Hanifah (25), mati-matian mencari pendonor darah untuk anaknya, Elshanum, 3 tahun. Stok darah di tempat tinggalnya, Purbalingga tak selalu ada. Jumlah pendonor turun drastis di bulan Ramadan. Hanifah juga pernah kelimpungan mencari stok darah di tengah pandemi virus corona (Covid-19) pada periode 2020-2022 lalu. “Waktu pandemi sulit untuk transfusi darah, dan masuk ke ruangannya juga lebih ketat,” ujar Hanifah.
Keresahan para pejuang talasemia untuk mendapat donor darah, membuat Thalassemia Movement menyelenggarakan kegiatan Donor Darah Ramadan (DORA) yang diadakan setiap bulan Ramadan. Pada tanggal 22-23 Maret lalu, Thalasemia Movement bekerja sama dengan Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo menyelenggarakan donor darah bertempat di Senayan City, Jakarta Pusat. Pada kegiatan tersebut, Talasemia Movement menargetkan 200 kantong darah untuk disalurkan kepada pengidap talasemia.
“Thalassemia Movement sudah mengadakan DORA dari tahun 2016, kurang lebih sudah 8 tahun,” kata Alysha Larasaty selaku Manager Partnership Thalassemia Movement.
Alysha mengungkapkan, jumlah pendonor fluktuatif tiap tahunnya, namun jumlah kantong darah yang didapatkan jarang memenuhi target. Ramadan 2024 ini, Thalassemia Movement menargetkan 200 kantong darah untuk dapat disalurkan. Namun, hanya 150 kantong darah yang berhasil mereka dapatkan.
Talasemia adalah kelainan darah bawaan atau genetik—diturunkan dari orang tua ke anak melalui gen. Tubuh penderita talasemia tidak menghasilkan cukup protein atau biasa disebut hemoglobin, yang merupakan bagian penting dari sel darah merah.
Ketika hemoglobin tidak mencukupi, sel darah merah jadi tidak berfungsi dengan baik dan hanya bertahan dalam jangka waktu singkat, sehingga hanya sedikit sel darah merah sehat dalam aliran darah.
Berdasarkan klasifikasi klinis, talasemia dibagi menjadi tiga jenis, yaitu:
- Talasemia mayor, pasien yang memerlukan transfusi darah secara rutin seumur hidup
- Talasemia intermedia, pasien yang membutuhkan transfusi darah, tetapi tidak rutin
- Talasemia minor/trait/pembawa sifat, secara klinis tampak sehat, sama dengan orang normal, tidak bergejala, dan tidak membutuhkan transfusi darah
Elshanum, Malaikat Kecil Pejuang Talasemia
Sudah dua hari berturut-turut demam Elshanum tak kunjung turun. Badannya panas dan menggigil. Setelah dicek, suhu badannya sudah di angka 40 derajat celcius. Hanifah, ibu Elshanum, langsung membawa anaknya yang berumur delapan bulan itu ke rumah sakit terdekat.
Setelah dirawat seminggu di RSIA Ummu Hani Purbalingga, diketahui hemoglobin (Hb) Elshanum rendah—kadarnya hanya 4 gram/dL. Padahal kadar Hb normal pada anak sekitar 9-14 gram/dL. “Dikira anemia kekurangan zat besi karena hanya dicek di laboratorium biasa. Tapi, setelah dua bulan hemoglobinnya nggak naik-naik,” kata Hanifah.
Buru-buru Hanifah membawa Elshanum ke rumah sakit yang lebih lengkap di kota lain, Purwokerto. Di RSUD Prof. Dr. Margono Soekarjo, Elshanum kembali dilakukan pengecekan darah. Setelah pengecekan elektroforesis hemoglobin—tes darah yang dilakukan untuk memeriksa tipe-tipe hemoglobin dalam darah—hasilnya ditemukan kelainan darah di tubuhnya.
Juli 2022, Elshanum didiagnosis talasemia mayor. Bagai disambar petir di siang bolong, Hanifah terkejut bukan kepalang. “Waktu itu kaget banget, karena dokter bilang penyakitnya nggak bisa sembuh,” kata Hanifah.
Orang dengan talasemia mayor harus mendapat transfusi darah seumur hidup. Mereka juga berisiko mengalami pembesaran limpa dan hati, karena transfusi darah yang mereka lakukan membuat tubuh pengidap talasemia menjadi kelebihan zat besi. Orang dengan talasemia tidak memiliki mekanisme efektif untuk menghilangkan kelebihan zat besi, sehingga keseimbangan zat besi dalam tubuh harus dikontrol penyerapannya.
Untuk mengeluarkan zat besi yang tak dibutuhkan tubuh, orang dengan talasemia harus melakukan terapi kelasi menggunakan obat yang berfungsi untuk menghilangkan besi dari tubuh, dan mengikat besi bebas untuk mencegah pembentukan radikal bebas berbentuk Reactive Oxygen Species (ROS). “Elshanum menjalani terapi kelasi dengan minum obat deferiprone. Diminum tiap hari, kalau nggak berefek ke kulit, jadi hitam-hitam” kata Hanifah.
Tiap tiga minggu sekali, Elshanum melakukan transfusi darah. Seiring bertambahnya umur, kini ia hanya melakukan transfusi darah sebanyak satu kali dalam sebulan. Hanifah banyak mencari tahu tentang penyakit talasemia. Mulai dari penyebab sampai proses penyembuhannya. Karena talasemia merupakan penyakit kelainan darah yang diturunkan, Hanifah dan suaminya juga melakukan cek darah. Keduanya terdeteksi mengidap talasemia minor (pembawa sifat).
“Hemoglobin aku juga rendah, jadi kalau anak aku butuh darah, aku nggak bisa ngasih buat anak,” katanya. “Sedih. Tapi mau gimana lagi.” Talasemia juga membikin perkembangan motorik Elshanum terhambat. “Waktu teman-teman seumurannya sudah bisa ngomong, anak aku belum bisa ngomong,” kata Hanifah.
Saat ini, fisik Elshanum tumbuh seperti anak-anak lain, meski ia tetap menjalani transfusi darah setiap bulan. “Tuh, kalo lagi sehat dia juga lari-lari kayak gitu. Nggak mau diem anaknya, aktif banget,” ujar Hanifah sambil tertawa dan menunjuk Elshanum.
Stigma “Penyakitan” yang Harus Diakhiri
Cerita lain datang dari Maria Natasha yang merupakan Ketua Thalassemia Movement sekaligus pejuang talasemia. Tasha, panggilan akrabnya, didiagnosis talasemia sejak umur satu tahun. Mulanya, tubuh Tasha lemas, mukanya pucat dan kulitnya mengalami perubahan warna.
“Tubuh aku warnanya kuning gitu, kayak penyakit kuning,” kata Tasha. Ketika dicek ke dokter, hasilnya, Tasha mengidap talasemia mayor. Saat itu, kedua orang tua Tasha tak begitu terkejut saat mendapati anaknya mengidap talasemia.
“Talasemia itu kelainan genetik tidak menular yang dibawa dari orang tua. Papah aku talasemia minor, jadi udah tahu kemungkinan anaknya juga akan mengalami talasemia,” ujar Tasha. Saat itu, Tasha tengah menyiapkan acara donor darah bersama para anggota Thalassemia Movement. Ia juga sempat memperkenalkan seorang “teman” yang tengah dekat dengannya.
Selama ini, orang dengan talasemia kerap dianggap tak boleh menikah. Faktanya, pembawa talasemia (talasemia carrier) dapat menikah seperti orang kebanyakan. “Itu cuma mitos, kita juga berhak bahagia, memiliki pasangan, dan menikah. Tapi jika orang dengan talasemia minor menikah dengan sesama talasemia minor, anaknya bisa talasemia mayor seperti aku,” kata Tasha.
Karena itu, Tasha menyarankan agar orang dengan talasemia mayor menikah dengan orang nontalasemia agar tidak menurunkan gen talasemia mayor ke anaknya kelak. “Jadi kalau kita talasemia mayor menikah dengan orang yang sehat, itu anaknya akan talasemia minor. Tapi kalo pengidap talasemia mayor menikah dengan talasemia minor atau mayor juga, ya, kemungkinan anaknya akan talasemia mayor juga,” ujar Tasha.
Pengidap talasemia menghadapi stigmatisasi dan isolisasi sosial akibat edukasi tentang talasemia yang kurang di masyarakat. Ini juga yang terjadi pada Tasha. Pengalaman masa kecilnya penuh dengan pengucilan oleh teman-teman di sekolah. “Waktu di sekolah aku dijulukin ‘oh Tasha yang pucet itu, ya’ atau ‘Tasha anak bawang’ banyak, deh, julukan-julukan yang bikin aku nggak percaya diri, apapun yang mau aku lakuin pasti dibatasi,” kata Tasha.
Tasha kecil tumbuh menjadi anak yang tidak percaya diri karena orang-orang di sekitarnya masih memandang sebelah mata orang dengan talasemia. Mereka berpikir bahwa pengidap talasemia tidak bisa hidup mandiri. “Waktu SMA aku mau nyalonin jadi Wakil Ketua OSIS, nggak dibolehin sama guru, alasannya fisik aku lemah. Padahal, sekarang aku bisa jadi pemimpin di Thalassemia Movement ini. Bahkan aku yang terlibat andil saat proses Thalassemia Movement mau berbadan hukum,” kata Tasha.
Trauma atas pengalaman di SMA, Tasha menyembunyikan penyakitnya saat duduk di bangku kuliah. Ia tak ingin jika teman atau dosennya tahu, karena khawatir dipandang sebagai orang yang sakit dan tidak bisa mandiri. “Pas kuliah aku sembunyiin penyakit aku, mereka tahunya aku aktif, bahkan di Badan Eksekutif Mahasisiwa (BEM). Di semester pertengahan aku mulai terbuka dengan penyakitku, syukur mereka juga fine, bahkan sangat bangga ke aku,” ujarnya.
Tasha punya tekad yang kuat untuk menghapus stigma yang selama ini membuat orang dengan talasemia terkucilkan dari lingkungan sosialnya. “Skripsi aku bahkan bahas tentang talasemia,” kenang Tasha. Saat kuliah, ia menempuh jurusan Pendidikan Bahasa Inggris.
Perihal memilih pasangan, Tasha cukup selektif. Ia mengusahakan untuk tidak memilih pasangan dengan thalassemia carrier. Harapannya tentu untuk memutus gen talasemia. “Kita [orang dengan talasemia] diusahakan menikah dengan nontalasemia, supaya nggak menurunkan gen talasemia ke anak,” kata Tasya.
Sum,ber: jurno.id