama, pemetaan difabel berbasis data terpilah. Data ini perlu diintegrasikan dengan rencana kontinjensi BPBD dan Unit Layanan Disabilitas di tiap daerah. Kedua, sistem peringatan dini yang aksesibel. Informasi harus tersedia dalam teks sederhana, bahasa isyarat, dan deskripsi audio.

Langkah ketiga  yang juga mendesak untuk dilakukan adalah dukungan WASH inklusif. Akses air bersih dan sanitasi harus dirancang dengan memperhatikan kebutuhan spesifik difabel. Langkah keempat pengarusutamaan disabilitas. Isu difabel harus masuk dalam RAN-API dan seluruh dokumen adaptasi iklim daerah, sesuai prinsip Sendai Framework. Langkah-langkah ini adalah bentuk pengakuan bahwa difabel adalah warga negara dengan hak penuh, bukan sekadar penerima belas kasihan.

Krisis iklim memang tidak membedakan manusia. Namun, cara kita merespons sering kali masih diskriminatif. Difabel terpinggirkan dalam kebijakan, dipaksa tangguh dalam keterbatasan, dan jarang dilibatkan dalam perencanaan.

Saatnya mengubah pola pikir. Difabel bukan hanya penerima bantuan, tetapi juga subjek kebijakan. Mereka punya pengalaman, jaringan, dan strategi bertahan yang bisa memperkuat daya adaptasi bangsa ini.

 

Info Lebih Lanjut:

Penulis adalag aktivis disabilitas dan Direktur Yayasan PerDIK.

Tulisan ini merupakan versi revisi dari yang sebelumnya terbit di kompas.id pada 14 September 2025

Submission Agreement

Terimakasih atas  ketertarikan Anda untuk mengirimkan artikel ke BaKTINews. Dengan menyetujui pernyataan ini, Anda memberikan izin kepada BaKTINews untuk mengedit dan mempublikasikan artikel Anda di situs web dan situs afiliasinya, dan dalam bentuk publikasi lainnya.
Redaksi BaKTINews tidak memberikan imbalan kepada penulis untuk setiap artikel yang dimuat.  Redaksi akan mempromosikan artikel Anda melalui situs kami dan saluran media sosial kami.
Dengan mengirimkan artikel Anda ke BaKTINews dan menandatangani kesepakatan ini, Anda menegaskan bahwa artikel Anda adalah asli hasil karya Anda, bahwa Anda memiliki hak cipta atas artikel ini, bahwa tidak ada orang lain yang memiliki hak untuk ini, dan bahwa konten Artikel Anda tidak mencemarkan nama baik atau melanggar hak, hak cipta, merek dagang, privasi, atau reputasi pihak ketiga mana pun.

Anda menegaskan bahwa Anda setidaknya berusia 18 tahun dan kemampuan untuk masuk ke dalam kesepakatan ini, atau bahwa Anda adalah orang tua atau wali sah dari anak di bawah umur yang menyerahkan artikel.
 
Satu file saja.
batasnya 24 MB.
Jenis yang diizinkan: txt, rtf, pdf, doc, docx, odt, ppt, pptx, odp, xls, xlsx, ods.