Pada 17 – 20 Desember 2018 bertempat di Hotel Toraja Haritage Kabupaten Toraja Utara, Program MAMPU (Kemitraan Australia-Indonesia untuk Kesetaraan Gender dan Pemberdayaan Perempuan) Yayasan BaKTI melaksanakan Monitoring dan Evaluasi (Monev) Program MAMPU 2018.
Monev diikuti oleh mitra Program MAMPU-BaKTI yaitu, Yayasan Lembaga Penelitian Pemberdayaan Ekonomi Masyarakat (YLP2EM) Parepare, Yayasan Kombongan Situru (YKS) Tana Toraja, Rumpun Perempuan Sulawesi Tenggara (RPS) Kendari, Yayasan Arika Mahina (YAM) Ambon, Panitia Pengembangan Sosial Ekonomi Keuskupan Atambua (PPSE-KA) Atambua, Belu, dan sub office MAMPU-BaKTI Nusa Tenggara Barat.
Monev yang dilaksanakan akhir tahun 2018 ini dimaksudkan untuk mengevaluasi pencapaian sepanjang tahun, baik untuk memperbaiki kekurangan selama pelaksanaan program, maupun untuk melihat praktik-praktik terbaik yang dapat dipromosikan dan direplikasi oleh pihak lain.
Beberapa praktik baik yang terus dikembangkan dan telah direplikasi antara lain kelompok konstituen, paralegal, shelter warga, advokasi kebijakan, advokasi dana desa, dan reses partisipatif.
Kelompok Konstituen
Kelompok Konstituen (KK) adalah organisasi tingkat komunitas yang dibentuk pada tingkat desa atau kelurahan oleh Program MAMPU BaKTI yang bertujuan mengorganisasikan komunitas untuk memperjuangkan hak-haknya, terutama mengakses layanan pemerintah. KK adalah organisasi yang dibentuk untuk menghubungkan konstituen dengan wakilnya di parlemen. Organisasi ini dimaksudkan untuk membangun kesadaran kritis dan memperkuat warga dalam berinteraksi dengan wakil mereka di parlemen maupun dengan pemerintah. Karena itu, KK adalah organisasi warga yang bersifat politis.
Pengurus dan anggota KK terdiri dari berbagai perwakilan dan lebih dari 70% adalah perempuan, di dalamnya termasuk perempuan miskin. Lebih dari 95% Ketua KK adalah perempuan. Melihat struktur kepengurusan dan anggota tersebut, maka KK merupakan organisasi yang mewakili warga di desa atau kelurahan untuk berbagai kebutuhan dan kepentingan.
KK merupakan organisasi resmi di desa dan kelurahan, karena mendapatkan pengakuan melalui surat keputusan pengangkatan pengurus dari pemerintah desa atau kelurahan. Dengan demikian, KK tidak dimaksudkan sebagai penyaing bagi pemerintah dan organisasi desa/kelurahan yang ada, melainkan mitra strategis untuk pemenuhan hak-hak warga.
Setelah pembentukan, pengurus dan anggota KK telah memperoleh peningkatan kapasitas berupa diskusi, pelatihan, dan studi banding. Pelatihan yang diperoleh antara lain hak-hak perempuan, Hak Asasi Manusia (HAM), pengorganisasian, dan penanganan kasus. Sedangkan materi-materi yang didiskusikan meliputi berbagai persoalan yang dialami oleh masyarakat, terutama berhubungan dengan pelayanan publik oleh negara, bagaimana melakukan advokasi untuk mengakses layanan yang ada.
Pada awal pendirian, KK membantu warga dalam pengurusan berbagai kebutuhan yang berhubungan dengan pemerintah, seperti pengurusan administrasi kependudukan, beras sejahtera (Rasta) sebelumnya bernama beras miskin (Raskin), kartu BPJS, mengembalikan anak-anak yang putus sekolah, dan mendampingi perempuan dan anak korban kekerasan.
Seiring dengan perkembangan, KK menjadi organisasi yang mulai diperhitungkan. KK mampu mengakses anggaran di pemerintah untuk penguatan ekonomi, mereplikasi praktik baik, bahkan pengurus dan anggota KK mulai masuk di lembaga-lembaga sosial dan lembaga pemerintah, seperti menjadi ketua RT, ketua RW, dan kepala desa. Beberapa di antaranya mencalonkan diri menjadi calon legislatif tahun 2019.
KK menjadi organisasi yang sangat kuat dan kritis dalam memperjuangkan hak-hak warga. Berbagai kegiatan terkait perencanaan dan penganggaran telah diikuti oleh KK, seperti Musrenbang (Musyawarah perencanaan pembangunan), dan terlibat dalam perencanaan dan penganggaran desa.
KK juga menjadi organisasi mitra anggota DPRD. Pada reses, beberapa KK dipercaya oleh anggota DPRD untuk menyiapkan reses. KK menjadi mitra kritis anggota DPRD dan pemerintah. Mereka menjadi masyarakat yang memperjuangkan hak-hak kelompoknya sebagai warga negara. Sebagai kelompok kritis, KK diharapkan menjadi warga negara yang sadar akan hak-haknya, sekaligus ikut mendorong kesadaran orang-orang di sekelilingnya untuk menjadi masyarakat yang kritis.
Beberapa KK telah menjadi kelompok yang mandiri dalam mengorganisasikan dan memperjuangkan kepentingan masyarakat, baik secara sosial maupun ekonomi. KK tidak hanya menghimpun dana dari anggotanya, tetapi juga mengakses anggaran dari pemerintah dan perusahaan.
Advokasi Kebijakan
Sepanjang 2015 – 2018 Program MAMPU BaKTI mendorong lahirnya sejumlah kebijakan di kabupaten/kota dalam bentuk Peraturan Daerah (Perda), Peraturan Bupati (Perbup)/ Peraturan Walikota (Perwali), Surat Keputusan (SK), dan Peraturan Desa (Perdes). Sebanyak 46 kebijakan responsif gender berhasil dikontribusi Program MAMPU BaKTI yang terdiri dari 17 Perda, 16 Perbup/Perwali, 11 SK bupati, walikota, atau kepala dinas, dan 2 Perdes.
Dalam mendorong setiap kebijakan, Program MAMPU BaKTI tidak serta merta mengusulkan sebuah kebijakan kepada DPRD atau eksekutif, melainkan menempuh mekanisme yang telah diatur dalam undang-undang untuk menghasilkan kebijakan yang berkualitas dan dapat diimplementasikan. Ada tiga faktor yang harus dipertimbangkan untuk mendorong sebuah kebijakan, yaitu pertama, sesuai dengan kebutuhan. Setiap kebijakan yang didorong oleh mitra Yayasan BaKTI di kabupaten/kota wilayah kerja program ini yakni Tana Toraja, Parepare, Maros, Bone, Kendari, Ambon, Mataram, Lombok Timur, dan Belu benar-benar dibutuhkan oleh daerah tersebut. Karena itu, tidak harus selalu mendorong kebijakan baru, tetapi bisa saja hanya melakukan revisi kebijakan yang sudah ada atau membuat aturan turunannya untuk implementasi aturan yang telah ada. Mendorong kebijakan baru, seperti Perda, dapat dilakukan bila aturan tersebut belum ada.
Kedua, sesuai dengan undang-undang yang berlaku. Kebijakan yang didorong harus sesuai dengan aturan perundang-undangan, baik kebijakan yang hendak diadvokasikan maupun teknis pembuatannya. Kebijakan yang diadvokasi selalu memerhatikan aturan hukum yang lebih tinggi atau tidak bertentangan dengan aturan yang lebih tinggi.
Sementara dalam proses pembentukan kebijakan mengikuti prosedur yang diatur dalam perundang-undangan, seperti dalam pembentukan Perda merujuk pada teknis pembentukan Perda yang diatur dalam UU No. 12/2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan.
Program MAMPU BaKTI juga mendorong anggota DPRD untuk berinisiatif membuat Perda. Sebagai lembaga pembentuk Perda, anggota dan DPRD tidak hanya membahas Perda yang berasal dari eksekutif, tetapi juga perlu mengusulkan Perda untuk dibahas bersama dengan eksekutif.
Ketiga, dapat dimplementasikan. Advokasi kebijakan tidak berhenti pada disahkannya suatu kebijakan, tetapi hingga tahap implementasi. Jika kebijakan yang diadvokasi adalah Perda, maka dibutuhkan sejumlah aturan yang lebih teknis untuk implementasi Perda tersebut, seperti Perbup/Perwali, SK hingga petunjuk pelaksanaan atau standar layanan yang lebih teknis semacam Standar Operasional Prosedur (SOP).
Implementasi kebijakan juga harus dapat dilacak pada Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) untuk memastikan bahwa, kebijakan yang dibuat sesuai dengan kebutuhan masyarakat dan daerah. Pembentukan kebijakan bukan untuk menambah daftar kebijakan yang dibuat melainkan untuk menyelesasikan suatu masalah yang terjadi di daerah.
Advokasi Peraturan Desa
Peraturan Desa (Perdes) adalah peraturan perundang-undangan di tingkat desa. Perdes ditetapkan oleh Kepala Desa dan disepakati Badan Permusyawaratan Desa (angka 7 Pasal 1 UU No. 6 Tahun 2014 tentang Desa). Sejak Undang-Undang No. 6 Tahun 2014 tentang Desa disahkan, pemerintah dan masyarakat desa mempunyai kewenangan untuk mengelola dan mengatur desanya dengan membentuk Perdes.
Ini menjadi momentum penting bagi perlindungan perempuan dan anak di perdesaan. Namun untuk mendorong pemerintah dan masyarakat desa peduli terhadap perempuan dan anak bukanlah hal yang mudah. Masalah perempuan dan anak, apalagi di perdesaan masih kurang terakomodir dalam perencanaan, karena pihak-pihak yang mempunyai posisi di dalam pengambilan kebijakan tidak selalu mempunyai perspektif mengenai perempuan dan anak. Apalagi masalah perempuan dan anak selalu dianggap sebagai masalah domestik yang tidak memerlukan campur tangan publik apalagi negara.
Tahun 2018 di Desa Kembang Kerang, Kecamatan Aikmel, Kabupaten Lombok Timur Nusa Tenggara Barat dan Desa Naekasa, Kecamatan Tasifeto Barat, Kecamatan, Kabupaten Belu Nusa Tenggara Timur disahkan Perdes yang berhubungan dengan perlindungan perempuan dan anak, yaitu Perdes Kembang Kerang No. 4 tahun 2018 tentang Perlindungan Perempuan dan Anak, dan Perdes Naekasa No. 4 Tahun 2018 tentang Perlindungan Perempuan Korban Kekerasan.
Kedua Perdes tersebut didorong oleh Kelompok Konstituen (KK) yang telah mempunyai perspektif dan kepedulian terhadap perempuan dan anak. Perdes tersebut didorong berdasarkan data kasus yang diterima oleh KK, terutama terkait dengan kekerasan terhadap perempuan dan anak.
Perdes tersebut merupakan payung hukum untuk perlindungan perempuan dan anak di tingkat desa. Dengan adanya Perdes, pemerintah desa dapat melakukan kegiatan-kegiatan untuk mencegah kekerasan terhadap perempuan dan anak, dan menangani perempuan dan anak yang menjadi korban. Perdes melahirkan mekanisme perlindungan perempuan dan anak di tingkat desa, sehingga tidak korban yang tidak terlayani karena berbagai alasan.
Advokasi Dana Desa
Sejak adanya Undang-Undang Desa (UU No. 6 Tahun 2014), pemerintah desa mendapat dana desa dari APBN (Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara) untuk pembangunan desa dan pemberdayaan masyarakat desa. Pemerintah dan masyarakat desa diberi kewenangan mengelola dana yang cukup besar untuk meningkatkan kesejahteraan warga desa.
Adanya dana desa memberi peluang bagi pemberdayaan perempuan dan perlindungan anak di tingkat desa. KK yang merupakan organisasi masyarakat di tingkat desa melakukan advokasi dana desa untuk pemberdayaan perempuan dan perlindungan anak. KK di Desa Kembang Kerang dan Desa Naekasa telah mendorong lahirnya Perdes mengenai perempuan dan anak. Sebagai instrumen hukum di desa, Perdes memudahkan adanya alokasi anggaran untuk implementasinya.
Namun, alokasi dana desa untuk pemberdayaan perempuan dan perlindungan anak tidak harus bergantung pada Perdes. Pasalnya, aturan penggunaan dana desa telah mempunyai petunjuk teknis yang dibuat oleh Kementerian Desa dan Kementerian Dalam Negeri.
Kelompok Konstituen di Tana Toraja, Belu, Ambon, dan Lombok Timur melakukan advokasi kepada pemerintah desa untuk memastikan adanya alokasi dana desa untuk pemberdayaan perempuan dan perlindungan anak. Selain menggunakan data yang valid, pengurus dan anggota KK juga menempati posisi-posisi yang strategis di desa memungkinkan KK dapat memengaruhi alokasi dana desa untuk kepentingan perempuan dan anak.
Dana desa yang dialokasikan untuk pemberdayaan perempuan dan perlindungan anak di antaranya berupa pelatihan keterampilan, replikasi pertanian alami, modal usaha, sosialisasi pencegahan kekerasan terhadap perempuan dan anak, serta pengadaan ambulans.
Paralegal dan Shelter Warga
Di antara tujuan pembentukan Kelompok Konstituen (KK) adalah untuk memperkuat masyarakat dalam memperjuangkan hak-haknya sebagai warga negara, termasuk mengakses layanan yang disediakan oleh pemerintah. Tentu tidak mudah untuk mengakses layanan yang telah ada.
Minimnya sosialisasi yang dilakukan pemerintah sebagai penyebab masyarakat tidak mengetahui berbagai layanan yang disediakan oleh pemerintah. Di sisi lain, masyarakat tidak mempunyai keberanian dan kapasitas dalam menghadapi birokrasi yang memang dibuat rumit, panjang, dan berbiaya tinggi.
Di beberapa daerah, karena luasnya wilayah menjadi faktor sulitnya masyarakat mendapat akses layanan yang lebih cepat dan mudah. Sebagai contoh, perempuan dan anak yang menjadi korban kekerasan tidak mudah mendapat perlindungan dari negara. Selain karena masyarakat mendiamkan karena dianggap sebagai urusan keluarga, fasilitas layanan untuk korban juga biasanya jauh sehingga tidak terjangkau oleh korban.
Melalui KK, sejak 2018 dibentuk Layanan Berbasis Komunitas (LBK) yang menjadi bagian dari KK. Sedangkan pengurus dan anggota KK dilatih mengenai penanganan kasus perempuan dan anak hingga ke tingkat menjadi paralegal dalam beberapa tahap.
Di Parepare, paralegal telah cukup maju dalam penanganan kasus-kasus di masyarakat, karena diakui oleh Pemerintah Kota Parepare. Terobosan hukum yang dilakukan oleh Walikota Parepare menjadikan penanganan perempuan dan anak korban kekerasan di Parepare sangat cepat dan terkoordinasi.
Peningkatan kapasitas paralegal di Parepare juga telah dilakukan oleh Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, sehingga paralegal mempunyai kapasitas untuk mendampingi korban.
Replikasi Reses Partisipatif
Reses Partisipatif pertama kali dimunculkan tahun 2014 dan diujicobakan di Parepare, Sulawesi Selatan pada tahun 2015. Andi Nurhanjayani, anggota DPRD Parepare dari Partai Demokrat dan Jhon Pannanganan dari Partai Golkar adalah anggota DPRD yang pertama kali melakukan reses dengan menggunakan metode Reses Partisipatif.
Pada 2015-2017 Reses Partisipatif masih terbatas dilakukan oleh anggota DPRD di wilayah kerja Program MAMPU-BaKTI, yaitu DPRD Parepare, DPRD Tana Toraja, DPRD Maros (Sulawesi Selatan), DPRD Kendari (Sulawesi Tenggara), DPRD Ambon (Maluku), DPRD Mataram, DPRD Lombok Timur (Nusa Tenggara Barat), dan DPRD Belu (Nusa Tenggara Timur). Namun, pada tahun 2018, Reses Partisipatif juga telah dilakukan oleh anggota DPRD di luar wilayah Program MAMPU-BaKTI, yaitu Y. Gustan Ganda (anggota DPRD Sleman), Mardensi (anggota DPRD Bengkulu), Verke B.J. Pomantow (DPRD Minahasa Selatan), dan Christiana Vecolina Pusung (DPRD Manado).
Reses Partisipatif adalah metode reses yang dikembangkan Program MAMPU-BaKTI yang sejak 2018 mulai diperkenalkan dan direplikasi oleh anggota DPRD di luar wilayah Program MAMPU BaKTI. Empat anggota DPRD yang telah melakukan Reses Partisipatif memberi catatan positif mengenai reses tersebut.
Kemajuan lainnya adalah pada tahun 2018, DPRD Parepare dan DPRD Maros melakukan terobosan dengan mengadopsi Reses Partisipatif ke dalam Tata Tertib. Peraturan DPRD Kota Parepare Nomor 1 Tahun 2018 tentang Tata Tertib DPRD Kota Parepare Pasal 104 menyebutkan reses anggota DPRD dilaksanakan dengan cara: (a) reses perseorangan; (b) reses tatap muka; (c) reses kelompok; atau (d) reses partisipatif. Sementara Peraturan DPRD Kabupaten Maros Nomor 01/KPTS/ DPRD/X/2018 Tahun 2018 tentang Perubahan Tata Tertib DPRD Kabupaten Maros, pada Pasal 102 ayat (5) disebutkan, reses dilakukan dalam bentuk: (a) ceramah; (b) tatap muka; (c) dialog; dan (d) reses yang bersifat partisipatif.
Terobosan yang dilakukan oleh DPRD Parepare dan DPRD Maros memudahkan anggota DPRD dapat melakukan Reses Partisipatif, tanpa perlu mempertanyakan melanggar hukum atau tidak.
Fokus di Tahun Terakhir
Tahun 2019 merupakan tahun terakhir Program MAMPU-BaKTI. Di tahun terakhir ini masih terdapat beberapa kegiatan yang harus dilakukan untuk memperkuat sistem telah didukung dan dikembangkan. Untuk mendukung sistem perencanaan dan penganggaran yang responsif gender diperlukan penguatan klinik PPRG (Perencanaan dan Penganggaran Responsif Gender).
Sementara untuk memperkuat layanan berbasis komunitas diperlukan peningkatan kapasitas paralegal dan legalisasi paralegal dan LBK di tingkat komunitas. Belajar dari Parepare dimana paralegal diakui oleh pemerintah kota, menjadikan penanganan kasus perempuan dan anak menjadi lebih terkoordinasi dan lebih cepat.
Karena tahun 2019 juga dilakukan pemilihan anggota legislatif, maka akan muncul anggota legislatif yang baru, karenanya Reses Partisipatif perlu diperkenalkan kepada anggota DPRD yang baru.