Pada 7 Maret 2024, Kemitraan bagi Pembaruan Tata Pemerintahan (KEMITRAAN) mendiseminasikan riset terbaru mereka. Riset berfokus pada kerentanan perempuan adat di Wangga Meti, Kecamatan Matawai La Pawu, Sumba Timur; Desa Malancan, Kecamatan Siberut Utara, Kepulauan Mentawai dan komunitas Etnis Cina Benteng, Kecamatan Kosambi, Tangerang. Temuan pentingnya, kekerasan seksual yang menimpa para perempuan di sana umumnya berakhir dengan denda adat, alih-alih penyelesaian yang lebih berperspektif korban.
Riset itu sendiri dilakukan lewat etnografi bersama Lembaga Antropologi (LAURA) UGM dan diskusi-diskusi mendalam KEMITRAAN dan sepuluh submitra. Riset yang dirumuskan dalam Kertas Kerja Ruang Keadilan bagi Perempuan Adat dari Kekerasan Seksual ini juga menganalisis regulasi tentang kekerasan seksual. Di antaranya, Undang-undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS), Rancangan Undang-undang Masyarakat Hukum Adat, serta Undang-undang Kitab Hukum Pidana (KUHP).
Kekerasan Seksual yang jadi bagian keseharian Olga Aurora, peneliti LAURA UGM di Sumba Timur menceritakan bagaimana masyarakat adat di sana masih memegang teguh hierarki sosial yang kuat. Di sana, terdapat tiga kasta, maramba atau golongan bangsawan, kabihu atau golongan merdeka, dan ata atau golongan hamba. Lewat pembagian kasta ini, kata Olga, perempuan terutama yang masuk dalam golongan hamba, rentan sekali mengalami kekerasan seksual berulang.
Relasi kuasa antara maramba dan ata begitu timpang. Lewat statusnya, maramba diberikan legitimasi penuh untuk melakukan apa saja kepada ata. Dalam satu kasus, Olga menemukan korban perempuan hamba yang mengalami pemerkosaan berulang hingga melahirkan beberapa anak dari bapak yang berbeda. Maramba yang memiliki ata membiarkan pemerkosaan itu terjadi.
“Pelaku justru bilang, toh kan anaknya jadi banyak. Kalau anaknya banyak bisa bantu bekerja. Korban sempat melarikan diri ke kota, tetapi karena maramba punya jaringan masyarakat yang kuat ia diambil kembali,” kata Olga.
Kasus lainnya, perempuan hamba yang dititipkan maramba untuk melanjutkan sekolah. Maramba yang kebetulan juga tokoh adat, memperkosa perempuan hamba hingga ia mengandung. Bukannya mendapat keadilan, korban yang menceritakan pengalaman kekerasannya, justru disalahkan dan dicap “perempuan gatal.” Tidak sanggup dengan kekerasan dan perlakuan yang ia terima, korban sempat berusaha mengakhiri hidupnya walau akhirnya gagal.
“Beruntung, korban diadvokasi. Pelaku dipenjara, tapi korban dikeluarkan dari sekolah karena anggapan perempuan gatal masih menempel,” jelas Olga.
Selain di Sumba Timur, kasus kekerasan seksual di masyarakat adat juga jamak ditemui di Mentawai. Santy Dwiningsih yang meneliti di Mentawai mengungkapkan, meski ada Peraturan Desa Malancan Nomor 1 Tahun 2022 (Perdes Malancan), kekerasan seksual di Mentawai masih jadi persoalan.
Dalam tiga bulan penelitian, ia mewawancarai korban anak yang diperkosa oleh sanak saudaranya sendiri beberapa kali. Tidak punya orang dewasa yang mendukungnya, mengalami trauma sangat besar, hingga tak mau percaya dengan orang lain.
Ada pula, korban yang mengalami pemerkosaan oleh seseorang dari posisi sosial tinggi. Relasi kuasa yang timpang ini membuat korban kesulitan mendapatkan pemulihan dan keadilan. Ia berbicara kepada orang dewasa yang ia percaya atas pengalaman kekerasan yang ia terima. Tapi bukannya mendapatkan rasa tenang dan perlindungan, ia malah disalahkan.
“Responsnya malah murka. Korban disalahkan, kenapa kamu mau diajak. Dia langsung merasa down lagi. Disampaikanlah ini ke orang tua. Ketika orang tua tahu, korban kembali disalahkan bahkan dapat hujatan dan pukulan. Meskipun ada Perdes, tidak ada dampak signifikan pada korban. Orang-orang punya kuasa bisa bayar lobi untuk menguburkan kasus,” jelas Santy.
Akar Kekerasan Seksual
Berbeda dengan di Sumba Timur dan Mentawai, di Komunitas Etnis Tionghoa-Cina Benteng, Tangerang kekerasan seksual berat jarang sekali terjadi. Kekerasan seksual yang terjadi sehari-hari lebih ke kekerasan seksual ringan dan menengah.
Dalam temuan peneliti Inda Marlina, di komunitas Cina Benteng, kasus kekerasan seksual bisa dikelompokan ke dalam empat kategori. Kategori pertama terdiri dari tindakan perselingkuhan dan poligami. Kategori kedua berupa pelecehan seksual secara verbal dan fisik. Kategori ketiga, terdiri dari pemaksaan menikah dan berhubungan seksual (marital rape). Untuk kategori keempat, lebih dekat dengan kekerasan berbasis gender, yaitu penelantaran dan ketimpangan pembagian peran domestik.
Ketimpangan pembagian peran domestik dan marital rape secara spesifik dialami perempuan karena laki-laki punya kuasa seperti raja atau majikan. Sedangkan pelecehan seksual verbal dan fisik, ungkap Inda, ditemui di berbagai ruang termasuk ruang publik. Misalnya, tempat judi dan pertemuan warga. Pelecehan ini celakanya banyak dinormalisasi.
Melihat perbedaan pola kekerasan seksual di Sumba Timur, Mentawai dan Komunitas Cina Bentang, Muhammad Zamzam Fauzanafi dari LAURA UGM menyampaikan bawah itu bisa terjadi karena perbedaan sistem sosial-kultural yang berlaku di sana. Pada masyarakat adat di Malancan dan Wanggameti, hierarki sosial dan ketimpangan kekuasaannya lebih tinggi dibandingkan dengan komunitas Cina Benteng.
Dalam penjelasan riset yang lebih terperinci yang diterbitkan KEMITRAAN, hierarki sosial dan ketimpangan kekuasaan ini terjadi karena dipengaruhi sistem adat dan kekerabatan yang masih menerapkan hirarki sosial berbasis kelas (Ata-Maramba), gender (sistem pertukaran/belis), dan material (kepemilikan tanah, hewan, jejaring bisnis). Di tiga basis struktur sosial ini lah, kekerasan seksual dan kekerasan berbasis gender bisa terjadi dengan intensitas tinggi. Sementara itu, di komunitas Cina Benteng yang tinggal di wilayah perkotaan, hirarki sosial-kultural yang timpang terlihat relatif lebih egaliter.
“Dibandingkan Cina Benteng, status adat membuat satu orang lebih tinggi dari orang lain, ada modal kekuasaan yang dipunya. Ini lalu berkelindan dengan struktur sosial lain di mana maramba juga menjadi pejabat desa misalnya. Status adat bercampur dengan status sosial sama halnya dengan di Mentawai, pelaku juga merupakan tokoh adat dan tokoh agama,” tutur Zamzam.
Selain itu, modernitas yang mengubah dinamika sosial budaya masyarakat adat juga berpengaruh pada terjadinya kekerasan seksual. Mentawai, kata Santy, kehilangan Uma, organisasi sosial dari yang berbentuk komunal di mana pengasuhan dan pengawasan terhadap anak-anak dilakukan bersama-sama dengan ketua adat yang posisinya bersifat egaliter. Namun lewat modernitas, hilangnya Uma menyebabkan raibnya pengawasan komunalitas.
Modernitas juga menghilangkan penghasilan masyarakat adat. Pembangunan yang dilakukan tanpa melibatkan mereka secara sistemik meminggirkan mereka. Mata pencaharian masa lalu masyarakat adat berpusat pada kegiatan berburu dan meramu. Tetapi karena pembangunan, hutan dan lahan dibabat habis sehingga mereka berganti mata pencaharian baru menjadi berladang.
“Orang tua ini harus bersusah payah berladang berkebun dan menanam padi, tidak punya waktu yang cukup memerhatikan anak-anak mereka di rumah tanpa pengawasan atau dititipkan ke orang lain. Saat-saat ini diambil oleh pelaku untuk melakukan kekerasan seksual,” tutur Santy.
Di sisi lain, imbuh Zamzam, modernitas ini pun tidak dibarengi dengan konvergensi hukum adat dan hukum negara. Kekerasan seksual di masyarakat adat dan etnis minoritas terjadi di ruang-ruang privat dan dekat dengan kehidupan keseharian. Dengan demikian, identifikasi kekerasan ini menjadi samar, sehingga seringkali dibenarkan oleh pelaku dan bahkan oleh korbannya. Hukum adat pun ditegakkan tapi tidak memberikan efek jera bagi pelaku apalagi berkontribusi pada pemulihan korban.
Di Wanggameti, kekerasan seksual yang biasanya terjadi di luar adat pernikahan, solusinya adalah ‘memasukkan’ kembali mereka yang terlibat kekerasan seksual ke dalam hukum adat pernikahan berupa pemberian belis atau denda. Dengan demikian, perlu adanya ruang aman dan layanan bagi korban atau perempuan yang rentan menjadi korban kekerasan seksual melalui konvergensi antara (hukum) adat, negara, lembaga keagamaan keluarga, dan lembaga lokal lainnya.
Konvergensi ini bisa diwujudkan salah satunya dalam Perdes yang memuat bentuk hukuman adat yang tidak bisa ditawar atau dilawan, perlindungan, perawatan dan pemulihan kondisi fisik, mental, dan sosio-kultural dari korban kekerasan seksual. Bagi pemerintah sendiri ada pekerjaan rumah yang menunggu.
Di saat bersamaan, pemerintah butuh membuka akses seluas-luasnya bagi masyarakat adat untuk mengakses keadilan melalui implementasi UU TPKS sampai ke level lokal dan daerah terpencil. Ini mengingat dalam pernyataan yang dilontarkan salah satu peserta diskusi, Shelly Adelina, pengajar di Kajian Gender Universitas Indonesia yang beberapa kali melakukan penelitian di Sumba, pemulihan korban dari trauma tidak bisa ditangani karena tidak ada psikolog klinis apalagi psikiater di sana. Shelter untuk korban kekerasan seksual pun baru berdiri di Waingapu yang dikelola hanya oleh pekerja sosial sehingga penumpukan korban terjadi.