Pencegahan perkawinan anak yang telah dicanangkan Pemerintah Indonesia sejak Februari 2020, menjadi tonggak awal untuk merespon situasi dan kondisi perkawinan anak di Indonesia. Sejak saat itu, berbagai pihak utamanya pemerintah melalui sektor terkait terus mengampanyekan dan melakukan berbagai upaya pencegahan perkawinan anak.
Salah satu upaya yang dilakukan adalah penelitian dan pengkajian mengenai penyebab dan dampak terjadinya perkawinan anak. Dari sejumlah penelitian dan pengkajian tersebut, salah satu penyebab utamanya adalah ketiadaan sanksi bagi pihak yang berperan di dalam perkawinan anak, baik orang tua, wali, anggota keluarga dan aparat pemerintah yang memiliki kewenangan dalam administrasi.
Meskipun di dalam Undang Undang Perlindungan Anak disebutkan bahwa orang tua bertanggung jawab untuk mencegah terjadinya perkawinan pada usia anak-anak. Namun pada kenyataannya, masih banyak orang tua yang tidak menjalankan peran tersebut. Salah satunya disebabkan karena memang tidak ada sanksi tegas terhadap pihak-pihak yang terlibat terjadinya perkawinan usia anak.
Baik dalam Undang Undang Perkawinan maupun Undang Undang Perlindungan Anak, tidak tertera sanksi jika terjadi pernikahan di bawah umur ini. Anak dan sekaligus orang tua yang jelas-jelas dalam Undang Undang Perlindungan Anak wajib mencegah terjadinya perkawinan, tidak dibebankan apa-apa. Ditambah lagi dengan perilaku oknum pejabat pencatat akta nikah yang menaikkan atau mengatrol umur.
Dengan disahkannya Undang Undang No. 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS) maka pelaksanaan perkawinan merupakan tindak pidana dan telah diatur sanksi bagi pelaku perkawinan anak. Sanksi bagi pelaku dikategorikan atas:
1) Sanksi Pidana Pokok yaitu sanksi pidana penjara
2) Sanksi Pidana Denda
3) Sanksi Pidana Pemberatan (ditambah 1/3 dari pidana pokok)
4) Pembayaran Restitusi sebagai hak korban
5) Pidana tambahan
6) Pidana lain yang berkaitan dengan Tindak Pidana Kekerasan Seksual
Pidana Pokok, Denda dan Pemberatan
Terkait dengan sanksi pidana penjara, pidana denda dan pidana pemberatan diatur di dalam beberapa pasal yaitu pasal 10 dan pasal 15.
Pelanggaran atas perkawinan anak melanggar pasal 10 mengenai Pemaksaan Perkawinan:
(1) Setiap orang secara melawan hukum memaksa, menempatkan seseorang di bawah kekuasaannya atau orang lain, atau menyalahgunakan kekuasaannya untuk melakukan atau membiarkan dilakukan perkawinan dengannya atau dengan orang lain, dipidana karena pemaksaan perkawinan, dengan pidana penjara paling lama 9 (sembilan) tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah).
(2) Termasuk pemaksaan perkawinan sebagaimana dimaksud pada ayat (1):
a. perkawinan anak;
b. pemaksaan perkawinan dengan mengatasnamakan praktik budaya; atau
c. pemaksaan perkawinan korban dengan pelaku perkosaan.
Pemidanaan terhadap pelaku perkawinan anak ini, menjerat orang yang menikahi orang usia anak atau yang belum berusia 19 tahun berdasarkan Undang Undang No. 16 Tahun 2019 tentang Perkawinan. Juga menjerat siapa pun yang melakukan atau membiarkan terjadinya pemaksaan perkawinan dengan pidana penjara dan/atau pidana denda.
Sanksi pidana tidak hanya itu, tetapi di dalam UU TPKS juga mengatur mengenai pemberatan sanksi pidana penjara yang diatur di dalam pasal 15 (1), yang bunyinya:
(1) Pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5, Pasal 6, dan Pasal 8 sampai dengan Pasal 14 ditambah 1/3 (satu per tiga), jika:
- dilakukan dalam lingkup keluarga;
- dilakukan oleh tenaga kesehatan, tenaga medis, pendidik, tenaga kependidikan, atau tenaga profesional lain yang mendapatkan mandat untuk melakukan penanganan, pelindungan, dan pemulihan;
- dilakukan oleh pegawai, pengurus, atau petugas terhadap orang yang dipercayakan atau diserahkan padanya untuk dijaga;
- dilakukan oleh pejabat publik, pemberi kerja, atasan, atau pengurus terhadap orang yang dipekerjakan atau bekerja dengannya;
- dilakukan lebih dari 1 (satu) kali atau dilakukan terhadap lebih dari 1 (satu) orang;
- dilakukan oleh 2 (dua) orang atau lebih dengan bersekutu;
- dilakukan terhadap anak;
- dilakukan terhadap penyandang disabilitas;
- dilakukan terhadap perempuan hamil;
- dilakukan terhadap seseorang dalam keadaan pingsan atau tidak berdaya;
- dilakukan terhadap seseorang dalam keadaan darurat, keadaan bahaya, situasi konflik, bencana, atau perang;
- dilakukan dengan menggunakan sarana elektronik;
- mengakibatkan korban mengalami luka berat, berdampak psikologis berat, atau penyakit menular;
- mengakibatkan terhentinya dan/atau rusaknya fungsi reproduksi; dan/atau
- mengakibatkan korban meninggal dunia.
Restitusi (Hak Korban)
Restitusi adalah pembayaran ganti kerugian yang dibebankan kepada pelaku atau pihak ketiga berdasarkan penetapan atau putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap, atas kerugian materiel dan/atau immaterial yang diderita korban atau ahli warisnya.
Pembayaran ganti kerugian ini, dibebankan kepada pelaku yang diatur di dalam Pasal 16:
(1) Selain pidana penjara, pidana denda, atau pidana lainnya menurut ketentuan undang-undang, hakim wajib menetapkan besarnya Restitusi terhadap tindak pidana kekerasan seksual yang diancam dengan pidana penjara 4 (empat) tahun atau lebih.
Pemberian Restitusi kepada korban diatur di dalam pasal 30:
(1) Korban tindak pidana kekerasan seksual berhak mendapatkan Restitusi dan layanan Pemulihan.
(2) Restitusi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berupa:
- ganti kerugian atas kehilangan kekayaan atau penghasilan;
- ganti kerugian yang ditimbulkan akibat penderitaan yang berkaitan langsung sebagai akibat tindak pidana kekerasan seksual;
- penggantian biaya perawatan medis dan/atau psikologis; dan/atau
- ganti kerugian atas kerugian lain yang diderita Korban sebagai akibat tindak pidana kekerasan seksual.
Pidana Tambahan
Selain pidana penjara, pidana denda dan pidana pemberatan, di dalam pasal 16 juga mengatur mengenai pidana tambahan, yaitu:
(1) Terhadap ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), hakim dapat menjatuhkan pidana tambahan berupa:
- pencabutan hak asuh anak atau pencabutan pengampuan;
- pengumuman identitas pelaku; dan/atau
- perampasan keuntungan dan/atau harta kekayaan yang diperoleh dari tindak pidana kekerasan seksual.
(2) Ketentuan mengenai penjatuhan pidana tambahan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak berlaku bagi pidana mati dan pidana penjara seumur hidup.
(3) Pidana tambahan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dicantumkan dalam amar putusan pengadilan.
Tindak Pidana Lain
Undang-undang ini juga menetapkan mengenai tindak pidana lain yang berkaitan dengan tindak pidana kekerasan seksual. Ketentuan ini diatur di dalam Pasal 19: Setiap Orang yang dengan sengaja mencegah, merintangi, atau menggagalkan secara langsung atau tidak langsung penyidikan, penuntutan, dan/atau pemeriksaan di sidang pengadilan terhadap tersangka, terdakwa, atau Saksi dalam perkara Tindak Pidana Kekerasan Seksual, dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun.
Berbagai pengaturan mengenai sanksi pidana di dalam UU TPKS, diharapkan menjadi momentum untuk pencegahan perkawinan anak yang selama ini tidak dapat dicegah karena tidak adanya sanksi yang tegas. Semoga UU TPKS ini dapat mencegah perkawinan anak secara signifikan. Tentu saja melalui penegakan hukum dan implementasi yang konsisten dan berkelanjutan.[]