Konten Kreator, Adaptasi Prinsip Feminisme
Penulis : Lusia Palulungan
  • Ilustrasi content creator: Shutterstock
    Ilustrasi content creator: Shutterstock

Catatan memperingati Hari Perempuan Internasional

 

International Women Day (IWD) atau Hari Perempuan Internasional 2025, memilih tema #AccelerateAction, bertujuan untuk mempercepat kesetaraan perempuan. Pada tingkat kemajuan saat ini, dibutuhkan waktu 134 tahun untuk mencapai kesetaraan gender penuh pada tahun 2158, yang berarti sekitar lima generasi dari sekarang, menurut data dari Forum Ekonomi Dunia. Dengan begitu, perlu upaya bersama semua pihak dalam aksi untuk mempercepat laju kemajuan.

Sedikit kilas balik sejarah IWD atau Hari Perempuan Internasional yang dikutip dari situs National Today, Hari Perempuan Internasional berawal dari peristiwa pada tahun 1908, dimana sebanyak 15 ribu wanita di Kota New York tahun 1908 mengajukan tiga tuntutan. Tuntutan tersebut adalah upah kerja yang lebih baik, hak untuk memilih dan jam kerja yang lebih singkat dan layak. Setahun kemudian, Partai Sosialis Amerika mendeklarasikan Hari Perempuan Nasional pertama. Saat itu, Hari Perempuan Nasional dirayakan di seluruh Amerika Serikat pada 28 Februari hingga tahun 1913.
Hari Perempuan Internasional kemudian diusulkan untuk dirayakan secara internasional. Hal itu disampaikan oleh Clara Zetkin dalam Konferensi Internasional untuk Pekerja Wanita di Kopenhagen pada 1910. Konferensi itu dihadiri 100 perempuan yang berasal dari 17 negara dan disepakati bahwa perlu dirayakan Hari Perempuan Internasional. Merujuk keputusan konferensi di Copenhagen, Hari Perempuan Internasional pertama kali dirayakan tahun 1911 di Austria, Denmark, Jerman, dan Swiss pada tanggal 19 Maret. 

Menjelang Perang Dunia I yang mengampanyekan perdamaian, perempuan Rusia pertama kali merayakan Hari Perempuan Internasional pada tanggal 23 Februari, hari Minggu terakhir di bulan Februari. Setelah berdiskusi, Hari Perempuan Internasional disetujui untuk diperingati setiap tahun pada tanggal 8 Maret. Pada tahun 1975, Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) pun menjadikan Hari Perempuan Internasional sebagai perayaan tahunan.

 

Perjuangan Hak Perempuan dan Kesetaraan Gender

Inti dari munculnya peringatan Hari Perempuan Internasional adalah perjuangan perempuan mengenai hak-haknya di ranah publik yang berkaitan dengan hak sipil dan politik yang berkaitan dengan hak memilih, serta hak ekonomi, sosial dan budaya yang berkaitan dengan upah kerja yang lebih baik dan jam kerja yang lebih singkat.

Hal ini karena ranah yang dianggap produktif atau menghasilkan profit adalah ranah publik. Sementara dalam konsep gender, ranah publik adalah ranah laki-laki sedangkan ranah domestik adalah ranah perempuan. Itulah sebabnya, masih terdapat perbedaan upah antara laki-laki dengan perempuan kala itu yang dipengaruhi oleh budaya patriarki dimana perempuan dianggap berperan sebagai pencari nafkah tambahan sehingga upahnya lebih rendah daripada laki-laki.

Di Indonesia, dalam Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, dinyatakan adanya kesamaan hak tanpa diskriminasi antara tenaga kerja laki-laki dan tenaga kerja perempuan di pasar kerja. Hal ini diatur pada Pasal 5 yang mengatakan bahwa “Setiap tenaga kerja memiliki kesempatan yang sama tanpa diskriminasi untuk memperoleh pekerjaan”. Begitu pula di dalam Pasal 88 ayat (1) Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003 yang menyatakan dengan tegas dan jelas bahwa “Setiap pekerja/buruh mempunyai hak untuk memperoleh perlindungan atas keselamatan dan kesehatan kerja; moral dan kesusilaan; dan perlakuan yang sesuai dengan harkat dan martabat manusia serta nilai-nilai agama”.

Kesetaraan gender di tempat kerja akan tercapai ketika orang mampu mengakses dan menikmati penghargaan, sumber daya, dan kesempatan yang sama tanpa memandang gender. Perjuangan kesetaraan gender yang selama ini dilakukan oleh para pegiat hak asasi perempuan pada umumnya dipahami pihak lain sebagai perjuangan kesetaraan gender “hanya” di ranah publik. Hal ini didasarkan pada pemahaman bahwa ranah publik adalah ranah laki-laki sehingga ketika perempuan akan berkiprah di ranah publik maka peran dan posisinya akan diperhadapkan pula pada peran dan posisi laki-laki. Sehingga kesetaraan gender perlu dan penting diperjuangkan agar perempuan tidak mengalami ketidakadilan gender berupa diskriminasi, beban ganda, peminggiran atau marginalisasi, kekerasan dan dinomorduakan atau  subordinasi. 

Hal ini perlu didorong sangat kuat karena domestifikasi peran perempuan sangat tegas diatur di dalam Undang-undang Perkawinan bahwa suami adalah kepala keluarga dan istri ibu rumah tangga. Padahal, ketidakadilan gender terhadap perempuan juga terjadi di ranah domestik dimana peran-peran di rumah tangga sepenuhnya menjadi tanggung jawab perempuan, tanpa mempertimbangkan bahwa perempuan telah berperan di ranah publik.

 

Konten Kreator dan Era Digital

Berdasarkan survei Badan Pusat Statistik tahun 2018 mengenai penggunaan internet, ditemukan bahwa jumlah perempuan yang mengakses media sosial di Indonesia mencapai 79,92%. Data lain dari  Pew Research Center dan Burst Media yang dirangkum oleh financesonline.com, menyatakan bahwa perempuan menggunakan media sosial lebih sering daripada laki-laki. Perempuan juga lebih banyak berinteraksi dengan brand, lebih banyak mengonsumsi berita melalui media sosial, dan kini jumlah perempuan yang menggunakan media sosial berbasis visual terus bertambah. Hal ini menjadikan keberadaan perempuan amat berpengaruh pada perkembangan media sosial. Di antara para pengguna media sosial ini, banyak di antaranya menjadi influencer, atau konten kreator di media sosial.

Platform digital seperti YouTube, Instagram, hingga TikTok telah memberikan akses yang mudah bagi siapa saja untuk membuat dan membagikan konten sekaligus membuka peluang, khususnya bagi banyak perempuan untuk mengekspresikan diri melalui berbagai konten.

Salah seorang di antaranya adalah Vina A. Muliana sebagai konten kreator dan profesional Human Resources (HR) yang berfokus pada konten seputar dunia kerja, karir, dan pengembangan profesional. Melalui media sosial miliknya, Vina memberikan berbagai tips, mulai dari tips mencari pekerjaan, mengelola karier, dan membangun keahlian yang dibutuhkan di pasar kerja saat ini. Pada tahun 2021, Vina meraih penghargaan di TikTok Awards Indonesia sebagai ‘Best of Learning & Education’ hingga masuk dalam daftar 30 besar Under 30 Forbes tahun 2022. 

Berdasarkan pengalaman-pengalaman perempuan, baik sebagai konten kreator yang terus dibagikan melalui media sosial, kemudian memotivasi dan menginspirasi banyak perempuan lainnya melakukan hal serupa. Konten kreator yang awalnya membuat konten untuk dokumentasi kegiatan keseharian, berubah menjadi profesi. Profesi ini sangat relevan dengan kondisi perempuan karena materinya berkaitan dengan peran dan ranah domestik, tidak terikat waktu, tidak perlu ijazah atau legalitas pendidikan lainnya namun menghasilkan pendapatan. Konten kreator pun menjadi salah satu pilihan menarik bagi perempuan untuk berkarya dan eksis.

 

Adaptasi Prinsip Feminisme 

Mencermati komentar-komentar di FaceBook, TikTok, Youtube maupun platform lainnya yang digunakan para konten kreator, ada tiga hal yang menarik untuk dikaji yaitu sebagai komersialisasi peran domestik perempuan, sebagai profesi dan membangun sisterhood di antara para konten kreator.

Peran domestik yang selama ini dikerjakan perempuan, yang dianggap sebagai peran yang biasa saja di dalam rumah tangga, setelah divideokan, difoto atau diceritakan, sekarang ini dapat menjadi konten yang menarik. Bukan hanya itu, konten tersebut juga menghasilkan pendapatan bahkan menjadi salah satu profesi ‘baru’. Kegiatan seperti mencuci piring, mencuci pakaian, membersihkan rumah, memasak dan peran-peran di rumah lainnya, menjadi tontonan menarik. Konten mengenai peran-peran domestik ini, sekaligus mengedukasi publik bahwa peran domestik perempuan yang dikerjakan setiap hari adalah peran yang juga berat. 

Hal ini dapat mengubah cara pandang masyarakat bahwa peran mengurus keluarga dan rumah tangga bukanlah pekerjaan yang mudah. Bahkan tak jarang, banyak di antara para konten kreator perempuan yang juga melibatkan para suami di dalam konten-kontennya. Banyak laki-laki yang juga tampak melakukan peran-peran domestik yang dapat mengubah cara pandang masyarakat akan peran domestik yang identik dengan perempuan saja.

Awalnya media sosial dinilai sebagai sarana untuk terhubung dengan teman atau orang lain yang memiliki ketertarikan yang sama. Namun, seiring perkembangannya, penambahan fiturnya serta kegunaannya, media sosial kini dimanfaatkan untuk tujuan marketing. Konten-konten tersebut pun menjadi media bagi produsen tertentu untuk menampilkan iklannya. Sehingga peran domestik perempuan, ternyata dapat dikomersialkan karena dapat menjadi sumber pendapatan.

Peluang ini kemudian dilirik dan dimanfaatkan juga oleh para perempuan, khususnya ibu rumah tangga. Peran domestik yang tidak bernilai ekonomis yang dikerjakan selama ini, dapat berubah menjadi sebuah profesi yang menghasilkan uang, bahkan ada yang nilainya jauh melebihi upah minimum regional (UMR).

Jika dilihat dari para perempuan konten kreator yang umumnya adalah ibu rumah tangga, banyak di antaranya yang belajar otodidak dengan mengambil informasi dari internet, buku atau berbagai media lainnya. Namun seringkali kolom-kolom komentar para konten kreator tersebut berisi ajakan untuk saling mendukung sesama konten kreator. Bahkan banyak yang membuat grup-grup pertemanan yang berisikan keanggotaan para konten kreator untuk saling mendukung dengan saling memberi tips, trik, informasi dan bersama belajar agar kontennya semakin menarik dan digemari.

Dari ketiga aspek yang diuraikan di atas, secara tidak langsung, proses-proses tersebut mengadaptasi prinsip-prinsip feminisme. Sebagian besar feminis sepakat mengenai lima prinsip dasar yang mencakup upaya untuk meningkatkan kesetaraan, memperluas pilihan manusia, menghapus stratifikasi gender, dan mengakhiri kekerasan terhadap perempuan. 

Perempuan sebagai konten kreator, secara sadar atau tidak, menjadikan pekerjaan baru yang digelutinya telah membangun gerakan yang mengakhiri ketidaksetaraan gender. Bukan hanya itu, ia ikut memperjuangkan perempuan yang tertindas atau kurang beruntung karena peran gendernya. Mereka telah memiliki posisi tawar secara ekonomi, telah memperkuat kapasitas dengan belajar hal baru dan yang paling utama, menggalang peran laki-laki untuk mendukungnya.

Berdasarkan realitas tersebut, pemerintah Indonesia yaitu Menteri Ekonomi Kreatif melihat potensi besar industri konten digital dan mengambil langkah strategis dengan membentuk Direktorat Konten Digital. Direktorat ini bertujuan untuk mendukung pertumbuhan ekosistem konten kreator di Indonesia sekaligus memaksimalkan kontribusinya terhadap perekonomian nasional.

Hal ini sangat strategis karena sebanyak 8 juta dari 17 juta konten kreator di Indonesia kini menjadikan aktivitas tersebut sebagai profesi utama. Dari jumlah tersebut, 63 persen di antaranya dilaporkan memiliki penghasilan di atas UMR. Menteri Ekonomi Kreatif bahkan mengidentifikasi bahwa profesi konten kreator, khususnya melalui ekosistem YouTube, telah berkontribusi sekitar 7,4 triliun rupiah terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) nasional dan menciptakan lebih dari 400 ribu lapangan pekerjaan. Itu berarti, perempuan sebagai konten kreator tidak hanya bermanfaat bagi dirinya, tetapi juga ikut berperan di dalam mendorong kesetaraan gender dan berkontribusi bagi pendapatan nasional.

Dalam memperingati Hari Perempuan Internasional Tahun 2025, keberadaan perempuan sebagai konten kreator dapat menjadi salah satu #AksiAkselerasi untuk mewujudkan kesetaraan gender melalui pergerakan perempuan dalam memperjuangkan hak-haknya.

Selamat Hari Perempuan Internasional untuk semua perempuan Indonesia. Tetap semangat untuk terus memperjuangkan hak, bersama para perempuan lainnya di mana pun berada.

 

 

Info Lebih Lanjut:

Lusia Palulungan adalah Manager Program INKLUSI-BaKTI.

Untuk mendapatkan informasi lebih lanjut mengenai Program INKLUSI, Anda dapat menghubungi info@bakti.or.id

Submission Agreement

Terimakasih atas  ketertarikan Anda untuk mengirimkan artikel ke BaKTINews. Dengan menyetujui pernyataan ini, Anda memberikan izin kepada BaKTINews untuk mengedit dan mempublikasikan artikel Anda di situs web dan situs afiliasinya, dan dalam bentuk publikasi lainnya.
Redaksi BaKTINews tidak memberikan imbalan kepada penulis untuk setiap artikel yang dimuat.  Redaksi akan mempromosikan artikel Anda melalui situs kami dan saluran media sosial kami.
Dengan mengirimkan artikel Anda ke BaKTINews dan menandatangani kesepakatan ini, Anda menegaskan bahwa artikel Anda adalah asli hasil karya Anda, bahwa Anda memiliki hak cipta atas artikel ini, bahwa tidak ada orang lain yang memiliki hak untuk ini, dan bahwa konten Artikel Anda tidak mencemarkan nama baik atau melanggar hak, hak cipta, merek dagang, privasi, atau reputasi pihak ketiga mana pun.

Anda menegaskan bahwa Anda setidaknya berusia 18 tahun dan kemampuan untuk masuk ke dalam kesepakatan ini, atau bahwa Anda adalah orang tua atau wali sah dari anak di bawah umur yang menyerahkan artikel.
 
Satu file saja.
batasnya 24 MB.
Jenis yang diizinkan: txt, rtf, pdf, doc, docx, odt, ppt, pptx, odp, xls, xlsx, ods.