Pandemi COVID-19
Sejak 30 Januari 2020 Wabah COVID-19 telah ditetapkan secara resmi oleh Badan Kesehatan Dunia (WHO) sebagai Kedaruratan Kesehatan Masyarakat yang Meresahkan Dunia (Public Health Emergency of International Concern, PHEIC) dan dinyatakan sebagai Pandemi Global sejak tanggal 11 Maret 2020. Menyusul kemudian, pemerintah Indonesia menyatakannya sebagai darurat nasional non-alam pada tanggal 14 Maret 2020. Selanjutnya di tingkat daerah khususnya Provinsi Sulawesi Selatan juga mengeluarkan Surat Edaran pada tanggal 16 Maret 2020.
Dalam perspektif hukum dan Hak Asasi Manusia (HAM), kewajiban negara terkait pengakuan, perlindungan dan pemenuhan hak atas kesehatan merupakan tanggung jawab negara khususnya pemerintah pusat dan daerah. Kewajiban negara dalam hal ini pemerintah, harus dioptimalkan termasuk alokasi “sumber daya maksimum yang tersedia”, harus dimanfaatkan secara progresif untuk mencegah dan menanggulangi semakin meluasnya pandemi COVID-19.
Tanggung jawab negara untuk pemenuhan hak atas kesehatan telah diatur dalam berbagai aturan hukum baik internasional maupun nasional, mengatur tanggung jawab pemerintah untuk menjamin pengakuan, pemenuhan dan perlindungan hak atas kesehatan setiap orang di wilayah negara Republik Indonesia termasuk di Provinsi Sulawesi Selatan, yang mencakup jaminan ketersediaan fasilitas layanan barang dan jasa serta informasi kesehatan yang harus memenuhi prinsip- prinsip: aksesibilitas yakni fasilitas, barang, dan jasa layanan kesehatan harus dapat diakses oleh semua orang. Penerimaan, yaitu penghormatan terhadap etika medis, kesesuaian budaya, dan kepekaan terhadap gender. Kualitas, yaitu fasilitas barang, dan jasa harus disetujui secara ilmiah dan medis yang merupakan komponen kunci dari cakupan kesehatan universal.
Pemenuhan kebutuhan pangan menjadi tanggung jawab pemerintah pusat, dengan melibatkan pemerintah daerah dan pihak yang terkait (Pasal 55 UU No. 6 Tahun 2018 tentang Karantina Kesehatan) termasuk kebutuhan khusus kelompok rentan antara lain anak-anak, ibu yang sedang mengandung atau menyusui, penyandang disabilitas dan orang lanjut usia.
Dampak COVID-19
Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi Provinsi Sulawesi Selatan pada pertengahan April 2020 mencatat data dari kabupaten/kota totalnya 9.726 orang pekerja se-Sulawesi Selatan yang terimbas wabah COVID-19. Ribuan pekerja tersebut terdiri atas pekerja terkena PHK, dirumahkan dan dirumahkan dengan sebagian upah. Kabupaten/kota tersebut di antaranya Kota Makassar, Kabupaten Gowa, Takalar, Bulukumba, Sinjai, Wajo, Pangkep, Luwu Utara, Luwu Timur, Toraja dan Toraja Utara akibatnya terjadi perlambatan bisnis dan ekonomi di Sulawesi Selatan.
Data tersebut masih bersifat sementara karena Dinas Tenaga Kerja masih menunggu updating data dari kabupaten/kota lainnya. Kebijakan merumahkan pekerja dan PHK pekerja berasal dari 130 perusahaan yang tersebar di 11 kabupaten kota di Sulsel dengan sektor usaha yang paling terdampak adalah perusahaan perhotelan dan pariwisata. Selain itu perusahaan travel, rumah makan, dan beberapa sektor usaha lainnya.
Tanggung Jawab Sosial
Ketersediaan data merupakan salah satu tantangan terbesar di Indonesia khususnya Sulawesi Selatan dan Kota Makassar. Data riil yang dimiliki pemerintah adalah data tenaga kerja yang bekerja di sektor formal yang di PHK, diberhentikan sementara atau dirumahkan. Itu pun masih belum sepenuhnya terdata. Apalagi data masyarakat yang bekerja di sektor informal seperti pedagang di pasar, pedagang keliling, tukang becak, pedagang asongan, tukang parkir, tukang ojek, sopir, pengusaha kecil, pekerja rumah tangga dan lain sebagainya.
Dampak dari data yang kurang akurat tersebut, menyebabkan program bantuan pemerintah tidak merata. Ada banyak fakta lapangan menunjukkan bahwa penyaluran bantuan seperti sembako masih bermasalah pada data penerima. Ada penerima yang menerima dobel. Ada yang menerima tapi sebenarnya tidak memenuhi syarat atau kriteria penerima bahkan ada pula yang tidak menerima sama sekali. Hal ini kemudian menyebabkan ada warga yang kelaparan karena kekurangan makanan, sebagaimana beberapa kasus yang viral di media sosial.
Kasus serupa bukan hanya satu atau dua tapi juga banyak dijumpai di sekeliling kita. Sehingga himbauan untuk memberikan perhatian kepada tetangga dan orang terdekat sekitar lingkungan rumah, kemudian hal ini menjadi gerakan spontanitas tanpa komando. Kebanyakan inisiatif, penggerak dan pelakunya adalah para perempuan-perempuan yang umumnya sebagai pegiat kemanusiaan, pekerja sosial, profesional, jurnalis, pengurus organisasi kemasyarakatan, organisasi keagamaan, ikatan alumni dan bahkan ibu rumah tangga.
Sebutlah beberapa kelompok yang terpantau dengan baik adalah upaya yang dilakukan oleh Koalisi Stop Perkawinan Anak Sulsel yang beranggotakan kurang lebih 20 organisasi/ lembaga yang diinisiasi oleh beberapa mitra Departemen Luar Negeri dan Perdagangan Australia (DFAT) melalui Program MAMPU dan AIPJ2, antara lain BaKTI, ICJ Makassar, KPI Sulsel, YKPM Sulsel dan DPW Aisyiyah Sulsel yang bekerja di wilayah Sulsel. Koalisi ini menggalang dana, bukan hanya dari internal koalisi yang terdiri dari Dewi Keadilan, LPA Sulsel, Fatayat NU, YASMIB Sulawesi, FPMP Sulsel, LSKP Sulsel, LBH Makassar, HWDI Sulsel, SPRT Paraikatte, SPAK Sulsel, Gamasi FM, RAZ FM, Radar Selatan, PWKI Sulsel, FIK LSM. Namun juga menggalang dukungan dari pihak lainnya yaitu IOM Makassar, FPPM, Dharma Wanita, SPAK Indonesia dan individu yang memiliki kepedulian untuk turut serta memberikan dukungan.
Koalisi menyalurkan bantuan dalam dua tahap yaitu tahap pertama dalam bentuk penyaluran Alat Pelindung Diri (APD) bagi tenaga medis di beberapa Rumah Sakit Penyangga, mengingat ketersediaan APD sangat terbatas sedangkan Rumah Sakit tidak dapat menolak pasien yang datang berobat. Sedangkan tahap kedua, selain penyaluran APD ke Rumah Sakit juga pembagian bahan makanan (beras, gula, minyak dan lainnya) kepada keluarga-keluarga dampingan lembaga anggota koalisi yang dianggap paling membutuhkan.
Upaya kelompok lainnya adalah Komunitas Jurnalis Perempuan yang berupaya menyisihkan sedikit dari gajinya, atau upaya lainnya guna mengumpulkan sejumlah dana yang akan dikelola menjadi nasi kotak, masker kain dan bantuan bahan makanan yang didistribusi ke pekerja informal antara lain tukang becak, tukang bentor, sopir angkot, buruh bangunan, tukang parkir dan keluarga miskin yang mereka temui dengan cara blusukan ke kantong-kantong pemukiman kumuh, miskin dan termarginal.
Berbagai cara dilakukan untuk membagikan sesegera mungkin, untuk memenuhi kebutuhan primer sehari-hari dalam waktu sehari, dua hari atau beberapa hari. Ada yang langsung membagikan bantuan ke rumah-rumah, ada yang menggantungkan bantuan di pintu pagar dengan tulisan ‘silahkan diambil’, membagikan makanan siap santap, menitipkan sesuatu di etalase yang disediakan pihak tertentu, membagikan pelindung diri berupa masker, menyediakan air dan sabun cuci tangan di depan rumah dan berbagai cara dan bentuk berbagai lainnya.
Resiliensi Perempuan
Riset membuktikan bahwa ketika perempuan dan laki-laki berada dalam situasi sama yang melibatkan sejumlah uang, perempuan cenderung lebih berbaik hati dalam membaginya daripada laki-laki. Studi yang dipublikasikan dalam jurnal Nature Human Behaviour, adalah yang pertama menunjukkan kecenderungan biologis berbasis gender terhadap kemurahan hati. Namun, kata periset temuan tersebut tidak berarti bahwa satu gender tertentu terlahir untuk memberi lebih dari yang lain.
Faktor pendorong sebagaimana diuraikan di atas kemudian terinternalisasi dalam diri perempuan yang berdampak pada Resiliensi (ketahanan atau ketangguhan) perempuan. Resiliensi ini setidaknya dapat jelas terlihat pada beberapa aspek yang saat ini harus direspons dan dijalani oleh setiap orang atau keluarga.