Penyandang Disabilitas adalah setiap orang yang mengalami keterbatasan fisik, intelektual, mental, dan/atau sensorik dalam jangka waktu lama yang dalam berinteraksi dengan lingkungan dapat mengalami hambatan dan kesulitan untuk berpartisipasi secara penuh dan efektif dengan warga negara lainnya berdasarkan kesamaan hak.
Definisi tersebut menggunakan istilah orang yang mengalami keterbatasan untuk menggantikan istilah cacat atau kecacatan. Istilah cacat tidak cocok digunakan untuk penyandang disabilitas, karena cacat juga bermakna cela atau aib. Sementara penyandang disabilitas adalah keterbatasan yang dialami seseorang, baik karena dibawa sejak lahir maupun karena kecelakaan.
Di dalam Konvensi Hak-Hak Penyandang Disabilitas (Convention on the Rights of Persons with Disabilities-CRPD) pada tahun 2006, disebutkan Penyandang Disabilitas mencakupi mereka yang memiliki-penderitaan fisik, mental, intelektual, atau sensorik dalam jangka waktu lama dimana interaksi dengan berbagai hambatan dapat menyulitkan partisipasi penuh dan efektif dalam masyarakat berdasarkan kesetaraan dengan yang lainnya.
Selain disabilitas, istilah yang sering digunakan adalah difabel dari kata different ability atau kemampuan yang berbeda yang didefinisikan sebagai seorang yang memiliki kemampuan dalam menjalankan aktivitas berbeda bila dibandingkan dengan orang-orang kebanyakan. Ini terjadi karena dia adalah seorang disabilitas atau bukan. Artinya difabel tidak selalu orang yang memiliki keterbatasan atau kekurangan.
Istilah disabilitas dan difabel digunakan untuk menggantikan istilah penyandang cacat atau orang cacat yang sampai saat ini juga masih digunakan. Kedua istilah penyandang cacat dan orang cacat dianggap diskriminatif dan tidak manusiawi. Pasalnya istilah ini melahirkan stigma terhadap seseorang sebagai orang yang mempunyai cela, aib, orang yang membawa masalah, membawa beban, atau membawa sial.
Diskriminasi Berlapis
Dalam kehidupan sehari-hari, penyandang disabilitas mengalami diskriminasi berlapis yang lebih berat daripada diskriminasi terhadap perempuan dan anak. Perempuan mengalami diskriminasi berdasarkan jenis kelamin dan peran gender. Anak mengalami diskriminasi karena dianggap sebagai setengah manusia. Sedangkan penyandang disabilitas mengalami diskriminasi karena penolakan dan stigma. Penyandang disabilitas juga mengalami diskriminasi berdasarkan jenis kelamin. Diskriminasi semakin panjang dan berlapis, bila penyandang disabilitas adalah seorang anak perempuan. Penyandang disabilitas berjenis kelamin perempuan dan masih berumur anak akan mengalami diskriminasi karena menyandang disabilitas, sebagai perempuan, dan sebagai anak.
Diskriminasi yang panjang dan berlapis terhadap penyandang disabilitas mulai dari dalam rumah, orangtua dan keluarga hingga masyarakat dan negara. Dalam kehidupan sehari-hari, penggunaan bahasa dan istilah untuk menyebut penyandang disabilitas, masih bersifat stigma dan pelabelan negatif.
Diskriminasi dan stigma melahirkan kekerasan terhadap penyandang disabilitas. Ketika menjadi korban kekerasan, maka tidak mudah untuk membela hak-hak mereka. Di samping perspektif pihak-pihak yang berhubungan dengan penyandang disabilitas, yang menempatkan penyandang disabilitas sebagai orang-orang yang membebani, tidak banyak aktivis dan kelompok masyarakat yang peduli terhadap penyandang disabilitas.
Untuk penyandang disabilitas tertentu, misalnya penyandang disabilitas yang mengalami keterbatasan intelektual dan mental, ketika menjadi korban kekerasan, apalagi kekerasan seksual, maka tidak mudah mengungkap dan menyelesaikan kasusnya. Banyak sekali hambatan yang menyebabkan penyelesaian kasus-kasus tersebut menjadi panjang, baik di kalangan aparat hukum maupun keluarga dan lingkungan masyarakat.
Sebagai orang-orang yang mempunyai posisi timpang di dalam masyarakat karena diskriminasi dan stigma, penyandang disabilitas merupakan kelompok yang rentan menjadi korban kekerasan. Dan ketika menjadi korban pun, tidak mudah untuk membela hak-hak mereka. Bahkan tidak jarang kasus yang mereka alami menjadi lelucon dan bahan tertawaan oleh pihak-pihak yang tidak mempunyai pengetahuan, perspektif, simpati, dan empati.
Dimarjinalkan Oleh Ilmu dan Kebijakan
Karena diskriminasi, penyandang disabilitas juga mengalami marjinalisasi dalam kehidupan bermasyarakat, termasuk dalam ilmu pengetahuan dan kebijakan. Pengembangan ilmu pengetahuan hanya berkisar pada orang-orang nondisabilitas. Lihatlah ilmu-ilmu sosial yang sedikit sekali membahas dan mengkaji penyandang disabilitas.
Psikolog dengan pengetahuan dan perangkat psikologi yang dimilikinya dapat mengidentifikasi penyandang disabilitas intelektual dan mental, tetapi umumnya psikolog yang belajar psikologi nondisabilitas, juga tidak mempunyai pengetahuan yang mendalam mengenai penyandang disabilitas.
Karena itu, sedikit sekali data dan informasi mengenai penyandang disabilitas. Untuk mengetahui jumlah penyandang disabilitas dan kategorinya di suatu wilayah pun sangat sulit. Sebagian penyandang disabilitas baru diketahui keberadaannya ketika menjadi korban kekerasan.
Di dunia internasional, Konvensi Hak-Hak Penyandang Disabilitas baru diadopsi tahun 2006. Pemerintah Indonesia telah meratifikasi Konvensi Hak-Hak Penyandang Disabilitas melalui Undang-Undang No. 19 Tahun 2011. Indonesia juga baru membuat instrumen hukum yang lebih baik, yaitu Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas pada tahun 2016, untuk menggantikan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1997 tentang Undang Penyandang Cacat.
Mereka yang Peduli
Pada 24 Mei 2019, Yayasan BaKTI menyelenggarakan Diskusi bertajuk Inspirasi BaKTI dengan tema Penyandang Disabilitas Perempuan Berhadapan dengan Hukum (Kekerasan Seksual). Diskusi ini menghadirkan narasumber dari orang-orang yang selama ini berinteraksi dan peduli terhadap penyandang disabilitas yang berhadapan dengan hukum, khususnya kasus kekerasan seksual.
Tiga narasumber mengisahkan pengalamannya dalam mendampingi dan mengadvokasi perempuan penyandang disabilitas, yaitu Fauzia Erwin, seorang advokat yang juga bergabung di Pergerakan Difabel Indonesia untuk Kesetaraan (Perdik) Makassar, Nurdayati dari Himpunan Wanita Disabilitas Indonesia (HWDI) Sulawesi Selatan, dan Kompol Rosmina dari Polda Sulsel.
Sebagai seorang advokat, Fauzia Erwin mempunyai pengalaman mendampingi perempuan penyandang disabilitas yang mengalami kekerasan seksual. Menurut Uci, nama akrab Fauzia Erwin, perempuan penyandang disabilitas intelektual, mental, dan tuna rungu paling banyak mengalami kekerasan seksual, khususnya perkosaan. Hal yang sama juga dikemukakan oleh Nurdayati bahwa, perempuan penyandang disabilitas rentan mengalami kekerasan seksual dan ketika menjadi korban kekerasan seksual, juga tidak mudah untuk menyeret pelaku dalam proses peradilan.
Lingkungan keluarga dan masyarakat yang diskriminatif terhadap penyandang disabilitas, tidak kondusif untuk perlindungan dan advokasi bagi korban. Ada keluarga yang menutupi kasus kekerasan seksual yang dialami penyandang disabilitas. Ada juga yang mengambil jalan pintas dengan menikahkan korban dengan pelaku, dengan alasan untuk menutupi aib. Bahkan ada keluarga yang secara tiba-tiba meminta kasus yang dalam proses hukum dihentikan.
Sementara Kompol Rosmina menjelaskan bahwa, jika penyandang disabilitas mengalami kekerasan seksual, maka kendala dalam proses hukum di antaranya, selain korban yang sering berubah-ubah dalam memberi keterangan, kendala lain adalah mencari penerjemah atau orang-orang yang mengerti bahasa isyarat.
Ketiga narasumber juga bersepakat bahwa, perempuan disabilitas yang menjadi korban kekerasan seksual harus ditangani oleh aparat hukum dalam hal ini polisi, jaksa, hakim, dan advokat, yang mempunyai pengetahuan dan perspektif mengenai disabilitas. Dengan begitu, penyandang disabilitas tidak menjadi korban lagi atau bahan lelucon oleh aparat hukum. Aparat hukum yang tidak mempunyai perspektif ketika menangangi korban, bisa menjadikan penyandang disabilitas sebagai bahan lelucon atau candaan. Padahal penyandang disabilitas bukanlah barang lelucon atau candaan.Kebijakan mengenai penyandang disabilitas di Indonesia sudah cukup maju, termasuk di sejumlah daerah yang telah membuat Peraturan Daerah mengenai Disabilitas. Namun, diperlukan kerjasama bagi pihak-pihak yang peduli untuk melakukan advokasi dan pendampingan untuk pemenuhan hak-hak penyandang disabilitas.