Berita tentang perempuan dan anak, baik di media cetak, elektronik, dan dalam jaringan (daring) atau online, tidak sedikit yang merugikan. Berita atau tayangan yang seksi yang mengutamakan kronologis dan penampilan korban, oleh sebagian jurnalis dianggap sebagai berita yang menarik dan mempunyai nilai jual. Namun anggapan ini tidak selalu benar.
Ketika perempuan atau anak perempuan menjadi korban kekerasan seksual, misalnya korban perkosaan, berita yang ditonjolkan adalah kronologi kejadian. Berita menggambarkan peristiwa kekerasan seksual secara jelas, berurutan, hingga sangat detail. Berita ini juga masih ditambah dengan informasi lain yang tidak relevan, seperti penampilan korban, pakaian korban, hingga waktu ketika korban mengalami kekerasan, misalnya malam hari.
Sementara itu, jika perempuan dan anak menjadi terpidana, maka berita yang ditonjolkan, selain kronologi adalah penampilan, status, kehidupan pribadi, dan keluarga. Tidak perlu heran ketika pembaca menemukan judul berita seperti ini, 'Bupati Cantik Ditangkap KPK', 'Kecil-kecil Sudah Jadi Preman', dan seterusnya.
Menghukum Perempuan dan Anak
Berita semacam itu menjadi hukuman terhadap perempuan dan anak. Di saat menjadi korban kekerasan seksual, perempuan dan anak membutuhkan perlindungan dan pemulihan, tetapi pemberitaan yang menonjolkan kronologis justru tidak memberikan perlindungan apa pun, apalagi untuk pemulihan korban.
Tidak sedikit berita yang menghukum perempuan dan anak, di sisi lain menggambarkan pelaku sebagai orang baik-baik. Apalagi jika korban mengalami kekerasan seksual berulang dan dilakukan oleh orang-orang terdekat, maka korban dituduh sebagai pihak yang tidak melakukan perlawanan. Alih-alih menjelaskan kekerasan seksual yang dilakukan oleh orang-orang dekat sebagai kejahatan berat dan merendahkan perempuan dan manusia, justru menggiring pembaca atau pemirsa untuk menuduh korban menikmati kekerasan seksual.
Berita mengenai perempuan dan anak yang melakukan pidanapun menggambarkan hal-hal yang tidak relevan, yang ujung-ujungnya memojokkan perempuan dan anak. Perempuan cantik, seksi, kasar, suka mengatur, dan sebagainya adalah kata-kata yang selalu ditonjolkan dalam berita.
Sementara berita mengenai anak yang berhadapan dengan hukum (ABH) menempatkan anak sebagai penjahat yang tidak berbeda dengan orang dewasa. Berita mengenai ABH semakin menjauhkan anak dari lingkungan dan pemulihan. Anak-anak semakin jauh dari layanan sosial, karena berita yang hanya mengumbar perilaku buruk anak-anak.
Soal Perspektif
Ulasan di atas berasal dari pemikiran Nurdin Amir, Ketua AJI Makassar, Zulkarnain Hamson, Wakil Rektor IV Universitas Indonesia Timur, Lusia Palulungan, Manajer Program MAMPU-BaKTI, dan M. Ghufran H. Kordi K., Program dan Publikasi MAMPU Officer pada Pelatihan Jurnalis Berperspektif Perempuan dan Anak, yang dilaksanakan atas kerjasama Program MAMPU (Kemitraan Australia Indonesia untuk Kesetaraan Gender dan Pemberdayaan Perempuan) Yayasan BaKTI, Universitas Indonesia Timur (UIT) Makassar, dan Jurnalis Online Indonesia (JOIN).
Pelatihan tersebut diikuti oleh jurnalis online dan tenaga akademik UIT, difasilitasi oleh Rusdin Tompo aktivis anak dan pemerhati media dan Nurlina Arsyad, Sekretaris AJI Makassar. Pelatihan yang dibuka oleh Rektor UIT Makassar, Dr. Andi Maryam, dilaksanakan di Kampus V UIT Makassar pada 7 September 2019. Dari diskusi dengan peserta pelatihan dan analisis pemberitaan, diketahui bahwa pemberitaan yang menonjolkan kronologis kejadian, tidak melindungi korban, tidak mengandung unsur pendidikan, dan tidak ada upaya advokasi, berasal dari jurnalis-jurnalis yang tidak mempunyai perspektif mengenai perempuan dan anak.
Sebagai contoh, ketika peserta pelatihan menganalisis berita mengenai kekerasan terhadap guru sekolah dasar di Kabupaten Gowa. Pelaku kekerasan adalah seorang perempuan yang juga orang tua murid, dan korban kekerasan adalah seorang guru perempuan. Berita hanya menyoroti kronologi kekerasan dan pelaku yang merupakan seorang perempuan. Berita tidak menyajikan bagaimana keamanan sekolah sehingga begitu mudah orang-orang masuk dan keluar. Tidak ada juga informasi mengenai mekanisme penyelesaian konflik atau perkelahian murid di sekolah.
Berita seperti itu tidak membantu apa pun terkait dengan dunia pendidikan, hanya mengaduk emosi massa sehingga semakin menjadi marah. Padahal banyak sisi yang perlu disorot untuk perbaikan sekolah tersebut dan dunia pendidikan pada umumnya. Misalnya, bagaimana bentuk pengamanan sekolah, dan aturan orang-orang dari luar yang masuk ke lingkungan sekolah. Apakah sekolah mempunyai mekanisme baku dalam penyelesaian konflik atau murid yang berkelahi.
Berita yang mengulas hal-hal penting untuk perbaikan dan kebaikan bersama termasuk dalam jurnalisme advokasi. Berita tersebut menyajikan fakta dan data di lapangan yang dikemas secara jernih sehingga memiliki nilai advokasi. Tentu akan sangat berguna bagi pihak-pihak terkait untuk melihat kekurangan dan melakukan perbaikan. Berita demikian mencerahkan dan mencerdaskan, tidak sekadar memaparkan peristiwa yang menghebohkan, dan setelah itu diam, dan akan terulang lagi.
Berita yang mengadvokasi dan mengubah kebijakan tidak harus dibumbui dengan opini atau pendapat jurnalis, tetapi cukup menyajikan fakta dan data. M. Ghufran H. Kordi K, mencontohkan, jika jurnalis menemukan korban perempuan dan anak tidak tertangani dengan baik, jurnalis perlu mengecek di APBD (Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah) pemerintah daerah, apakah ada anggaran yang dialokasikan untuk penanganan dan pemulihan korban, kemudian menuliskan di dalam berita. Inilah advokasi untuk mengubah kebijakan, tanpa memasukkan opini jurnalis.
Meliput untuk Mencerahkan
Ketika membuka pelatihan, Rektor UIT Makassar mengharapkan agar jurnalis dalam menulis dan memberitakan, apalagi perempuan dan anak, haruslah mengemukakan hal-hal yang mencerahkan, tidak memojokkan perempuan dan anak. Berita dapat menyelipkan pesan edukasi, sehingga masyarakat ikut tercerahkan.
Sementara Zulkarnain Hamson menyatakan bahwa media dapat membunuh orang-orang yang masih hidup. Itu berarti, berita dapat membunuh perempuan dan anak yang masih hidup. Perempuan dan anak yang menjadi korban kekerasan seksual semestinya mendapat perlindungan dan pemulihan, sehingga mereka bangkit dan menjalani kehidupan normal.
Namun di tangan jurnalis, perempuan dan anak yang menjadi korban kekerasan seksual mengalami stigma dan stereotipe (penilaian berdasarkan persepsi) sehingga tidak membantu memulihkan korban. Meliput dan memberitakan adalah profesi yang hanya bisa dilakukan oleh orang-orang yang profesional. Namun, profesional saja tidak cukup. Menurut Rusdin Tompo, jurnalis dapat melakukan banyak hal untuk perbaikan kehidupan, termasuk kehidupan perempuan dan anak. Dalam sistem patriarki, wartawan dapat membongkar praktik dan tradisi yang merugikan anak dan perempuan. Wartawan dapat mengubah persepsi pengambil kebijakan dan siapa saja untuk membuat kebijakan yang memihak pada perempuan dan anak.