Memperingati Hari Anti Kekerasan Terhadap Perempuan (HAKtP) 2018, Yayasan BaKTI meluncurkan buku Panduan Jurnalis Berperspektif Perempuan dan Anak. Sebuah diskusi diadakan pada 27 November 2018 untuk membahas seperti apa tulisan yang mengandung perspektif perempuan dan anak.
Diskusi yang diadakan pada 27 November 2018 di Ruang AS Room Kantor BaKTI menjadi bagian dari kegiatan Inspirasi BaKTI yang dirangkaikan dengan Peringatan Hari Anti Kekerasan terhadap Perempuan (HAKtP) 2018. Buku Panduan Jurnalis Berperspektif Perempuan dan Anak menjadi dipilih referensi diskusi.
Hadir sebagai narasumber dalam diskusi adalah Qodriansyah Agam Sofyan dan Sunarti Sain. Qodriansyah Agam Sofyan yang akrab dipanggil Agam adalah salah satu penulis panduan tersebut Sunarti Sain yang kerap disapa Una, adalah Pemimpin Redaksi Harian Radar Selatan, seorang jurnalis senior dan aktivis perempuan dan anak di Makassar.
Diskusi yang dipandu oleh Luna Vidya dihadiri oleh para jurnalis, aktivis perempuan dan anak, organisasi sosial dan keagamaan, dan pemerintah. Membuka Diskusi, Luna Vidya menjelaskan bahwa, Yayasan BaKTI memilih mendiskusikan panduan tersebut sebagai bagian dari Peringatan HAKtP 2018, dimana tahun ini memilih tema “Gerak Bersama untuk Pencegahan Perkawinan Anak” dengan mengkampanyekan “Pelaminan Bukan Tempat Bermain Anak.”
Hari Anti Kekerasan terhadap Perempuan tahun ini mengkampanyekan gerakan 'Pelaminan Bukan Tempat Bermain Anak'. Gerakan ini penting untuk didukung oleh semua pihak, termasuk para jurnalis melalui aktivitas pemberitaan. Diskusi membahas bagaimana jurnalis dapat berkontribusi untuk mencegah perkawinan anak, bahkan secara lebih luas lagi turut mendukung dan mengembangkan jurnalisme yang mempunyai perspektif perempuan dan anak.
Tidak Asal Bisa
Memulai presentasinya, Agam menjelaskan bahwa Sulawesi Selatan adalah salah satu provinsi dengan angka perkawinan anak tinggi. Indonesia juga dinyatakan darurat perkawinan anak. Parahnya ketika ada anak-anak yang menikah malah menjadi berita di berbagai media, baik media mainstream (arus utama) maupun media sosial.
Anak-anak yang menikah ditampilkan di acara-acara televisi sehingga tampak seperti sebuah kebanggaan. Perkawinan anak bahkan sempat menjadi trending topik di media sosial. Padahal seharusnya yang perlu diberitakan adalah dampak negatif perkawinan anak termasuk kerugian apa saja yang diderita anak dari perkawinan anak tersebut.
Agam menjelaskan lebih lanjut, bahwa di luar perkawinan anak, media juga menjadikan perempuan dan anak sebagai obyek berita yang menimbulkan cukup banyak kerugian bagi perempuan dan anak. Perempuan dan anak ditempatkan sebagai pihak yang terhukum. Dalam pemberitaan tentang pemerkosaan perempuan dan anak, yang digambarkan adalah bagaimana pakaian perempuan, jam berapa diperkosa dan kronologis kejadian. Ini menimbulkan pertanyaan, kenapa media tidak lebih lugas dalam mengangkat motif pelaku pemerkosaan dan menerangkan betapa kejinya perbuatan tersebut.
Fakta tersebut di atas yang melahirkan keinginan kuat untuk menuangkan perspektif perempuan dan anak dalam pemberitaan dan mendorong Aliansi Jurnalis Independen (AJI) dalam bekerjasama dengan Program MAMPU (Kemitraan Australia Indonesia untuk Kesetaraan Gender dan Pemberdayaan Perempuan) dan Yayasan BaKTI mengembangkan Panduan Jurnalis Berperspektif Perempuan dan Anak. Panduan tersebut diharapkan dapat berguna bagi jurnalis dan masyarakat pengguna media sosial dalam menulis dan membagikan berita dan foto. Dengan begitu, kita berharap orang tidak asal bisa menulis, bisa membuat berita, dan memposting, tapi menulis dengan perspektif dan hati.
Soal Perspektif
Penulisan berita oleh jurnalis berhubungan dengan perspektifnya terhadap suatu hal. Demikian pengantar dari Una saat memulai presentasinya. Sementara perspektif itu bukan sesuatu yang langsung jadi, melainkan harus dipelajari dan dipraktikkan.
Bagi seorang aktivis perempuan dan anak yang berpengalaman tentu mempunyai pemihakan yang jelas karena perspektif dan aktivitasnya sudah teruji bertahun-tahun. Namun seorang wartawan yang masih baru, biasanya cenderung melaporkan berita sesuai dengan fakta. Apa yang dia lihat dan kemudian dia persepsikan sendiri sesuai dengan pengalaman dan pengetahuannya yang relatif masih minim. Walaupun apa yang dituliskan itu memang fakta namun tanpa perspektif yang tepat terhadap perempuan dan anak, tulisannya dapat sangat merugikan mereka karena menempatkan perempuan pada posisi terhukum. Tulisan tentang sebuah fakta bukanlah sesuatu yang bebas perspektif karena apa yang ditulis juga dipengaruhi adalah sudut pandang dan pemikiran seseorang. Seorang jurnalis yang melaporkan sebuah fakta, sudah barang tentu juga memiliki persepsi.
Jurnalis yang tidak mempunyai perspektif perempuan, anak, gender, penyandang disabilitas, dan kelompok minoritas, tentu memiliki persepsi sendiri saat melaporkan dan menjelaskan fakta. Dalam masyarakat patriarki, seperti di Indonesia, perspektif jurnalis umumnya adalah perspektif patriarkis yang menempatkan laki-laki sebagai pemegang kuasa dan kebenaran.
Jurnalisme Advokasi
Kedua narasumber sepakat agar jurnalis tidak sekadar memberitakan apa yang terjadi, tapi juga harus memberitakan sesuatu yang mencerahkan, memberitakan sesuatu yang dapat mengubah kondisi menjadi lebih baik. Menanggapi beberapa pertanyaan dalam diskusi, lebih jauh Agam menjelaskan, “Jurnalis bisa mengambil posisi untuk mendorong pemerintah melakukan perbaikan pelayanan, meningkatkan anggaran untuk pemberdayaan perempuan dan perlindungan anak, mendorong bahkan memengaruhi polisi untuk memberikan perlindungan bagi korban perempuan dan anak, menggunakan istilah-istilah yang lebih baik, tidak menghukum korban.”
Sementara menurut Una, jurnalis adalah salah satu profesi yang dapat mencerahkan, sekaligus dapat merugikan kelompok-kelompok lain, bahkan ikut mendiskriminasi kelompok yang minoritas. Mungkin si jurnalis tidak sadar bahwa, berita yang ditulis atau yang diberitakan itu akan merugikan pihak lain, seperti perempuan dan anak. Mungkin juga jurnalis beranggapan bahwa apa yang dilakukannya adalah tugasnya, dan kemudian dia tidak ikut bertanggungjawab terhadap dampak lain. Namun jika si jurnalis menyadari bahwa pekerjaannya adalah profesi yang dapat mengubah orang, memperbaiki orang lain, menyelamatkan orang lain, atau meningkatkan kualitas hidup banyak orang, maka tentu dia akan melakukannya dengan serius .
Jurnalis Berperspektif Perempuan dan Anak
Jurnalis adalah pekerjaan yang membentuk persektif atau pandangan orang lain. Berita yang dibaca, didengar, atau ditonton, oleh sebagian orang akan menerimanya seperti itu dan dianggapnya sebagai sesuatu yang benar. Artinya, jika tulisan atau berita yang disampaikan berisikan informasi yang mencerahkan dan mengubah orang menjadi lebih baik, tentu menjadi sesuatu yang diharapkan.
Berita yang disajikan ke publik akan diterima dan diolah oleh publik. Dalam penerimaan publik tersebut terjadi perebutan dan pertarungan berbagai ideologi dan kekuasaan. Media-media besar dan jurnalis-jurnalis yang mempunyai perspektif akan membentuk opini dan mengubah perspektif publik. Tentu harapannya adalah membentuk opini ke arah yang lebih manusiawi dan bermartabat.
Perempuan dan anak sampai saat ini masih dianggap sebagai isu yang tidak populer dan mungkin 'tidak menjual'. Karena itu, pemberitan yang berhubungan dengan perempuan dan anak masih selalu berkutat pada isu-isu yang membuat heboh. Kasus perkawinan anak dibuat menjadi berita heboh, bahkan jurnalis dan media dengan bangga menampilkannya. Unsur apa yang hendak ditampilkan pun tidak jelas. Apa yang berguna bagi publik dengan pemberitaan perkawinan anak seperti itu?
Sudah saatnya, jurnalis dan semua orang yang menulis dan membagi apa pun di media sosial, saatnya kritis bahwa, perempuan dan anak harus ditampilkan sebagai subyek berita yang menjadikan perempuan dan anak sebagai manusia. Tulisan dan berita tidak menjadikan atau menempatkan perempuan dan anak sebagai korban dan pihak terhukum. Berita perempuan dan anak harus harus mendidik, mencerdaskan dan mengubah kehidupan perempuan dan anak menjadi lebih baik.