Penanganan Kasus Kekerasan dan Pelecehan Seksual pada Anak di Masa Pandemi COVID-19
Penulis : Arafah
  • Foto: Yusuf Ahmad/BASICS�
    Foto: Yusuf Ahmad/BASICS

Selama masa pandemi COVID-19, kasus kekerasan terhadap anak jumlahnya cukup tinggi. Berdasarkan data SIMFONI (Sistem Informasi Online Perlindungan Perempuan dan Anak)Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, per 1 Januari  hingga 19 Juni 2020 telah terjadi  3.087 kasus kekerasan terhadap anak, diantaranya 852 kekerasan fisik, 768 psikis, dan 1.848 kasus kekerasan seksual.  Pandemi COVID-19 memberikan dampak pada berbagai aspek kehidupan masyarakat baik dari sisi kesehatan, ekonomi, sosial, pendidikan, dan juga politik. Dampak yang signifikan juga terjadi pada kehidupan anak dan keluarganya.

Pandemi COVID-19 ini juga memberikan dampak lain, yaitu peningkatan risiko terjadinya kekerasan terhadap anak dan keluarganya. Tingkat stres yang tinggi, persoalan ekonomi keluarga, dan juga penerapan kebijakan isolasi serta karantina yang membatasi pergerakan masyarakat, menjadi pemicu terjadinya kekerasan. Peningkatan kasus ini tentu membutuhkan layanan yang memadai dan terjangkau bagi anak dan keluarga yang menjadi korban kekerasan.

Untuk meningkatkan perlindungan anak, maka dibutuhkan upaya-upaya yang harus dilaksanakan secara terkoordinasi sebagai upaya perlindungan dari Eksploitasi dan Pelecehan Seksual terhadap Anak selama masa pandemi COVID-19. Anak yang menjadi korban kekerasan membutuhkan bantuan terkait perawatan kesehatan, dukungan psikologi dan sosial, keamanan dan perlindungan hukum. Pada saat yang sama, tindakan-tindakan pencegahan harus dilakukan untuk mengenali penyebab dan faktor-faktor pendukung terjadinya kekerasan dalam keadaan tertentu. Lembaga/ instansi atau orang-orang  yang menyediakan pelayanan haruslah memiliki pengetahuan luas, terampil, dan bersungguh-sungguh menolong korban, dan mengambil tindakan-tindakan pencegahan yang efektif. Pencegahan dan penanganan kekerasan terhadap anak, membutuhkan tindakan terkoordinasi dari para pekerja perlindungan anak di banyak sektor/instansi terkait. 

Memahami kerentanan dan permasalahan perlindungan anak dalam situasi COVID-19 anak memiliki kerentanan yang sangat tinggi untuk mengalami gangguan di dalam berbagai aspek kehidupannya akibat dampak yang ditimbulkan oleh situasi kondisi selama Pandemi COVID-19. Anak-anak merupakan populasi yang mengalami dampak terburuk dari terjadinya bencana, terutama di negara-negara berkembang (Fothergill, 2017). 

Banyak hal yang menjadikan penyebab mengapa anak begitu rentan dalam kondisi darurat maupun kondisi pandemi COVID-19. Hal ini disebabkan karena; anak masih sangat bergantung pada orang-orang dewasa demi kelangsungan hidup mereka, anak juga rentan dimanfaatkan oleh pihak yang tidak bertanggungjawab. Anak-anak juga belum mampu berupaya untuk memperoleh hak-hak mereka, karena perkembangan yang belum matang dan pengetahuan anak- anak mengenai hak-hak yang mereka miliki masih terbatas.

Masa pandemi COVID-19, juga menimbulkan persoalan lain. Misalnya anak menjadi rentan terhadap terjadinya kekerasan dan pelecehan, baik kekerasan fisik maupun kekerasan seksual. Ruang-ruang privasi sangat terbatas, bahkan tidak ada. Sistem isolasi dan tetap di rumah, makin meningkatkan risiko bagi anak. Selain itu, Penggunaan media daring juga meningkatkan risiko anak mengalami pemanfaatan seksual secara online. Meski tahu bahwa dirinya mengalami kejadian yang tidak menyenangkan, namun banyak anak yang diam dan tidak menceritakan peristiwa yang dialami kepada siapapun. Kompleksitas kekerasan seperti bujuk rayu, serta pemanfaatan relasi kuasa dan kontrol oleh pelaku memengaruhi kondisi psikologis korban.

Selain kasus kekerasan yang dialami anak, angka Perkawinan Usia Anak juga meningkat. Kondisi ini terjadi karena tekanan ekonomi yang meningkat, tidak adanya rutinitas, paksaan dari orang tua, kehamilan di luar nikah.  Menurut data Direktorat Jenderal Badan Peradilan Agama yang diolah KPPPA, sejak Januari hingga Juni 2020, terdapat sekitar 34.000 permohonan dispensasi perkawinan yang masuk ke pengadilan agama. Sekitar 97% permohonan dispensasi itu dikabulkan, yang berarti perkawinan diizinkan. Permohonan dispensasi pada semester pertama tahun 2020 itu sendiri meningkat drastis dibanding dengan data keseluruhan tahun 2019, yakni dengan 23.700 permohonan.

 Memahami kode etik dan kebijakan mengenai keselamatan anak selama penanganan kasus

Sebelum melakukan penangan kasus, bagi siapa saja yang terlibat penting untuk mengetahui kode etik, dan kebijakan keselamatan anak.  Dalam bekerja dengan anak-anak, individu dan organisasi tempat relawan berafiliasi terikat pada pedoman atau kode etik berperilaku. Status anak juga tetap melekat apapun status perkawinannya. Termasuk jika sudah melahirkan, dia tetap harus dimaknai sebagai anak. Saat anak sudah menikah dan melahirkan, ia tetap diperlakukan sebagai anak yang memerlukan kebutuhan serta perhatian khusus.

Dalam penanganan kasus anak, suatu lembaga juga perlu memahami tenang kebijakan keselamatan anak. Kebijakan keselamatan ini merupakan suatu dokumen internal organisasi yang menyangkut prosedur, kebijakan, dan panduan untuk memastikan bahwa organisasi tersebut aman bagi anak. Bertujuan untuk memastikan setiap orang dalam organisasi menyadari dan merespon secara tepat isu kekerasan anak yang terjadi di lingkungan Lembaga. Berperilaku secara tepat terhadap anak dan tidak pernah melecehkan kepercayaan sebagai bagian dari organisasi yang melindungi anak. Melakukan kajian dan mengurangi resiko terhadap anak terkait aktivitas atau tindakan yang dilakukan.

Penanganan kasus juga memiliki tujuan-tujuan tertentu, antara lain untuk:

  • memastikan terpenuhi kebutuhan dasar anak dan keluarga sesuai dengan hak mereka.
  • memfasilitasi pelayanan terpadu untuk anak dan keluarga.
  • menciptakan dan meningkatkan dukungan lingkungan sosial anak dan keluarga dalam mencegah keterpisahan anak dari keluarganya.
  • meningkatkan kerja sama antar berbagai pemangku kepentingan perlindungan anak -> memberikan pelayanan yang optimal bagi anak dan keluarga serta komunitas lainnya.
  • memberikan masukan bagi perumusan kebijakan perlindungan anak.
  • menghasilkan model praktik penanganan kasus anak multidisiplin dalam perlindungan anak yang berbasis pada bukti-bukti dari lapangan.

Selain itu, prinsip-prinsip berikut adalah yang perlu diperhatikan dalam penanganan kasus anak.

  • Tidak melakukan hal yang membahayakan bagi anak
  • Penanganan harus ramah dan berpusat pada anak
  • Menjaga kerahasiaan
  • Memastikan akuntabilitas
  • Mendapatkan persetujuan
  • Mendapatkan persetujuan
  • Mematuhi standar etika
  • Memberdayakan anak dan keluarga
  • Proses dan layanan terstandar
  • Koordinasi dan kerja sama

Memahami Dukungan Psikososial Bagi Anak 

Setiap anak yang mengalami kekerasan seksual memerlukan trauma healing. Pendamping perlu menguasai keterampilan dalam melakukan trauma healing agar kondisi psikologis korban dan keluarga kembali pulih. Tujuan dukungan psikososial adalah agar korban melupakan kekerasan. Dukungan psikososial adalah dukungan (dalam bentuk berbagai bentuk kegiatan) yang diberikan untuk memulihkan kesejahteraan psikologis dan sosial dari individu atau komunitas yang mengalami peristiwa traumatis. Bertujuan untuk meningkatkan resiliensi anak, mencegah resiko mengalami kondisi kesehatan mental/psikologis yang menjadi lebih buruk, memberikan layanan yang lebih baik, termasuk merujuk anak ke layanan lain yang ia butuhkan.

Mengapa dukungan psikososial dibutuhkan?

  • Pendekatan yang menekankan pada hubungan yang dinamis antara aspek psikologis dan sosial seseorang, di mana kedua aspek tersebut saling terkait dan memengaruhi.
  • Kondisi psikologis seseorang dipengaruhi oleh kondisi sosialnya karena individu selalu berada dalam konteks sosial, dan sebaliknya, keadaan psikologis seseorang bisa memengaruhi bagaimana ia berinteraksi dengan lingkungan sosialnya.
  • Berfokus untuk menguatkan faktor resiliensi (aspek psikologis) dan  relasi sosial individu dengan lingkungannya (aspek sosial).          

Macam kegiatan dukungan psikososial

  • Dukungan dan dorongan untuk melakukan aktivitas sehari-hari (normalisasi), serta berpartisipasi aktif dalam kegiatan komunitas.
  • Penyebaran informasi untuk mencegah terjadinya kekerasan pada perempuan dan anak.
  • Penyebaran informasi mengenai reaksi-reaksi psikologis saat menghadapi peristiwa yang luar biasa dan bagaimana cara mengatasinya.
  • Pengadaan pusat informasi yang akurat untuk mendapatkan bantuan.
  • Pengadaan sistem keamanan (pencegahan kekerasan).
  • Menginisiasi kegiatan berkelompok untuk melakukan kegiatan spiritual.
  • Mengadakan kegiatan rekreasional ataupun vokasional.
  • Mengadakan kegiatan terstruktur bagi anak-anak dan remaja.

Submission Agreement

Terimakasih atas  ketertarikan Anda untuk mengirimkan artikel ke BaKTINews. Dengan menyetujui pernyataan ini, Anda memberikan izin kepada BaKTINews untuk mengedit dan mempublikasikan artikel Anda di situs web dan situs afiliasinya, dan dalam bentuk publikasi lainnya.
Redaksi BaKTINews tidak memberikan imbalan kepada penulis untuk setiap artikel yang dimuat.  Redaksi akan mempromosikan artikel Anda melalui situs kami dan saluran media sosial kami.
Dengan mengirimkan artikel Anda ke BaKTINews dan menandatangani kesepakatan ini, Anda menegaskan bahwa artikel Anda adalah asli hasil karya Anda, bahwa Anda memiliki hak cipta atas artikel ini, bahwa tidak ada orang lain yang memiliki hak untuk ini, dan bahwa konten Artikel Anda tidak mencemarkan nama baik atau melanggar hak, hak cipta, merek dagang, privasi, atau reputasi pihak ketiga mana pun.

Anda menegaskan bahwa Anda setidaknya berusia 18 tahun dan kemampuan untuk masuk ke dalam kesepakatan ini, atau bahwa Anda adalah orang tua atau wali sah dari anak di bawah umur yang menyerahkan artikel.
 
Satu file saja.
batasnya 24 MB.
Jenis yang diizinkan: txt, rtf, pdf, doc, docx, odt, ppt, pptx, odp, xls, xlsx, ods.