Setiap kita sebagai manusia sejatinya memiliki hak dan kewajiban yang setara. Hal ini tertuang dalam Universal Declaration on Human Rights (UDHR) tahun 1948 dan ditunjang dengan Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang HAM yang berlaku di Indonesia. Berangkat dari hukum ini, kita seharusnya dapat sadar hak dan kewajiban sebagai manusia sudah kita miliki sejak lahir, termasuk hak kita untuk mendapatkan waktu untuk beristirahat dan cuti kerja. Perjalanan wisata menjadi salah satu on-top-list yang pasti dilakukan saat waktu libur telah tiba. Entah itu kota, desa, gunung, atau pantai, setiap orang memiliki cara masing-masing untuk menikmati waktu libur mereka.
Tak heran jika lokasi wisata selalu dipenuhi oleh banyak pengunjung dari penjuru dunia. Sepanjang tahun 2019, lebih dari 16 juta wisatawan dalam dan luar negeri datang ke Indonesia untuk melakukan perjalanan wisata dan berlibur. Kenaikan jumlah wisatawan turut mengambil andil besar terhadap perekonomian dan kesejahteraan masyarakat setempat. Dengan memanfaatkan kesempatan yang ada, banyak diantara masyarakat lokal menyediakan usaha barang dan jasa sebagai bagian dari mata pencaharian sehari-hari. Masyarakat lokal yang turut berkontribusi terhadap peningkatan perekonomian sektor pariwisata ini tidak hanya digeluti oleh laki-laki, perempuan pun memiliki pengaruh besar di dalamnya.
Hal ini dapat kita lihat dari dominasi perempuan yang memperkaya citra wisata dengan aneka ragam kuliner khas daerah, berjualan kain tradisional, hingga pernak-pernik yang dapat dijadikan buah tangan selepas berwisata. Tanpa sadar, perempuan pun menyebarkan budaya dan bahasa lokal kepada wisatawan.
Di sisi yang tak terlihat, kebanyakan dari mereka menanggung beban ganda - sebagai seorang ibu mengurus rumah tangga dan bekerja, beberapa diantaranya diusir atau kesulitan untuk berjualan dan beberapa yang lain hanya dapat melakukan pekerjaan domestik karena terikat oleh stereotype gender sebagai perempuan. Ini juga terjadi di sisi pengunjung perempuan saat berwisata. Salah satunya, rasa tidak aman dalam mengakses fasilitas publik masih dirasakan oleh perempuan. Padahal aturan mengenai jaminan wisatawan untuk mendapatkan hak perlindungan hukum dan keamanan telah diatur dalam Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2009 pasal 20 (c) tetapi kejadian ini masih terus terulang. Menurut catatan Komnas Perempuan, kamar mandi umum merupakan salah satu fasilitas publik yang paling tidak aman. Padahal kamar mandi umum menjadi fasilitas yang sangat vital bagi pengunjung, khususnya di tempat wisata.
Di sisi lain, survei yang dilakukan oleh Adventure Travel Trade Association (ATTA) pada tahun 2020 menyebutkan bahwa sektor pariwisata didominasi oleh wisatawan perempuan dibandingkan wisatawan laki-laki. Dimulai dari yang melakukan solo-traveler hingga yang berkelompok. Namun, fasilitas dan akses yang ditawarkan dalam sektor pariwisata masih kurang ramah dengan kebutuhan perempuan sebagai wisatawan.
Pada beberapa daerah di Indonesia, perempuan dari masyarakat lokal kurang mendapatkan ruang untuk mengutarakan pendapat dan menyatakan apa yang menjadi kebutuhan mereka. Kebanyakan daripada para perempuan ini masih terikat sistem patriarki yang ada di tempat mereka tinggal. Hal ini dikarenakan peran dan kontribusi perempuan masih belum dipandang penting sehingga perempuan - wisatawan dan masyarakat lokal - masih belum terwakili di dalam hak-hak mereka pada sektor pariwisata. Lalu, bagaimana situasi mengenai hal ini ditengah pandemi COVID-19?
Sejak tahun 2020, Indonesia telah berada dalam situasi pandemi hingga saat ini. Situasi pandemi mempengaruhi jumlah kunjungan wisata yang menurun sebesar 78,84 persen dibandingkan pada tahun 2019 lalu. Interaksi ekonomi di sektor pariwisata pun turut mengalami hal serupa. Situasi ini tentu tak dapat dihindari dan juga berimbas kepada masyarakat lokal yang tinggal di daerah wisata.
Mati surinya sektor pariwisata semakin memperburuk keadaan. Tentu saja masyarakat tidak dapat diam diri di rumah dan perlu tetap bekerja untuk melanjutkan hidup. Keselamatan hidup dipertaruhkan oleh masyarakat lokal yang sudah bertahun-tahun bertumpu pada sektor pariwisata.
Setelah hampir setahun lebih, Indonesia dapat kembali memulihkan sektor pariwisata dengan mencapai penurunan pada level Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) sebagai bagian dari upaya pemerintah untuk menekan jumlah orang yang terpapar COVID-19. Tak lengah, pemerintah dan aparat terkait terus mensosialisasikan protokol kesehatan saat melakukan perjalanan wisata dan menyediakan fasilitas tambahan seperti handsanitizer, masker medis, dan juga tempat mencuci tangan di titik-titik lokasi tempat wisata. Masyarakat lokal pun sudah mulai Kembali menghidupkan perekonomian dengan kembali berjualan dan menyediakan jasa dalam berwisata.
Namun, pariwisata ramah perempuan masih menjadi gema yang teredam oleh maraknya antusiasme masyarakat untuk bisa kembali beraktivitas secara offline. Padahal kasus perempuan yang mengalami perbuatan tidak menyenangkan bahkan pelecehan di ruang publik sebesar 1.902 kasus sampai 3 juli 2021 lalu menurut hasil survei yang dilakukan oleh Komnas Perempuan.
Perempuan sebagai wisatawan ataupun sebagai masyarakat lokal seharusnya bisa mendapatkan apa yang menjadi hak mereka. Hak atas keamanan dalam mengakses fasilitas umum, hak untuk dapat memiliki kesempatan yang sama untuk bekerja, dan juga hak untuk dapat berpartisipasi aktif dalam pengambilan keputusan dan perencanaan pariwisata berkelanjutan. Hal ini tentu tidak akan dicapai jika hanya keinginan dari sisi perempuan saja. Setiap elemen perlu memiliki kesadaran bahwa pariwisata tidak hanya perihal keberlangsungan alam tetapi juga perihal keberlangsungan peran perempuan yang menjadi salah satu faktor penting sektor pariwisata di Indonesia.
Meski ada keterbatasan karena pandemi COVID-19, rasa aman ini dapat tetap dilakukan dengan memberikan ruang bagi perempuan untuk mengutarakan apa yang menjadi kebutuhan mereka yang bisa dilakukan secara online, tempat-tempat wisata dapat diperketat dengan memberikan fasilitas kamera keamanan dibarengi dengan memperketat protokol kesehatan, memberikan pelatihan bagi perempuan untuk dapat memiliki usaha lokal dan mengembangkannya secara online, serta tak lupa untuk dapat bisa menghimpunkan laki-laki dan perempuan dari masyarakat lokal untuk bisa saling mendukung dan menolong demi tercapainya pariwisata ramah perempuan dan setara.
Peran kita secara pribadi dalam menghargai perempuan perlu juga dilakukan, seperti menghargai perempuan yang menawarkan produk jualan dengan santun, segera menolong saat melihat kejadian pelecehan atau perilaku kurang menyenangkan terhadap perempuan, dan tentunya mendukung perekonomian masyarakat lokal dengan membeli produk-produk lokal saat berwisata. Dengan begitu, kita dapat menciptakan keberlangsungan pariwisata berkelanjutan, setara dan inklusif tanpa rasa takut sebagai wujud kontribusi kita terhadap Tujuan Pembangunan Berkelanjutan di Indonesia.
Artikel bersumber dari https://berandainspirasi.id/tak-hanya-ramah-lingkungan-pariwisata-ramah-perempuan-sudah-kah