Belajar dari Pendataan Pandemi COVID-19 untuk Mengendalikan HIV/AIDS di Indonesia

Benjamin Hegarty, The University of Melbourne; Amalia Puri Handayani, Universitas Katolik Indonesia Atma Jaya ; Kristal Spreadborough, The University of Melbourne, dan Priyanka Pillai, The University of Melbourne

Artikel ini untuk memperingati Hari AIDS Sedunia 1 Desember.

HIV/AIDS berbeda dengan virus corona dan COVID-19 dalam cara penularan, penyakit, dan patogennya.

Meski demikian, data yang akurat dan tepat waktu tetap menjadi hal penting untuk mencegah dan mengobati epidemi HIV di masyarakat. Dalam konteks, ini termasuk survei reguler yang mengevaluasi penyebaran virus dan mengetes berbagai komunitas, termasuk mereka yang tampak sehat tanpa gejala transmisi yang terlihat.

Untuk mengetahui data terbaru HIV, para pakar, aktivis dan pembuat kebijakan dapat mengunjungi database Kementerian Kesehatan dan menemukan laporan data HIV per kuartal.

Masalahnya, laporan ini cenderung ditampilkan dalam bentuk angka tanpa menyajikan konteks atau informasi pendukung. Misalnya, laporan kuartal pertama pada 2021 (Januari-Maret) memaparkan jumlah kasus HIV terdeteksi dan jumlah orang yang menerima pengobatan, 67% orang yang hidup dengan HIV tahu statusnya dan 27% orang rutin berobat.

Kami melihat bahwa sistem pengumpulan data program HIV di Indonesia, termasuk surveilans, monitoring, dan evaluasi memenuhi target konkret dan bermanfaat di level internasional, namun tidak begitu bermanfaat bagi komunitas sipil yang lebih luas.

Monitoring HIV berbasis data di Indonesia

Kita perlu belajar dari upaya mengendalikan pandemi COVID-19, bagaimana data dikumpulkan dan digunakan untuk mendeteksi kasus, mengkarantina, dan mengobati pasien. Pengumpul data tidak hanya otoritas kesehatan dan pemerintah seperti COVID19.go.id, tapi juga masyarakat sipil seperti KawalCOVID19 dan LaporCOVID.

KawalCOVID19 menunjukkan informasi terkini (pada waktu yang sebenarnya) terkait jumlah kasus, lokasi kasus, angka kematian, angka kesembuhan, status vaksinasi, peringatan kasus, dan lokasi rumah sakit. Sementara LaporCOVID-19 merupakan platform berbagi informasi tentang insiden terkait COVID-10 yang ditemukan oleh publik yang luput dari jangkauan pemerintah. Portal-portal ini juga mengumpulkan sumber terpercaya yang berisi informasi tentang pandemi dan mematahkan informasi keliru yang berkeliaran di antara komunitas.

Dalam kasus COVID-19, data digunakan untuk mengilustrasikan informasi pandemi yang relatif akurat dan tepat waktu. Data yang ditampilkan dalam dan KawalCOVID-19 dan LaporCOVID-19, misalnya, mendukung anjuran pelaksanaan tes yang semakin mudah diakses bagi komunitas rentan.

Dalam kasus HIV, organisasi berbasis komunitas dan akademisi juga telah berupaya untuk menyajikan informasi yang akurat dan tepat waktu. Namun, tantangan yang dihadapi terkait data yang tidak mudah diakses atau justru mudah disalahartikan. Pengunjung laman dilihat sebagai pakar, bukan orang awam. Informasi dalam bentuk PDF yang disajikan untuk memberi tahu tentang pemenuhan target pendataan HIV, bukan sebagai informasi publik.

Ketiadaan konteks dalam data HIV dapat menggiring pemahaman yang keliru dan—terburuknya—mempertebal diskriminasi bagi pengidap HIV. Meski ada upaya dari kampanye dan organisasi berbasis komunitas dalam menyediakan informasi relevan dan terkini, pihak media massa kerap mempublikasikan data HIV dengan sangat selektif.

Alhasil, terjadi kesalahan informasi dan peningkatan diskriminasi terhadap orang yang hidup dengan HIV dan populasi kunci.

Sebagai contoh, keterbatasan data digunakan untuk pembuatan kebijakan terkait wajib tes, alih-alih menggunakan metode berbasis bukti yang lebih berperspektif hak asasi manusia dan atau berdasarkan pengalaman populasi kunci.

Data HIV yang akurat dapat mendukung berkembangnya inisiatif penting, khususnya bagi populasi kunci yang mengikutsertakan pengguna jarum suntik, laki-laki yang berhubungan seks dengan laki-laki, transgender, pekerja seks, dan orang-orang yang berada di dalam penjara. Kelompok ini menghadapi tingkat kerentanan dan diskriminasi yang lebih tinggi daripada kelompok lain dalam masyarakat.

Informasi semacam itu, tanpa dilengkapi dengan konteks atau keterangan lebih lanjut terkait HIV, bisa berdampak pada pemahaman yang kurang akurat.

Pandemi COVID-19 menunjukkan nilai keterlibatan warga dalam memahami sains di belakang deretan angka. Proses pengumpulan data tentang HIV bisa belajar dari pengalaman itu yang kemudian diharapkan dapat berkontribusi dalam pemahaman menyeluruh terhadap epidemi dan mereka yang paling terdampak.

Maka itu, data dapat menjadi cara yang berguna bagi mereka agar bisa dilihat dan diakui untuk menerima dukungan.

Pendekatan berbasis data untuk epidemi dan pandemi

Pandemi COVID-19 bukan pandemi virus pertama yang dihadapi masyarakat Indonesia.

Pada 1987, otoritas kesehatan secara resmi menyatakan ada kasus HIV pertama di Bali, meski kemungkinan besar virus sudah beredar tanpa terdeteksi selama bertahun-tahun sebelumnya. Para perintis — mulai dari dokter, epidemiologis, sampai aktivis — bekerja mengembangkan diagnosis dan pelaporan data HIV yang efektif.

Pada 2003, perawatan pertama tersedia secara luas di Indonesia, enam tahun setelah obat HIV, highly active antiretroviral therapy (HAART), tersedia secara luas di Amerika Serikat. Sejak saat itu, terapi antiretroviral yang aman dan efektif telah menyelamatkan kehidupan jutaan orang Indonesia yang hidup dengan HIV.

Walau penyakit yang disebabkan virus dan sejarah pandemi berbeda, seperti pengendalian COVID-19, kebijakan efektif untuk mengatasi HIV memerlukan data tepat waktu dan otoritatif yang bisa disajikan dengan cara yang mudah dipahami orang awam.

Selama bertahun-tahun, model berbasis data HIV yang disebut kaskade perawatan atau “cascade of care semakin mengemuka dalam kebijakan internasional dan pendanaan. Kaskade menggunakan pendekatan 90-90-90. Maksudnya, 90% orang yang hidup dengan HIV mengetahui statusnya, 90% orang yang tahu status memulai pengobatan, dan 90% orang yang menggunakan obat akan mengurangi jumlah virus sehingga tidak terdeteksi dan mengurangi kemungkinan penularan. Ini disebut “treatment as prevention.”

Pendekatan 90-90-90 menekankan terpenuhinya target berdasarkan metrik yang menjadi persyaratan dari pemerintah dan lembaga. Pendekatan ini tidak menekankan penggunaan data oleh komunitas dan individu. Data yang digunakan untuk mengukur perkembangan target, tapi tidak mempertimbangkan kesehatan dan kesejahteraan komunitas sendiri, sebagai akibat dari HIV.

Langkah pemerintah Indonesia mengutamakan “Temukan-Obati-Pertahankan (TOP)” dan menyusun pengumpulan data serta laporan terkait kerangka HIV sebagai kerja biomedis murni tampaknya gagal mempertimbangkan faktor individu dan sosial yang berkontribusi dalam “mengakhiri AIDS.” HIV disebut sebagai tantangan biomedis melalui laporan dan target.

Benar bahwa pengumpulan data merupakan mekanisme untuk mengukur perkembangan dalam pencapaian target secara transparan, tapi tanpa konteks yang jelas dapat menciptakan narasi keliru terkait tujuan utama pendataan kasus HIV.

Rekomendasi

Pengumpulan data HIV, seperti KawalCOVID19 dan LaporCOVID-19, bisa dilakukan secara lebih kolaboratif, melibatkan warga dan pakar bersama-sama agar dapat lebih memahami bagaimana data dikumpulkan dan apa tujuan pengumpulannya.

Analisis data HIV juga dapat menyesuaikan kondisi lapangan sehingga dapat memperkuat respons di tingkat nasional dan mendukung pembuat kebijakan dengan menyajikan bukti ilmiah.

Kementerian Kesehatan perlu menyajikan data HIV/AIDS secara terbuka, seperti data COVID-19 disajikan dengan tampilan yang ramah pengunjung. Pemerintah harus menyajikan data HIV juga untuk kepentingan publik, bukan menunjukkan pemenuhan target semata.Image removed.

Benjamin Hegarty, McKenzie Fellow, The University of Melbourne; Amalia Puri Handayani, Peneliti PUI-PT PPH Pusat Unggulan Kebijakan Kesehatan dan Inovasi Sosial, Universitas Katolik Indonesia Atma Jaya, Universitas Katolik Indonesia Atma Jaya ; Kristal Spreadborough, Academic Specialist, The University of Melbourne, dan Priyanka Pillai, Health Informatics Specialist, The University of Melbourne

Artikel ini terbit pertama kali di The Conversation. Baca artikel sumber.

Submission Agreement

Terimakasih atas  ketertarikan Anda untuk mengirimkan artikel ke BaKTINews. Dengan menyetujui pernyataan ini, Anda memberikan izin kepada BaKTINews untuk mengedit dan mempublikasikan artikel Anda di situs web dan situs afiliasinya, dan dalam bentuk publikasi lainnya.
Redaksi BaKTINews tidak memberikan imbalan kepada penulis untuk setiap artikel yang dimuat.  Redaksi akan mempromosikan artikel Anda melalui situs kami dan saluran media sosial kami.
Dengan mengirimkan artikel Anda ke BaKTINews dan menandatangani kesepakatan ini, Anda menegaskan bahwa artikel Anda adalah asli hasil karya Anda, bahwa Anda memiliki hak cipta atas artikel ini, bahwa tidak ada orang lain yang memiliki hak untuk ini, dan bahwa konten Artikel Anda tidak mencemarkan nama baik atau melanggar hak, hak cipta, merek dagang, privasi, atau reputasi pihak ketiga mana pun.

Anda menegaskan bahwa Anda setidaknya berusia 18 tahun dan kemampuan untuk masuk ke dalam kesepakatan ini, atau bahwa Anda adalah orang tua atau wali sah dari anak di bawah umur yang menyerahkan artikel.
 
Satu file saja.
batasnya 24 MB.
Jenis yang diizinkan: txt, rtf, pdf, doc, docx, odt, ppt, pptx, odp, xls, xlsx, ods.