Ibu Yustina di Kota Parepare, Sulawesi Selatan dan Ibu Nini Kusniaty di Kota Ambon, Maluku adalah dua ibu yang terpanggil menjadi pendamping perempuan korban kekerasan. Panggilan ini lahir karena keprihatinan dan kepedulian yang besar kepada para perempuan yang menjadi korban kekerasan. Ibu Yustina sebelumnya pernah menjadi Korban Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT). Suami yang dikasihinya menikahi perempuan lain. Walaupun berat, Ibu Yustina tidak berlarut-larut meratapi kondisinya. Ia bangkit menjadi seorang perempuan yang tidak hanya mengurus diri dan anak-anaknya, tetapi bersedia mendampingi orang-orang yang membutuhkan bantuannya.
Ibu Yustina kemudian menjadi seorang kader Posyandu aktif yang mengurusi Balita hingga suatu waktu ia diajak bergabung ke dalam sebuah Kelompok Konstituen. Tidak tanggung-tanggung, tidak lama setelah bergabung, ibu Yustina menjadi Koordinator Kelompok Konstituen yang diberi nama Kelompok Konstituen Lestari. Beliau kemudian mulai sibuk mengurus berbagai kegiatan, termasuk pendampingan berbagai kasus kekerasan terhadap perempuan.
Pada masa awal berdiri, Kelompok Konstituen Lestari memang menerima berbagai pengaduan. Hanya saja tidak semua pengurus mempunyai kapasitas untuk mengurus dan mendampingi kasus. Hadirnya ibu Yustina, membuat kelompok ini dipercaya untuk mendampingi perempuan dan anak yang mengalami kekerasan. Sebagai seorang penyintas, ibu Yustina memiliki empati yang lebih dalam membantu korban-korban kekerasan untuk bangkit. Seringkali ia membagi pelajaran hidup yang dari pengalaman pahitnya.
Sayangnya, pendampingan oleh Ibu Yustina melalui Kelompok Konstituen Lestari tidak selalu mendapatkan respon positif. Ada saja anggota masyarakat yang menganggap Ibu Yustina dan Kelompok Konstituen ini sebagai orang-orang yang kurang kerjaan dan mengurusi urusan pribadi orang lain. Namun, Ibu Yustina dan teman-temannya di Kelompok Konstituen Lestari tidak selalu memedulikan omongan dan cibiran dari orang-orang tersebut. Karena ternyata, mereka yang sebelumnya mencibir itu pun akhirnya membutuhkan bantuan Kelompok Konstituen saat menghadapi masalah.
Sebagai pendamping, Ibu Yustina bekerja secara sukarela. Kerelaan dalam mengemban panggilan menjadi pendamping ini juga perlu dikelola bahkan dilembagakan. Seorang pendamping perlu memiliki pengetahuan tentang langkah-langkah penanganan korban kekerasan, bahkan penting bagi seorang pendamping seperti Ibu Yustina untuk mengetahui prosedur pelaporan kasus kekerasan kepada pihak berwajib.
Di Ambon, Maluku, Ibu Nini Kusniaty juga menjadi pendamping korban kekerasan. Ibu Nini Kusniaty adalah seorang aparatur sipil negara yang bertugas di Kantor Bea Cukai Kota Ambon. Ketika Kelompok Konstituen Walang Hatukau terbentuk di Negeri Batu Merah, Ibu Nini bergabung sebagai Ketua Seksi Data dan Informasi.
Sebelum bergabung dengan Kelompok Konstituen Walang Hatukau, Ibu Nini pernah menjadi Ketua RT 004/RW 01 Negeri Batu Merah. Saat menjadi Ketua RT, Ibu Nini terbiasa mengurus berbagai hal yang berhubungan dengan warganya, seperti membantu warga mengurus kartu penduduk, akta kelahiran, dan lain-lain.
Ada hal yang berbeda dialami Ibu Nini saat masih menjadi Ketua RT. Dahulu, Ibu Nini lebih pasif dalam melaksanakan tugas. Ia baru membantu warganya jika warga tersebut meminta bantuan. Walaupun demikian, sebagai seorang perempuan yang menduduki posisi Ketua RT, warga, terutama perempuan, lebih mudah menyampaikan pendapat dan keluhan kepada Ibu Nini. Ibu Nini kerap membantu warga menyelesaikan beragam masalah, khususnya yang berkaitan dengan perempuan dan anak. Kekerasan terhadap perempuan dan anak, serta anak putus sekolah adalah hal-hal yang paling sering ditanganinya kepada Ibu Nini.
Saat masih menjadi Ketua RT, Ibu Nini seringkali mengalami kesulitan dalam menyelesaikan kasus-kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak. Selain karena ia bergerak seorang diri dalam menyelesaikan kasus, ia pun belum mendapat dukungan yang dibutuhkan dari aparat pemerintah yang lebih tinggi. Selain itu Ibu Nini juga belum memiliki pengetahuan yang memadai terkait penanganan kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak. Bahkan saat itu ia belum memiliki jaringan pendukung dari lembaga lain yang berfokus pada perlindungan perempuan dan anak.
Dalam kalangan masyarakat di Negeri Batu Merah dan Kota Ambon, kekerasan terhadap perempuan dan anak masih dianggap sebagai urusan pribadi rumah tangga atau masalah domestik. Sehingga mendampingi korban untuk melaporkan kasus kekerasan yang dialami dianggap mencampuri urusan rumah tangga orang lain. Ini menjadi tantangan tersendiri yang dihadapi Ibu Nini.
Setelah bergabung dengan Kelompok Konstituen Walang Hatukau, Negeri Batu Merah, Ibu Nini berulang kali menyampaikan kepada masyarakat agar mengadukan masalah kepada kelompok. Ibu Nini juga aktif meningkatkan pengetahuannya tentang langkah-langkah penanganan kasus kekerasan dan memperluas jaringan pendukung.
Meningkatkan Pengetahuan
Melalui Kelompok Konstituen, Ibu Yustini dan Ibu Nini mendapat pelatihan mengenai Hak Asasi Manusia, Hak Asasi Perempuan, pengorganisasian, advokasi, dan pelatihan paralegal. Paralegal adalah tenaga yang memiliki kemampuan teknis, baik dalam menangani dan mendampingi korban, maupun jaringan dan advokasi. Ini menjadi salah satu kemampuan dasar yang dimiliki oleh pengurus Kelompok Konstituen yang mengelola Layanan Berbasis Komunitas atau Shelter Warga. Pelatihan paralegal bertujuan meningkatkan kapasitas pendamping, khususnya terkait proses hukum, mulai dari pemeriksaan kepolisian hingga proses pengadlian.
Selain memiliki pengetahuan tentang prosedur penanganan kasus, pendamping korban kekerasan perlu membekali diri dengan pengetahuan tentang kondisi psikologis korban kekerasan. Seorang korban kekerasan, baik perempuan maupun anak, seringkali berada pada posisi yang disalahkan bahkan dijadikan bahan lelucon oleh aparat. Situasi seperti ini dapat terjadi selain karena pemahaman aparat yang minim tentang perspektif korban, korban juga didampingi oleh pendamping yang tidak profesional.
Wawasan tentang kondisi psikologis korban menjadi penting dimiliki oleh pendamping agar dapat memberi dukungan moral yang dibutuhkan dan tidak menjadi pihak yang justru menyalahkan apalagi menyudutkan korban. Setelah mengikuti berbagai pelatihan dan rajin-rajin membekali diri dengan pengetahuan baru, Ibu Yustini dan Ibu Nini kini tidak lagi berjuang seorang diri. Para pendamping ini telah mengetahui bagaimana cara dan kapan waktu yang tepat mengakses layanan-layanan yang disediakan pemerintah untuk penanganan kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak.
Dengan bekal pengetahuan dan keterampilan baru yang dimiliki oleh pendamping korban kekerasan, layanan yang dikelola komunitas kini mampu mendeteksi dini berbagai kekerasan terhadap perempuan dan anak di masyarakat, sehingga dapat dilakukan pencegahan sejak awal. Perhatian dan dukungan masyarakat secara luas dapat mencegah kekerasan terhadap perempuan dan anak, sekaligus melindungi dan menyelamatkan korban lebih cepat.